Site icon Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia

Kritik Ulama Terhadap Ayat (Taqsim) Al-Qur’an

Kritik Ulama Terhadap Ayat (Taqsim) Al-Qur’an

Kritik Ulama Terhadap Ayat (Taqsim) Al-Qur’an

Seperti yang telah ditulis Zainal Abidin Sueb dalam Mushaf Nusantara, mushaf pasca era Nabi Saw. telah mengalami banyak perkembangan. Berbagai modifikasi dilakukan untuk mempermudah umat Islam dalam membaca, menghafal, dan mengkaji kitab pedomannya. Modifikasi-modifikasi ini mencakup banyak aspek, rasm, pembubuhan titik, harakat, tanda baca, hingga pengelompokan ayat (taqsim) Al-Qur’an.

Modifikasi semacam ini tergolong upaya ijtihadiyyah. Perbedaan sudut pandang akan melahirkan hasil yang berbeda pula. Sehingga, kebenaran yang dihasilkan juga bersifat relatif, benar dapat dua pahala, namun jika salah akan mendapat setengahnya. Selain itu, sebagai bentuk resistensi terhadap produk ijtihad, kritik menjadi satu hal yang sangat wajar dilontarkan. Kritik juga penting dalam rangka membangun kompetisi, disamping sebagai kendali opini.

Apa yang hendak penulis sampaikan disini merupakan salah satu contoh bentuk kritik terhadap produk perkembangan modifikasi mushaf Al-Qur’an. Tepatnya kritik terhadap pengelompokan ayat-ayat ke dalam qism-qism tertentu.

Baca juga: Mengenal Proyek Pemerintah Indonesia atas Terjemahan Al-Qur’an Berbahasa Lokal

Pembagian (Taqsim) Mushaf

Selain taqsim al-mushaf, pembagian atau pengelompokan ayat dalam mushaf dapat juga diistilahkan dengan tahzib. Karena taqsim yang memiliki akar kata qism dan tahzib yang memiliki akar kata hizb sama-sama berarti bagian atau kelompok. Keduanya juga umum digunakan menyebut ragam pembagian mushaf, seperti juz’, hizb, rub‘, khumus, thumun, ‘usyr dan lain sebagainya. Berhubung hizb memiliki konotasi makna lain sebagai salah satu pembagian mushaf, maka taqsim lebih aman digunakan untuk menghindarkan dari kerancuan.

Sya‘ban Muhammad Isma‘il dalam bukunya Rasm al-Mushhaf wa Dlabthuhu menyebutkan bahwa motivasi dilakukannya taqsim atau pengelompokan ayat dalam mushaf adalah riwayat yang menjelaskan estimasi waktu penghataman Al-Qur’an. Diantaranya seperti yang diriwayatkan Al-Tirmidhi dari ‘Abdullah bin ‘Amr.

يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي كَمْ أَقْرَأُ القُرْآنَ؟ قَالَ: «اخْتِمْهُ فِي شَهْرٍ». قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: «اخْتِمْهُ فِي عِشْرِينَ» قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: «اخْتِمْهُ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ». قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: «اخْتِمْهُ فِي عَشْرٍ». قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: «اخْتِمْهُ فِي خَمْسٍ». قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: فَمَا رَخَّصَ لِي

“Wahai Rasulullah, seberapa lama aku harus menghatamkan Al-Qur’an? Beliau menjawab: “Hatamkan setiap bulan.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Hatamkan dalam lima belas hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Hatamkan dalam sepuluh hari.” Aku berkata; “Aku dapat lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Hatamkan dalam lima hari.” ‘Abdullah berkata; “Setelah itu beliau tidak memberiku keringanan.”

Kemudian Ulama membagi mushaf menjadi 30 puluh bagian. Tiap-tiap bagian disebut dengan juz’. Setiap satu juz’ terdiri dari 8 rub‘. Selain itu, ulama juga membagi tiap satu juz’ menjadi 2 hizb. Masing-masing hizb berisi 4 rub‘, dan setiap rub‘ 20 ayat.

Baca juga: Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Pro-Kontra Taqsim

Disamping mempermudah, taqsim menurut Sya‘ban Muhammad juga berfungsi sebagai dorongan dan pelecut semangat bagi mereka yang tengah menghafal Al-Qur’an. Sebuah dampak psikologis yang timbul karena adanya pos-pos pembagian tertentu dari taqsim. Ibarat buku cerita, seseorang cenderung memilih antologi cerpen ketimbang novel besar dan panjang. Hikmah yang sama juga berlaku pada surat-surat dalam Al-Qur’an (taswir).

Bedanya, dalam taqsim pembagian yang dilakukan telah mengikuti pakem perhitungan tertentu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bagian terkecil terdiri atas 20 ayat untuk setiap satu rub‘ hingga tersusun menjadi 30 juz’ dalam satu mushaf. Hal ini berarti akan ada aspek lain yang harus dikorbankan untuk menyesuaikan perhitungan yang ada. Dan salah satu aspek tersebut adalah ketersambungan makna dan narasi cerita atau hukum dalam Al-Qur’an. Ini lah yang menjadi kritik terhadap pemberlakuan taqsim.

Pada kesempatan ngaji rutinan di Pondok Pesantren Mazro‘tul Ulum Damaran Kudus bersama KH. Baha’uddin NS. atau Gus Baha’, penulis yang kebetulan hadir di majelis mendengar secara langsung kritik yang beliau sampaikan terkait dengan taqsim. Beliau juga menyebutkan beberapa contoh pembagian yang kurang tepat secara makna dan ketersambungan narasi. Diantaranya seperti pada pada QS. An-Nisa [4] ayat 24 yang secara kebetulan menjadi awal juz’ 5 sekaligus awal hizb 9,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami”

Secara makna dan narasi, ayat ini masih memiliki kaitan dengan ayat sebelumnya, QS. An-Nisa’ [4] ayat 23, yang menjelaskan hukum wanita-wanita yang haram dinikahi,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ . . . الأية

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, . . .”

Kritik yang sama juga sering kali penulis dengar dari KH. A. Muhsinin Husnan, pengasuh Pondok Pesantren Sathi‘ul Burhanil Mubin, Bancar Tuban, yang juga guru penulis di Madrasah Ghozaliyah Syafi‘iyyah, Sarang. Menurut beliau, tajzi’ (pembagian juz’) Al-Qur’an harus diperbaharui dengan menyesuaikan konstruksi narasi dalam ayat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan waqf dan ibtida’-nya.

Baca juga: Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Memang jika berpegangan pada kaidah waqf, sebagaimana disebutkan Ibn al-Jazariy dalam Al-Muqaddimah-nya, tidak ada waqf yang bersifat mengikat (wajib dan haram). Sehingga ulama yang condong kepada taqsim juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Akan tetapi, alangkah baiknya jika selain mengacu pada taqsim, aspek ketersambungan makna dan narasi juga dipertimbangkan. Bukankah Al-Qur’an adalah hudan? Dan bukankah untuk sampai kepada hudan harus didahului dengan pemahaman? Dan bukankah pemahaman yang baik berawal dari pembacaan yang baik dan benar? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Exit mobile version