Site icon Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia

Tafsir Surat Al-Fajr Ayat 27-30: Wahai Jiwa Yang Tenang, Keteduhan Panggilan Allah SWT Kepada Manusia

jiwa yang tenang

wahai jiwa yang tenang, keteduhan panggilan allah kepada manusia

Mulanya, kita semua lahir ke dunia ini dalam kondisi suci (fitri). Jiwa ‎kita masih bersih, tak bernoda. Kemudian seiring berjalannya waktu, kita pun ‎beranjak dewasa, yang dalam bahasa agama disebut dengan baligh. Suatu ‎masa di mana kita sudah disebut mukallaf, yaitu seorang muslim yang sudah ‎dikenai kewajiban (taklif) untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi ‎larangannya. Dari sinilah kemudian seseorang mulai dikenai pahala dan dosa. ‎Pahala atas kebaikan yang dilakukannya, dan dosa atas keburukan serta ‎kejahatan yang diperbuatnya.‎

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30)

Jiwa-jiwa yang ketika lahir suci, bersih tak bernoda, kini mulai tampak ‎kotor penuh noda dan dosa. Kondisi ini terus berlanjut sepanjang hayat, ‎hingga ajal menjemput kita. Hanya ada dua kemungkinan, apakah sepanjang ‎hayat, sejak usia baligh hingga ajal menjemput, kita isi dan penuhi hari-hari ‎kehidupan kita dengan aktivitas positif (amal saleh), ataukah justru ‎sebaliknya, kita mengisi dan memenuhi hari-hari kehidupan kita dengan ‎aktivitas negatif, perilaku buruk dan perbuatan jahat?‎

Pilihan ada pada kita. Tentu, setiap pilihan ada konsekuensi yang ‎melingkupinya. “In khairan fa khairun, wa in syarran fa syarrun”. Jika kita ‎berbuat baik, maka kita akan mendapat balasan kebaikan. Jika kita berbuat ‎jahat, kita pun akan memperoleh buah dari kejahatan yang kita lakukan. ‎Dalam bahasa Al-Quran dikatakan, “in ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’tum fa laha…” (Q.S. Al-Isra’ : 7). Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu ‎berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka ‎‎(kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.‎

Baca juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya

Dalam firman-Nya yang lain, Allah Swt. bersumpah dengan jiwa.

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

“… ‎dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah ‎mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. ‎Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan ‎sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Al-Syams [91]: 7-10).‎

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt. mengilhamkan dua jalan ‎kepada setiap jiwa, yakni jalan kefasikan dan ketakwaan. Keberuntungan dan ‎kebahagiaan akan menyertai orang-orang yang menyucikan jiwanya. Kerugian ‎dan kesengsaraan akan menghampiri orang-orang yang mengotori jiwanya.‎

Di dalam Al-Quran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan ‎makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Al-Quran menyebut tiga jenis ‎nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam Q.S. Al-Fajr: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam Q.S. al-Qiyamah: 1; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam Q.S. Yusuf: 53. ‎

Selain ketiga jenis nafs di atas, Al-Quran juga menyebut istilah nafs ‎zakiyyah, seperti terdapat dalam Q.S. al-Kahfi: 74. (Dikutip dari Buku penulis ‎berjudul “Qur’anic Inspiration: Meresapi Makna Ayat-Ayat Penggugah Jiwa”, ‎Quanta, 2014)‎.

Dari beragam bentuk nafs yang disebutkan oleh Al-Quran itu, kita ‎berharap memiliki bentuk nafs yang paling tinggi dan paling mulia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang.‎

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Dalam kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, Al-Baghdadi ‎menjelaskan bahwa makna al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tetap ‎pada keimanan dan keyakinan, membenarkan firman Allah, meyakini bahwa ‎Allah adalah Tuhannya, tunduk serta taat kepada perintah Allah, ridla dengan ‎ketetapan (qadla) serta takdir (qadar) Allah, yang selamat dari adzab Allah, ‎yang selalu tenang dan damai dengan terus berdzikir kepada Allah.‎

Jiwa yang demikian inilah yang kelak ketika kembali kepada Allah akan ‎disambut dengan sapaan mesra: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada ‎Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam ‎jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” Wallahu A’lam.

Exit mobile version