Al quran sebagai kitab suci meniscayakan interaksinya dengan manusia. Dengan begitu ada model interaksi manusia dengan al Quran. Gadanmer menyebut proses interaksi ini dengan ‘fusion of horizons’ (peleburan cakrawala pikiran pembaca dan penulis teks yang dibaca). Dengan pengertian demikian, manusia yang sedang berinteraksi dengan teks Alquran, selain dia memperoleh informasi yang tertuang di dalamnya (mereproduksi kandungan teks), ia juga dapat memproduksi pemahamannya sendiri tentang teks itu (memroduksi perspektif pribadi tentang teks). Dua benefit ini didapat bila ‘fusion of horizons terjadi dilakukan dengan baik.
Isi kepala dan latar belakang yang variatif menghasilkan model interaksi manusia dengan Al quran yang berbeda pula. Dalam bukunya, al-Qur’an: a Short Introduction, Farid Esack membagi model interaksi tersebut ke dalam 3 tingkatan.
Berikut 3 Model Interaksi Manusia dengan al Quran Menurut Farid Esack:
Pertama, the uncritical lover (pencinta yang tak kritis). Ini merupakan analogi bagi manusia yang menganggap suci Alquran. Ia menerima seluruh isinya, tidak pernah mempertanyakan atau bahkan mengkritisi sepenggal ayat pun dari Alquran.
Model interaksi pertama ini biasanya dapat dijumpai dalam masyarakat awam dan tradisi pengobatan atau pembacaan ayat al Quran sebagai ritual dan media pengobatan. Praktis, masyarakat yang memraktikkan ini pada umumnya menganggap Alquran sebagai sesuatu yang sakral dan tidak layak menjadi objek kritik.
Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi
Kedua, ‘the scholarly lover’ (pencinta yang akademisi). Model kedua ini adalah analagi bagi pencinta Alquran yang tidak mentah-mentah mencintai. Artinya, mereka menyodorkan sejumlah pertanyaan atau mendiskusikan isi Alquran untuk memperkuat cintanya.
Dengan kualifikasinya sebagai intelektualis, mereka menggali makna Alquran dari beragam aspek dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya, aspek sejarah, hikmah, struktuk kata dan keindahan sastra al Quran. Tentunya, ini dilakukan atas dasar semangat kecintaannya dengan Alquran sekaligus pembuktian Alquran adalah relevan dengan nalar manusia.
The scholary lover ini mencangkup para mufassir serta pakar keilmuan Alquran dan tafsir seperti at-Thabari, az-Zamakhsyari, al-Alusi, ad-Dhahabi, dan ilmuan muslim lain.
Ketiga, ‘the critical lover’ (pencinta yang mengkritik kandungan Alquran). Berbeda dengan tingkat pertama dan kedua, tingkat ketiga ini menjadi analogi bagi pencinta yang berani menjanggalkan kandungan Alquran. Kejanggalan ini timbul karena saking cintanya terhadap Alquran, sehingga tidak hanya pembuktian yang sudah mainstream, mereka menggunakan peranti ilmiah modern untuk turun menjadi alat pembuktian kebenaran Alquran.
Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?
Berbagai pendekatan modern, seperti antropologi, hermeunitika, sosiologi, bahkan filsafat dipakai sebagai pendekatan untuk berinteraksi dengan Alquran. Pendekatan anti mainstream ini dilakukan selain atas motif kecintaannya, juga karena keinginan untuk membuktikan bahwa al Quran dapat berdialog, berdialektika, dan senantiasa mampu menjawab tantangan zaman. Berangkat dari harapan itu, kelompok ketiga ini mengelaborasi Alquran sedemikian rupa agar menghasilkan pembaruan di masa sekarang (fresh from the oven).
Tokoh yang termasuk tingkatan ketiga ini antara lain ialah Fazlur Rahman (penggagas double movement), Amina Wadud (penggagas hermeunitika tauhidik), Thalal Asad (pakar antropologi Islam),dan lain sebagainya.
Tiga tingakatan di atas merupakan klasifikasi umum yang mencangkup ilmuan muslim pengkaji Alquran. Faried Esack juga memiliki klasifikasi tersendiri untuk para pengkaji Alquran dari kalangan non muslim, yakni; ‘the friends of lover’ (teman bagi pencinta Alquran), ‘the voycur’ (pengkritik yang mencoba melemahkan Alquran), dan ‘the polemicist’ (pengkritik yang ‘negatif buta’ terhadap seluruh isi Alquran). Wallahu a’lam[]