Site icon Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia

Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

at-thabari

at-thabari, mufasir al-quran pertama (almunawwirkomplekq)

Imam At-Thabari atau Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (224-310 H) merupakan seorang mujtahid akbar cum mufasir Al-Quran pertama dalam Islam yang ditandai dengan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Ia menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti tafsir, fiqih, bahkan kedokteran.

Sketsa Biografis

Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun bahwa At-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Khalid At-Thabari. Beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada tahun 224 H di mana termasuk daerah terbesar di kawasan Sahlah, dan wafat pada 310 H. Selain ahli tafsir, beliau juga pakar di bidang hadits, fiqih, tarikh, bahkan kedokteran.

Beliau juga mempunyai kunyah Abu Ja’far sebagai bentuk penghormatan padanya dan hal ini sudah menjadi tradisi Arab ketika mereka banyak menggunakan kunyah dari nama pemimpin mereka. At-Thabari sendiri tidak mempunyai seorang anak, bahkan dia tidak pernah mempunyai istri alias jomblo selama hidupnya. Beliau juga merupakan pendiri mazhab Al-Jaririyah.

Perjalanan Hidup dan Intelektual

Imam At-Thabari tumbuh dan besar di lingkungan intelektual, maka tak heran jika usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Quran. Hal tersebut pernah disampaikannya dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran bahwa ia telah menghafal Al-Quran dalam usia 7 tahun dan menjadi imam shalat ketika berusia 8 tahun, serta menulis hadits-hadits pada usia 9 tahun. Sangat luar biasa sekali.

Baca juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Sebagaimana dijelaskan Muhammad Bakr Isma‘il dalam Ibnu Jarir Wa Manhajuhu fi al-Tafsir bahwa karir pendidikan At-Thabari dimulai dari kampung halamannya yaitu Amul, sebuah tempat yang cukup kondusif dalam hal keilmuan. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri, lalu dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dalam rangka rihlah fi thalab al-‘ilm di usianya yang masih belia. Sehingga namanya makin berkibar di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.

Di Rayy, ia nyantri kepada Ibn Humayd, Abu Abdullah Muhammad bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia menuju Baghdad guna belajar kepada Ibn Hanbal, ternyata sesampainya di Baghdad Ibn Hanbal telah wafat. Maka, At-Thabari pun harus putar haluan menuju dua kota besar selatan Baghdad yakni Basrah dan Kufah sambil mampir ke wasit karena searah perjalanan dalam rangka studi dan riset.

Tak berhenti di situ, Franz Rosenthal dalam The History of Al-Tabari menjelaskan bahwa At-Thabari di Basrah juga belajar kepada Muhammad Abd Ala al-San’ani (w. 245 H/ 859 M), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248 H/ 862 M) dan Abu As’as Ahmad bin Al-Miqdam (w. 253 H/ 867 M). Dalam bidang Hadits, ia juga belajar kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibil. Dalam bidang fiqih khususnya mazhab Syafi’i, ia berguru kepada Al-Hasan bin Muhammad al-Za’farany.

Sedangkan dalam bidang tafsir ia berguru kepada Humayd bin Mas’adah dan Basir Mu’az al-Aqadi (w. 245 H/ 859-860 M), meski sebelumnya ia pernah belajar tafsir kepada seorang Kufah bernama Hannad bin Al-Sari (w. 243 H/ 857 M). Dalam bidang qiraat misalnya, ia belajar kepada Hamzah dan Warasy.

Selain itu, At-Thabari juga pernah singgah di Beirut, Libanon untuk memperdalam ilmu qiraat kepada al-Ababs bin al-Walid al-Bairuni. Serta di Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan yakni Ibn Ishaq dan atas jasanya, At-Thabari mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar yaitu Tarikh al-Umam wa al-Mulk.

Setelah bepergian ke sana kemari dalam rangka rihlah intelektual, kemudian ia memantapkan diri untuk berdomisili di Kota Baghdad, sekaligus menjadi domisili terakhirnya. Di sinilah ia menelurkan sejumlah karya hingga menjelang kewafatannya yang dishalat oleh masyarakat baik siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.

Imam At-Thabari wafat pada usia 86 tahun (w. 310 H). Nama At-Thabari juga masyhur di Barat, bahkan biografinya pertama kali diterbitkan di Leiden pada tahun 1879-1910 M. Julius Welhousen menempatkan itu ketika membicarakan zaman (660-750) dalam buku The Arab Kingdom and its Fall.

Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Karya At-Thabari

At-Thabari adalah ulama yang sangat produktif bahkan beberapa karyanya merupakan pembabad jalan bagi ulama lain untuk mengembangkan keilmuan Islam. Berikut sejumlah karyanya yang terekam,

Dua kitab nomor 6 dan 7 inilah ditanyakan oleh teman-temannya, tapi jawaban Imam At-Thabari membuat mereka mengernyitkan dahi. Pertanyaan mereka adalah seberapa tebal dua kitab itu? Bukan pertanyaan “seperti apa isinya, bagaimana metodologi penyusunannya dan hal esensial lainnya”. Tentu saja pertanyaan mereka membuat At-Thabari kecewa, hingga ia mengatakan, “inna lillahi, matat al-himam” (sungguh kita adalah milik Allah, semangat benar-benar telah hilang). Sehingga setelah perenungan mendalam, akhirnya At-Thabari memutuskan meringkas dua kitab itu, dan ringkasan itulah yang sampai pada kita sekarang.

Dan masih banyak lagi kitab-kitab Imam At-Thabari yang belum ter-cover di sini. At-Thabari sangat dikagumi oleh para ulama karena otoritas keilmuannya yang mumpuni. Al-Hasan bin Ali al-Ahwazi, ulama qiraat menyatakan bahwa Abu Ja’far at-Thabari adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, qiraat tarikh, dan ‘arudh. Dalam semua bidang tersebut ia melahirkan karya yang berkualitas tinggi yang mengungguli karya para pengarang atau ulama lainnya. Semoga kita mampu meneladani keilmuan At-Thabari. Aamiin. Wallahu A’lam.

Exit mobile version