BerandaTafsir TematikTafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Artikel ini akan menguraikan tentang penafsiran Surat Ar-Rum Ayat 30. Ayat ini menjelaskan soal fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk yang beragama. Allah Swt berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; ‎‎(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut ‎fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang ‎lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surat Ar-Rum Ayat 30)‎

Pada hakekatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa ‎fitrah berupa keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh ‎para ulama tafsir, ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas.‎

Seiring berjalannya waktu, maka fitrah yang sudah Allah tetapkan ‎tersebut, akan tetap atau berubah tergantung pada kondisi lingkungan di ‎mana manusia itu berada.‎

Nabi Muhammad Saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam ‎keadaan suci (fitrah)—beragama Islam—, maka tergantung kedua orang ‎tuanyalah yang akan menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi.”‎

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan ‎dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak ‎manusia lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Demikian ‎ditegaskan dalam ayat yang lain.‎

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka ‎meski seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali ‎melenakannya dari ajaran agama, atau bahkan melupakannya pada tuhan, ‎pada saat tertentu akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali ‎kepada agama, kembali kepada tuhannya.‎

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya, ‎kepada ajaran agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka ‎lebar baginya. Namun sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa ‎nafsunya, tidak mengindahkan kata hatinya, maka dia akan semakin ‎terjerumus pada kesesatan dan gelimang dosa.‎

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di ‎atas dengan mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam ‎Muslim yang menyatakan, “setiap hamba-Ku Aku ciptakan dalam keadaan ‎lurus (berpegang teguh pada ajaran agama), kemudian setan telah ‎melencengkannya dari agamanya, serta menyuruhnya untuk menyekutukan-‎Ku dengan yang lainnya.”‎

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Dari keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya ‎kita diciptakan oleh Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada ‎pada fitrah Allah. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita ‎dari ajaran agama kita.

Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, ‎dengan menjadikan selain Allah sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia ‎yang kemudian kembali kepada fitrah agamanya. Adapula yang tetap berada ‎pada kesesatan dan kekufuran.‎

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat ‎masih di kandung badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada ‎agama, kembali kepada Tuhan. Tuhan sangat senang jika ada hamba-Nya ‎yang telah lama berkelana, mengembara mengarungi kehidupan ini, serta jauh ‎dari-Nya, kemudian dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orang tua yang ‎telah lama ditinggal anaknya pergi merantau kemudian kembali pulang ke ‎pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya jauh ‎melebihi kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.‎

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia ini yang hanya ‎sekali, tidak dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu ‎memeluk erat agama, medekatkan diri kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-‎Nya yang dikasihi dan dicintai-Nya. Betapa malangnya diri ini, jika hidup di ‎dunia ini yang hanya sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang hanya ‎akan membawa kita pada penyesalan tiada tara di akhirat kelak.‎

Mari kembali kepada fitrah kita, yaitu fitrah untuk beragama, fitrah ‎untuk selalu dekat dengan Tuhan, fitrah untuk menjadi hamba-hamba yang ‎dikasihi dan dicintai-Nya.‎

Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak, ‎ketika Tuhan mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan ‎memanggil dengan panggilan mesra: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, ‎kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya. Maka ‎masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam ‎surga-Ku.”‎ Wallahu A’lam.

Didi Junaedi
Didi Junaedi
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...