BerandaTokoh TafsirBiografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abū al-Qāsim Maḥmūd bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Umar al-Khuwārizmī al-Zamakhsyari al-Hanafi al-Mu’tazili. Di samping nama ini, ia juga digelari Jārullāh (tetangga Allah), karena ia lama bermukim di Makkah dan mengambil pojok di salah satu pintu Masjidil Haram sebagai tempat untuk berkontemplasi dan menyusun beberapa kitabnya. Terutama kitab tafsir Al-Zamakhsyari yang terkenal dan banyak dirujuk yang akan diuraikan dalam tulisan ini.

Karena khazanah keilmuan al-Zamakhsyari yang kaya, oleh masyarakat dan rekan sejawatnya ia juga diberi gelar Fakhr Khuwārazmī (tokoh kebanggaan Khuwarazmi), al-Imām al-‘Allāmah (penghulu para imam), al-Baḥr al-Fahhāmah (samudera ilmu), Imām al-Mufassirīn (imam para mufassir), Ra’īs al-Lugawiyyīn (pemimpin para pakar bahasa) dan lain-lain.

Al-Zamakhsyari dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah desa di wilayah Khuwarizmi pada hari Rabu, 27 Rajab 467 H, bertepatan dengan tahun 1074 M, pada masa pemerintahan Sultan Jalāl al-Dīn wa al-Dunyā Abū al-Fath Maliksyāh (465-485) dan perdana menterinya yang terkenal Nizam al-Mulk (w. 485). Pada tahun ia dilahirkan ini, lingkungan sosial penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan.

Al-Zamakhsyari lahir dalam keluarga yang religius. Kedua orang tuanya adalah sosok yang bertakwa dan patuh pada ajaran agama. Meskipun referensi mengenai keduanya sangat terbatas, namun informasi ketaatan keduanya dapat dilihat dari syair al-Zamakhsyari sendiri. Ia menggambarkan tentang kebesaran ayahnya, bahwa ia adalah seorang ahli sastra yang taat beribadah kepada Allah, baik ibadah wajib maupun sunnah.

Ibu al-Zamakhsyari diceritakan merupakan seorang yang memiliki akhlak mulia, lemah lembut, dan memiliki kepribadian yang halus. Hal ini ditunjukkan ketika al-Zamakhsyari masih kanak-kanak. Al-Zamakhsyari menceritakan bahwa suatu ketika ia menangkap seekor burung, kemudian mengikat kakinya dengan sebuah benang. Burung itu kemudian terlepas dan memasuki sebuah lobang. Setelah itu, ia mencoba menarik burung tersebut dengan benang yang ada di kakinya. Namun naas, karena ditarik dengan paksa, kaki burung putus.

Ketika melihat keadaan kaki burung demikian, ibunda al-Zamakhsyari merasa sangat kasihan terhadapnya dan ia pun sampai mengatakan kepada al-Zamakhsyari, “nanti Allah memotong kakimu sebagaimana engkau telah memotong kaki burung itu.” Mendengar hal ini al-Zamakhsyari jera dan tidak pernah lagi berbuat nakal seperti itu. Berkat kedua orang tuanya ini, al-Zamakhsyari belia tumbuh menjadi anak yang mencintai agama dan ilmu pengetahuan.

Motivasi utama al-Zamakhsyari dalam menuntut ilmu adalah untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Kiprah keilmuannya dimulai sejak ia masih kecil. Pada awalnya beliau mendapatkan pendidikan dasar di Khawarizm. Kemudian beliau pergi ke Bukhara untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Beliau belajar sastra (adab) kepada Abu Mudhar Mahmud Ibn Jarir al-Dabbi al-Asfahani (w. 507 H) yang merupakan tokoh tunggal di masanya dalam bidang bahasa dan nahwu.

