Mendengar nama Muqatil bin Sulayman (w. 150 H/767 M), seolah apa yang terlintas dalam benak kebanyakan para pemikir Muslim adalah “bapak” isrā’īliyyāt tafsir Al-Qur’an, pendusta hadis dan seorang mujassimah. Di lain sisi, ada juga yang justru memberikan tepuk tangan mengapresiasi beberapa keberhasilan dan capaian-capaian Muqatil. Memang begitulah kenyataannya. Layaknya mata uang logam dengan dua sisi berbeda dalam satu entitas, seperti itulah kira-kira gambaran sosok Muqatil bin Sulayman. Ia dihujat tapi juga dikagumi—sekalipun mungkin kekaguman itu datang sedikit terlambat.
Tokoh kenamaan ini memiliki nama lengkap Muqatil bin Sulayman bin Bashīr al-Balkhī al-Marūzī al-Khurāsānī. Tidak ada literatur yang menyebutkan secara pasti kapan ia dilahirkan. Menurut sebagian sumber, ia lahir di Balkh pada kisaran tahun 80 H (700 M). Keterangan lain menyebutkan ia lahir kira-kira tahun 60-70 H (680-690 M). Tahun wafat Muqatil dicatat bertepatan pada tahun 150 H (767 M) (Hitti, History of The Arabs, 2005: 354)
Baca juga: Mengenal Kitab As-Sab’ah fi Al-Qiraat (1) Karya Ibnu Mujahid
Kiblat mufasir tersohor
Satu dari sekian banyak peninggalan Muqatil yang paling monumental adalah Tafsir al-Kabir. Ia juga populer dengan nama Tafsir Muqatil bin Sulaymān. John Wansbough dan Gordon Nickel mengatakan, bahwa tafsir milik Muqatil merupakan sebuah contoh bentuk penafsiran haggadic. Muqatil mencoba untuk memadukan Al-Qur’an yang terpotong-potong menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan begitu, akan memberikan kesan kesinambungan dan penjelasan holistik terhadap varietas teks. ( Sirry, Muqatil bin Sulaiman and Antropomorphism, 2012: 60)
Bila menyangkut soal perubahan dan maksud suatu kata, tidak jarang mufasir generasi berikutnya memilih bermakmum kepada Muqatil. Sebut saja Aḥmad bin Muḥammad bin Ibrāhīm al-Tha‘labī (w. 427 H/1036 M), atau yang lebih masyhur dengan nama kauniyah al-Tha‘labī memililki banyak penafsiran yang merujuk kepada Muqatil. Misalnya ketika menafsirkan kata iṣbirū dalam QS. Ali Imran ayat 200. Al-Tha‘labī mengutip keterangan dari Muqatil, bahwa maksud dari frase iṣbirū adalah Iṣbirū ‘alā Amrillāh ‘Azza wa Jalla (al-Tha‘labī, al-Kashf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Vol. 3. 2002: 338)
Selanjutnya ada nama Al-Zamakhsharī (w. 538 H/1144 M). Salah satu tokoh yang fenomenal di bidang gramatikal bahasa ini pada beberapa bagian tafsirnya juga mengambil penafsiran dari Muqatil. Sebagai contoh misalnya penafsiran al-Zamakhsharī terhadap kata al-Ardhalūn pada QS. Al-Syu’ara ayat 111 yang dimaknai salah satunya dengan al-Suflah. (al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ‘an Haqā’iq Gawāmiḍ al-Tanzīl, Vol. 3. t.th.: 324).
