Dalam Islam, bekerja menjadi salah satu kewajiban utama agar manusia dapat bertahan hidup dan menebar kebaikan. Saking wajibnya, diksi yang berarti bekerja seringkali dijumpai beriringan dengan perintah untuk beriman kepada Allah, yang notabene merupakan syarat keabsahan seseorang menjadi mukmin. Setidaknya, terdapar 50 ayat dalam Alquran yang memuat redaksi demikian, dan jumlah sebesar itu menunjukkan betapa pentingnya bekerja bagi manusia.
Akan tetapi, ketika disandingkan dengan fakta yang ada, terjadi sikap yang menunjukkan marginalisasi terhadap gender perempuan berupa anggapan bahwa perempuan bukat subjek yang pantas untuk bekerja. Budaya patriarkhi yang sebagian besar masyarakat masih menganutnya, adalah penyebab perlakukan marginalisiasi seperti itu terus bergulir hingga saat ini. Padahal, Islam sendiri menyerukan untuk bekerja tidak khusus kepada laki-laki, tetapi menyangkup seluruh manusia.
Bukti nyata bahwa perempuan juga dapat berperan dalam dunia pekerjaan salah satunya ialah kisah dua putri Nabi Syu’aib yang tertera dalam QS al-Qashas [28: 23]:
ولما ورد ماء مدين وجد عليه أمة من الناس يسقون ووجد من دونهم امرأتين تذودان قال ما خطبكما قالتا لا نسقي حتى يصدر الرعاء وأبونا شيخ كبير ٢٣
Dan ketika dia sampai di sumber air Negeri Madyan, dia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dia orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua perempuan itu menjawab. “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.
Ayat 23 tersebut mengisahkan dua putri Nabi Syu’aib bekerja sebagai peternak dan sedang mencari air untuk minum ternaknya. Jika melihat pada konteksnya, beternak merupakan pekerjaan yang didominasi oleh kaum laki-laki pada saat itu. Namun, hal itu tidak lantas membuat perempuan tidak boleh untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan pada masa Nabi Syu’aib dapat melakukan pekerjaan sebagaimana laki-laki, dan bahkan jenis pekerjaannya dapat pula sederajad dengannya.
Putri Syu’aib dan Wawasannya dalam Bidang Menejemen
Selain bekerja selayaknya laki-laki, yakni menjadi peternak, putri Nabi Syu’aib juga memiliki wawasan mengenai dunia menejemen. Seperti yang dinarasikan pada ayat setelahnya, QS al-Qashash [28:26]:
قالت إحداهما يا أبت استأجره إن خير من استأجرت القوي الأمين ﴿٢٦
Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Saran salah satu putri Nabi Syu’aib untuk merekrut Musa as sebagai karyawannya dengan pertimbangan kekuatan dan amanahnya menunjukkan bahwa putri Syu’aib ini mengerti bagaimana menilai seseorang untuk kemudian dipekerjakan. Ia lebih mengedepankan kredibilitas dan integritas untuk menimbang kelayakan seseorang menjadi karyawannya, tidak mengedepankan wujud fisik atau latar belakang nasabnya. Pola pikir yang demikian itu setidaknya membuktikan bahwa putri Syu’aib memiliki wawasan tentang menejemen yang baik.
Bias-Bias Patriarkhi yang Sangat Kontekstual
Bila kita cermati lebih lanjut, sebenarnya kondisi sosial yang melatari kisah ini masih dalam sistem patriarkhi. Sebagaimana yang disampaikan Nasharuddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya, dalam kisah putri Syu’aib tersebut struktur sosial masih bersistem patriarki. Beberapa indikasi dapat ditemukan dalam ayat 23 di atas. Sikap putri Syu’aib yang lebih memilih untuk menunggu sekerumunan peternak lain selesai mengambil air dan pernyataannya bahwa ayahnya sudah renta, menunjukkan bahwa kendatipun keluar rumah, mereka tetap menjaga etika saat berhadapan dengan lawan jenis, menghindari kerumunan dengan laki-laki, dan bekerja karena mendesak saja –karena ayahnya sudah tua, mereka lantas mengganti peran ayahnya
Selain itu, sistem patriarki juga tampak dalam ayat setelahnya, QS al-Qashash [28: 25] berikut ini:
فجائته إحداهما تمشي على استحياء قالت إن أبي يدعوك ليجزيك أجر ما سقيت لنا فلما جاءه وقص عليه القصص قال لا تخف نجوت من القوم الظالمين ﴿٢٥
Kemudian datanglah kepada Musa as salah seorang dari perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syu’aib) dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syu’aib) berkata, “janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang dzalim itu.
Dalam Qashashul Anbiya’ karya ‘Abdul Qodir Syaibah, dijelaskan bahwa saat pergi menemui Musa as untuk menyampaikan pesan ayahnya, putri Nabi Syu’aib itu berjalan dan tertunduk malu. Dengan demikian, semakin memperkuat distingsi perempuan dengan laki-laki. Perempuan yang cenderung pemalu saat berhadapan dengan laki-laki menunjukkan bahwa mereka pada saat itu tidak biasa berinteraksi dengan lawan jenis. Dan faktanya, memang patriarki masih menjadi sistem sosial signifikan saat itu.
Sistem patriarki yang kuat dalam mengatur interaksi perempuan dan laki-laki, yang tercermin pada kisah Putri Nabi Syu’aib tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat kontekstual. Menurut Allan G Johnson dalam Human Arrangements an Introduction to Sosiologynya, stuktur sosial yang berkembang dahulu memang menempatkan perempuan sebagai subjek yang marginal dan minoritas. Sebagai akibatnya, terciptalah sistem patriarki yang mengatur interaksi perempuan dengan laki-laki. Maka, sekaligus menjadi hal yang niscaya, bila suatu saat terjadi rekonstruksi sistem patriarki, karena perubahan struktur sosial.
Konteks yang melatari kisah tersebut sangat berbeda dengan keadaan saat ini, yang antara laki-laki dan perempuan sudah banyak terjalin komunikasi dan interaksi, sehingga tumbuh habit yang baru, yang pada gilirannya memunculkan perubahan struktur sosial. Tetapi, setidaknya, kisah putri Nabi Syu’aib itu dapat memberikan contoh untuk kita dapat renungkan, bahwa sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW datang, perempuan secara kultural sudah menunjukkan perannya di ranah publik. Dan tidak hanya itu, peran publiknya pun sederajat dengan peran mainstream laki-laki. Sehingga, jika pada saat ini, yang konstruksi masyarakatnya sudah jauh lebih modern, menjadi keanehan bagi perempuan saat dibatasi ruang geraknya dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi bakat dan minatnya di dunia pekerjaan, hanya berlandaskan faktor kultural. Karena, pada faktanya, kultur patriarki perlahan telah bergeser menuju gender equality. Wallahu a’lam[]