BerandaTafsir Tematik9 Ciri 'Ibadurrahman dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-76

9 Ciri ‘Ibadurrahman dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-76

Siapakah sesungguhnya ‘Ibadurrahman itu? Apa saja ciri-ciri serta karakter yang melekat kepadanya?

Surat Al-Furqan ayat 63-76 menjawab pertanyaan di atas. Allah Swt. menyifati hamba-hamba-Nya yang disebut ‘Ibadurrahman– yang tulus, ikhlas dalam menjalani hidup ini penuh pengabdian kepada Allah dan kepada manusia, serta layak mendapat pahala yang besar di sisi-Nya, mendapat posisi yang tinggi lagi mulia– dengan sembilan sifat utama.

Pertama, ‘Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Yaitu orang yang, meski berkelimpahan materi, berkedudukan tinggi, berilmu mumpuni, hidup penuh prestasi, tetapi kakinya tetap menginjak bumi, tidak tinggi hati, tidak berbangga diri, serta penuh empati.

Kedua, jika orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam”. Maksudnya, menurut Al-Maraghi dalam tafsirnya, jika orang-orang bodoh mencelanya dengan kata-kata yang buruk, mereka (‘ibadurrahman) tidak membalas ucapan mereka dengan kata-kata serupa, tetapi memaafkan serta membalasnya dengan ucapan yang baik.

Ketiga, orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Di saat orang lain lelap dalam tidurnya, dia berasyik masyuk dengan Tuhannya. Dia tumpahkan segala kerinduan yang membuncah dalam dadanya kepada Sang Kekasih, yakni Allah Swt.

Keempat, orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Dia terus menerus memohon kepada Allah untuk dijauhkan dan dihindarkan dari siksa api neraka Jahannam.

Kelima, orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Mereka adalah orang-orang yang bersikap proporsional, tidak boros tidak pula kikir, tetapi hemat.

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan

Keenam, orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Mereka tidak pernah menyukutukan Allah, tidak melakukan tindak kejahatan pembunuhan, tidak juga perilaku amoral dan asusila seperti berzina.

Ketujuh, orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Mereka selalu berkata jujur, apa pun resikonya. Mereka juga tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang buruk, mereka dapat terus menjaga kehormatan dirinya.

Kedelapan, orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Mereka selalu membuka mata dan telinganya terhadap petuah, nasehat serta petunjuk agama. Mereka selalu terbuka dengan kritik, saran dan masukan yang membangun.

Kesembilan, orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka terus menerus bermunajat kepada Allah, memohon dengan sepenuh hati untuk diberi pasangan serta anak keturunan yang dapat menjadi penawar hati ketika resah, penentram jiwa saat gelisah, serta penyejuk pandangan di saat ditimpa pelbagai masalah. Mereka juga berharap supaya dijadikan Allah sebagai pemimpin orang-orang yang takwa.

Mereka itulah orang yang diberi ganjaran berupa martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.

Didi Junaedi
Didi Junaedi
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...