Baca juga: Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat
Walau sempat tenggelam, tafsir al-Kabir mulai muncul ke permukaan kira-kira di era al-Matūridī (w. 333 H/945 M). Pada generasi berikutnya, banyak mufasir yang dalam beberapa hal merujuk pada tafsir milik Muqatil. Sederet nama mufasir yang pernah mengutip keterangan dari Muqatil dalam tafsirnya adalah al-Samarqandī (w. 373 H/983 M), al-Tha‘labī (w. 427 H/1036 M), al-Māwardī (w. 450 H/1058 M), al-Wāḥidī (w. 468 H/1076 M), Abū al-Qāsim Burhān al-Dīn (w. 505 H/1111 M), al-Baghawī (w. 516 H/1122 M), al-Jawzī (w. 597 H/1201 M), al-Rāzī (w. 606 H/1210 M), al-Qurṭubī (w. 671 H/1273 M), Abū Ḥayyān bin Muḥammad al-Andalusī (w. 744 H/1344 M), Ibn Kathīr (w. 773 H/1372 M), al-Muẓharī (w. 1225 H/1810 M) dan yang lainnya.
Antara tepuk tangan dan hujaman kritik
‘Abdullāh Ibn Mubārak (w. 181 H/797 M), salah satu murid Muqatil yang terkenal sebagai seorang sufi dermawan menyebut tafsir milik gurunya itu sebagai tafsir yang amat berbobot andai disertai dengan sanad (Shahātah, Tafsīr Muqatil bin Sulaymān, Vol. 5, 2002: 51)
Muqatil dianugerahi keterampilan dan kepiawaian dalam urusan bedah-membedah dan menilik kata. Tokoh sekaliber Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M) sampai harus mengakuinya. Ia menyebut Muqatil sebagai panutan bagi siapapun yang ingin mengkaji dan mendalami Al-Qur’an. (Shahātah, Tafsīr Muqatil bin Sulaymān, Vol. 5, 2002: 51) Tidak mau kalah, Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M), figur yang menyandang gelar Shaykh al-Islām ini juga mengakui keahlian Muqatil. (al-Dhahabī, al-‘Arsh, Vol. 1, 2003: 143). Ia bahkan dikukuhkan sebagai peletak pertama kajian analisis gramatikal teks Al-Qur’an dengan pendekatan stilistik-linguistik. (Versteegh, “Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”, 1988 206-207)
Baca juga: Ibnu Mujahid (1), Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah
Apresiasi positif yang diberikan kepada Muqatil tentu bukan dengan tanpa alasan. Yang memberi apresiasi pun bukan sembarang tokoh. Kepakarannya dalam bidang kajian Al-Qur’an juga dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang lebih banyak menyoal seputar Al-Qur’an dan ‘ulūm al-Qur’ān. Dari sepuluh karya, hanya satu yang bukan kajian tentang Al-Qur’an. Karya-karya itu antara lain Tafsīr al-Kabīr, al-Ayāt al-Mutashābihāt, al-Aqsām wa al-Lughāt, Tafsīr al-Khamsumi‘ah Ayāt min al-Qur’ān, al-Taqdīm wa al-Ta’khīr, al-Jawābat fī al-Qur’ān, al-Qirā’āt, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, dan al-Wujūh wa al-Naẓāir fī al-Qur’ān.
Walau demikian, kredibilitas Muqatil dibidang periwayatan hadis masih disangsikan. Banyak penilaian negatif yang dialamatkan kepadanya. Mulai dari matrūk al-hadīth hingga pendusta. Imam Bukhari (w. 256 H/870 M) menyandangkan status mungkar al-hadīth untuk Muqatil. Sampai-sampai Ibrāhīm bin Ya‘qūb al-Jawzajānī (w. 258 H/872 M) terang-terangan menyebutnya “dajjal yang lancang”.
Sekalipun Muqatil diragukan kredibilitasnya dalam periwayatan hadis, namun perhatian dan kemapanan ilmunya dibidang kajian Al-Qur’an tidak diragukan lagi. Menurut Ibnu Taimiyah, kasus Muqatil ini sama seperti halnya Imam Abū Ḥanīfah (w. 148 H/767 M). Kalaupun banyak yang berbeda pendapat dengannya dalam banyak hal dan juga banyak yang mengingkarinya, perihal keilmuan Abū Ḥanīfah dibidang fiqh tidak ada seorang pun yang meragukannya. (al-Tamīmī, Muwāqif al-Tawā’if min Tauḥīd al-Asmā’ wa al-Ṣifāt, Vol. I, 2020: 135). Wallahu a’lam[]