Sebelum mengenal Utsman Thaha, nampaknya kita terlebih dahulu mengenal karya goresannya. Ya, mushaf Madinah adalah salah satu karyanya yang disebar luas dan dibaca oleh Muslim dunia. Karena sering menjadi cinderamata khas orang pulang haji atau umrah, tak heran jika mushaf ini pun mudah ditemukan di Indonesia.
Mushaf yang bercover hijau ini sangat istimewa, karena penulisnya merupakan tokoh muslim yang berpengaruh. Pada tahun 2019 lalu, Utsman Thaha masuk dalam The 500 Most Influential Muslims, sebuah pengharagaan bergengsi atas dedikasinya menulis kaligrafi dan mushaf.
Pada tahun ini nama Utsman Thaha menjadi perbincangan lagi, tepatnya pada bulan Agustus lalu. Arab News.com melaporkan bahwa ia diduga terjangkit Covid-19, ia pun dirawat di salah satu rumah sakit Saudi, namun akhirnya ia pun dinyatakan negatif. Dari kabar ini, beberapa media internasional pun akhirnya menuliskan kembali profil sang maestro khat ini.
Baca juga: Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda
Sekarang, Utsman Thaha telah mencapai usia 86 tahun. Tentu di balik usia yang tidak lagi muda ini, ia telah memberikan karya yang luar biasa untuk umat Muslim dunia. Utsman Thaha memiliki nama lengkap Utsman bin Abduh bin Husain bin Thaha Alkurdi. Ia berasal dari Aleppo Suriah, dan merupakan putra dari seorang imam dan ahli khat ternama di daerahnya. Semula ia mempelajarai dasar-dasar khat dari sang ayah yang memang piawai dalam khat riq’ah.
Setelah belajar dasar khat, Utsman Thaha melanjutkan pelajaran khatnya kepada para pakar di kota. Guru-gurunya yaitu Muhammad Ali Al Maulawi, Muhammad Al Khathib, Husain Husni At Turki, Al Khatthath Syaikh Abdul Jawwad, dan Prof. Ibrahim Ar Rifa’i. Kemudian ia kuliah di Universitas Damaskus dan memiliki berkesempatan lebih mendalami khat dengan para master kaligrafi. Di antaranya yaitu dengan Prof. Muhammad Badawi Ad Dirani, seorang ahli khath Syam, Prof. Hasyim Muhammad Al Baghdadi, seorang ahli khath dari Irak, dan pada tahun 1973 ia mendapatkan ijazah dari guru besar ilmu khat dunia, Syaikh Hamid Al-Amidi Turki.
Sebelum mendapatkan ijazah, Utsman Thaha telah menulis mushaf Al-Qur’an pertama kali untuk Kementerian Wakaf Suriah pada tahun 1970. Namun setelah mendapatkan ijazah dari Syaikh Hamid Al-Amidi, karier kaligrafinya semakin moncer. Pada tahun 1988 ia mulai didaulat sebagai salah satu juri lomba kaligrafi internasional. Di tahun yang sama, ia pun mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penulis kaligrafi di penerbitan Al-Qur’an Kompleks Raja Fahd. Sejak itu pun ia mulai tinggal di Madinah.
Kompleks Raja Fahd ini memang mengerjakan megaproyek dalam penerbitan Al-Qur’an. Melalui kesempatan inilah goresan tangan Utsman Thaha dikenal muslim sejagad raya. Dalam hal ini, Kyai Afifuddin Dimyati (Gus Awis) dengan artikel Utsman Thaha; Sang Maestro Khat Al-Qur’an mencatat beberapa karakteristik penulisan mushaf Madinah. Gus Awis menyebut ada empat karakter yang mudah diingat oleh para pembacanya.
Pertama, mushaf Madinah menghindari gaya penulisan huruf bertumpuk, sehingga semua kalangan tidak menemukan kerumitan. Kedua, mushaf ini menghindari variasi huruf-huruf yang rancu, misalnya huruf ra yang ujungnya melengkung. Maka mushaf ini terlihat sederhana namun rapi dan indah. Ketiga, huruf yang dituliskan diberikan ruang yang agak lebar, agar tidak terlalu rapat dan penulisan huruf pun jelas. Keempat, mushaf ini memiliki standar baris yakni 15 baris. Sehingga tiap juznya pun rapi 20 halaman, kecuali juz 30 yang mencapai 23 halaman.
Demikianlah mushaf Madinah karya Utsman Thaha. Di balik itu, terdapat hal yang menarik saat ia mengerjakan karyanya.
Baca juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin
Teladan saat Utsman Thaha Menulis Mushaf
Dilansir dari Arab News.com, Utsman Thaha memang konsisten menggores ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun sudah belasan mushaf yang ditulisnya dengan berbagai qiraat seperti Imam Warsy, Hafs, Ad-Duri, dan Qalun, namun ia tetap merasakan getaran yang berbeda saat menggores ayat-ayat Al-Qur’an. Terlebih ayat itu tentang surga dan neraka.
“I wish the verses about Jannah (heaven) would never end, and my hand trembles when I write the verses about Jahannam (hell).”
“Saya berharap ayat tentang surge takkan pernah ada habisnya, dan tangan saya gemetar saat menulis ayat tentang neraka,” ujarnya.
Ini menandakan bahwa dalam proses penulisan mushaf, ia juga menyelam memahami apa yang ditulisnya. Ia pun terus konsisten hingga kini hasil goresannya tak hanya dinikmati dalam bentuk mushaf cetak, melainkan juga digital. Bahkan, gaya goresannya turut dijadikan standar font internasional. Dari dedikasinya yang tinggi hingga 40 tahun lebih ia lalui, memang layak diganjar dengan penghargaan yang berarti.
Wallahu a’lam[]