Bukhara Uzbekistan
Saat ini Bukhara masuk di wilayah Uzbekistan

Abu Mudhar adalah guru yang sangat berpengaruh bagi diri al-Zamakhsyari, karena ia tidak hanya sekedar guru, namun beliau juga adalah orang yang membantu biaya hidup dan memelihara al-Zamakhsyari dari berbagai masalah dan kesusahan hidup yang menimpanya. Bisa dikatakan, Abu Mudhar adalah guru intelektual dan spiritual dari al-Zamakhsyari muda. Bisa dibilang berkat gurunya ini pula kitab tafsir Al-Zamakhsyari kaya dengan uraian kebahasaan.

Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

Pada waktu itu Bukhara merupakan wilayah yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah dan merupakan salah satu kota yang memiliki banyak ulama besar dan kenamaan. Di sini ia juga mempelajari hadis dari berbagai ulama, seperti Abu Mansur Nasr al-Hariṡi, Abu Sa’ad al-Saqafi dan Abu al-Khattab bin Abu al-Batr. Ia mempelajari sastra dari Abu Ali al-Hasan bin al-Muzfir al-Naisaburi.

Ketika berada di Baghdad pada tahun 533 H. al-Zamakhsyari belajar ilmu fikih di bawah tuntunan seorang ahli fikih yang bermazhab Hanafi, yaitu al-Damigani (w. 498 H.) dan al-Syarif ibn al-Syajari (w. 542 H.). Ia juga mempelajari berbagai kitab bahasa pada seorang ulama Baghdad yang bernama Abu Mansur al-Jawaliqi (446-539 H.) dan beberapa guru lainnya.

Pasca pencarian ilmu yang cukup panjang, al-Zamakhsyari pulang ke kampung halamannya. Setelah dirasa cukup lama berada di rumah, al-Zamakhsyari berkeinginan pergi ke Mekah dan menetap di sana selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu pula kitab tafsir al-Zamakhsyari yang fenomenal dapat ditulis. Kitab tafsir Al-Zamakhsyari ini diberi judul al-Kasysyaf an Haqa’iq al-tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Takwil.

Tafsir Al-Kasysyaf
Cover Tafsir Al-Kasysyaf

Kitab tafsir al-Zamakhsyari ini disusun selama 30 bulan yang dimulai pada tahun 526 H ketika beliau berada di Mekah dan selesai pada hari Senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H atas permintaan kaum Mu’tazilah yang ingin memiliki rujukan tafsir Al-Qur’an. Beliau memaparkan dalam muqaddimah-nya bahwa lama penulisan kitab al-Kasysyaf sama dengan lamanya masa kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq. Namun menurut sebagian orang, kitab ini sebenarnya sudah ditulis sejak kepulangannya ke kampung halaman.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi, yang terdiri dari 30 juz berisi 144 surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Tafsir ini terdiri dari 4 jilid. Penafsiran yang ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat, jelas, dan penafsirannya dilakukan dengan corak lughawi serta i’tizali.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyari mengawalinya dengan menyebutkan nama surat, makkiyah dan madaniyah. Kemudian ia menjelaskan makna nama surat menyebutkan keutamaan surat, kemudian memasukkan qira’at, bahasa, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya (secara tahlili). Lalu ia menafsirkan ayat dengan mengacu pendapat tertentu dan membantah penafsiran yang dianggapnya tidak tepat.

Secara sebagian besar dari penafsiran al-Zamakhsyari dalam tafsir ini berorientasi kepada ra’yu (rasio), maka tidak salah seandainya tafsir al-Kasyssyaf dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra’yi, meski di dalamnya terdapat beberapa penafsiran yang menggunakan dalil naqli. (nash al-Quran dan hadis). Diantara referensi tafsirnya adalah, Tafsir al-Mujahid (w. 104 H), Tafsir ‘Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid Al-Mu’tazili (w. 144 H), dan Tafsir Abi Bakr Al-Mu’tazili (w. 235 H), dan lain-lain.

Selepas dari Mekah, al-Zamakhsyari melanjutkan perjalanan ke Baghdad kemudian ke Khawarizm. Selang beberapa tahun tinggal di sana, beliau dipanggil ke hadirat Allah Swt. Menurut al-Juwaini yang bersumber dari Ibnu Battutah bahwa al-Zamakhsyari wafat di Jurjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm, pada hari Arafah pada tahun 538 H (14 Jun 1114 M). Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...