Hidup di era post-truth seperti sekarang ini berita bisa diakses secepat sentuhan jari. Sejalan dengan itu, kecanggihan alat komunikasi juga berdampak pada objektivitas berita, yang sulit dicari ketika hoaks (berita bohong) banyak bermunculan di media massa. Sebagai imbasnya, kerap timbul kerusuhan yang bahkan nyawa sebagai taruhannya. Untuk menangkal terjadinya hal itu, kroscek berita adalah salah satu tips jitu.
Dalam Al-Quran, upaya kroscek berita diistilahkan dengan tabayyun, sebagaimana dalam QS al-Hujurat [6] berikut ini:
ياآيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين ﴿٦
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu
Ayat tersebut mengandung perintah kepada orang mukmin untuk tidak mempercayai berita sebelum mencari kebenarannya, agar tidak mencelakakan orang lain. Hal ini diperintahkan agar tidak ada sesal di kemudian hari.
Menurut Ali al-Shabuni, tabayyun merupakan sinonim dari tathabbuts, yang berartimencari kejelasan dan kebenaran. Dalam konteks ini diartikan dengan perintah untuk mencari kebenaran suatu berita hingga paham mengenai hal-ihwal berita itu.
Baca Juga: Mengenal Shafwah At-Tafasir Karya Ali Ash-Shabuni
Mencari kebenaran berita dapat dilakukan dengan meninjau sumber berita tersebut, apakah otoritatif atau tidak. Dalam ayat di atas, sumber berita yang wajib ditinjau kebenarannya diistilahkan dengan fasik.
Secara bahasa, fasikmerupakan kata sifat dari fasaqa. Quraish Shihab dalam al-Mishbah menyebutkan, fasik pada mulanya digunakan untuk menyebut buah yang telah busuk, kemudian dikiaskan dengan orang yang membangkang agama karena melakukan dosa besar atau sering melakukan dosa kecil. Dalam Lisanul Arab, kata fasik memiliki makna antara lain keluar dari kebenaran dan mendurhakai perintah Allah.
Seperti dalam QS al-Kahfi [50]:
ففسق عن أمر ربه ﴿٥٠
maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.
Selanjutnnya, fasik dalam konteks ayat itu dapat diartikan dengan segala berita yang sumbernya tidak otoritatif dan substansinya tidak berimbang.
Sementara itu, naba’ ialah kabar yang substansinya penting, memiliki nilai informatif, atau dapat disebut dengan berita. Sebagaimana dalam QS al-Naml [22] dan QS Sad ayat [67]:
وجئتك بسبإ بنبإ يقين
Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ dengan membawa suatu berita yang meyakinkan
قل هو نبأ عظيم ٦٧
Katakanlah, “itu (Alquran) adalah berita besar“
Bila melihat kronologi turunnya, ayat 6 surat al-Hujurat ini merespons tindakan menyimpang seorang sahabat bernama Walid bin Uqbah yang diutus Nabi untuk memungut zakat dari Bani Mustaliq.
Dalam Asbabun Nuzul karya al-Wahidi diceritakan bahwa sebelum sempat menemui Bani Mustaliq, Walid berprasangka buruk kepada Bani Mustaliq, yang meruapakan musuh moyangnya. Karena itu, ia memutuskan untuk kembali ke Nabi dan lapor bahwa Bani Mustaliq enggan menyerahkan zakat dan mengancam akan menyerangnya.
Nabi kemudian mengutus pasukan untuk menyergap Bani Mustaliq. Tetapi sebelum utusan ini berangkat, ayat ini turun, memerintahkan untuk menyaring berita bagi kaum muslim, sebelum mereka mengambil sikap.
Walid dalam konteks ini merupakan sumber yang tidak otoritatif karena berita yang ia sampaikan tidak sesuai dengan fakta. Bani Mustaliq pada kenyataannya tidak memiliki maksud negatif kepada Walid. Sehingga, upaya kroscek (tabayyun) dalam kondisi seperti ini adalah hal yang harus dilakukan, karena bila tidak, dapat memicu konflik antar umat Islam.
Melarang penyebaran hoaks (berita bohong) merupakan keniscayaan bagi Islam, karena Fitrah Islam adalah menyerukan kebenaran dan menumpas kebatilan. Kemudian QS al-Hujurat [6] ini turun untuk memberi pedoman bagi kita tentang bagaimana sikap kita ketika dihadapkan dengan berita yang terindikasi mengandung kebohongan.
Sikap itu dapat ditunjukkan dengan meninjau ulang sumber berita dan konten yang disampaikannya. Tanpa ada pedoman ini, manusia akan saling berbuat celaka kepada sesama. Hanya dengan menyebar berita yang tak sesuai, keresahan dan kerusuhan akan menyemai. Maka tak berlebihan, bila Nabi mengkategorikan hoax ini sebagai salah satu dosa besar. Wallahu a’lam []