Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral nan suci bagi pasangan suami istri. Pernikahan juga bentuk komitmen antara laki-laki dan wanita yang saling mencintai untuk hidup bersama. Agar visi ini terwujud, maka dalam pernikahan harus ada kesepahaman, kesepakatan, dan relasi kesetaraan antara suami dan istri. Sebab tanpa komponen tersebut, akan sangat sulit untuk menyatukan dua insan yang memiliki latar belakang berbeda.
Bagi umat Islam, berumah tangga sebagai pasangan suami istri bukan hanya didasari oleh kebutuhan biologis dan psikologis, tetapi juga merupakan bagian dari fitrah manusia untuk berpasangan serta bagian dari ibadah kepada Allah swt. Islam mensyariatkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup dan wadah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Dengan demikian, pernikahan berperan signifikan bagi kehidupan manusia. Maka tak heran ada banyak anjuran menikah bagi mereka yang telah siap dan mampu dalam ajaran Islam. Misalnya, nabi Muhammad saw pernah bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
Isyarat Al-Qur’an Terhadap Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri
Dalam ikatan pernikahan, suami dan istri memiliki hak serta kewajiban yang harus dipenuhi. Keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab dan kedudukan setara meskipun dengan fungsi yang berbeda sesuai kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan jika salah satu menguasai atau terlalu dominan dibanding yang lain. Harus ada relasi kesetaraan antara suami dan istri.
Baca Juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan
Isyarat relasi kesetaraan antara suami dan istri juga telah disinggung oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah [2] ayat 187 yang berbunyi:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] ayat 187).
Menurut Quraish Shihab, surat al-Baqarah [2] ayat 187 ingin memberitahukan tentang legalitas hubungan intim suami istri pada malam Ramadhan. Puasa – bagi beliau – tidak harus menjadikan seseorang terlepas sepenuhnya dari unsur-unsur jasmaniah. Karena seseorang takkan mampu hidup secara normal tanpa kehadiran unsur-unsur tersebut.
Allah swt mengumpamakan pasangan suami istri sebagai pakaian dalam surat al-Baqarah [2] ayat 187 menunjukkan bahwa suami istri harus saling melengkapi dan menutup kekurangan masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka suami adalah hiasan bagi istrinya, demikian pula sebaliknya. Keduanya hidup bersama dengan sifat kesalingan dan relasi kesetaraan antara suami istri.
Selain itu – menurut Quraish Shihab – pakaian bertujuan untuk melindungi manusia dari sengatan panas matahari dan dinginnya suhu di malam hari. Dengan analogi ini, maka suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dari berbagai krisis dan kesulitan yang mereka hadapi secara bersama-sama. (Tafsir Al-Misbah [1]: 411).
Sedangkan dalam Tafsir Jalalain karya Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa surat al-Baqarah [2] ayat 187 mengandung setidaknya tiga makna yang tersirat dalam analogi pasangan suami istri sebagai pakaian, yaitu:
Pertama, suami istri adalah dua insan yang sangat dekat. Pasangan suami istri diibaratkan seperti pakaian dari sisi kedekatannya. Pakaian senantiasa menempel dengan kulit pemakainya dan tidak ada jarak yang memisahkan keduanya. Maka dalam rumah tangga semestinya ada rasa saling percaya, transparansi, tanggung jawab, cinta, sayang, dan saling setia antara suami istri.
Kedua, saling mengayomi. Pasangan suami istri seyogyanya mengayomi satu sama lain, bukan sebaliknya, dengan cara melakukan aktivitas yang menunjukkan adanya rasa sayang, memiliki, bahagia, suka, dan sebagainya. Suami maupun istri harus menjadi tempat sandaran dan berbagi kebahagiaan bagi pasangannya. Sebab keduanya adalah dua insan yang saling menguatkan dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik
Ketiga, suami istri saling membutuhkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam berumah tangga ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, suami istri harus memiliki sikap responsif terhadap pasangannya sebagai partner hidup. Karena itu, relasi kesetaraan antara suami istri mutlak adanya dalam rangka saling membantu, saling menopang, saling menghargai dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat al-Baqarah [2] ayat 187 selain menginformasikan tentang legalitas hubungan intim suami istri pada malam Ramadhan, itu juga mengindikasikan relasi kesetaraan antara suami dan istri. Keduanya harus saling mengayomi, saling mencintai, dan saling melindungi satu sama lain serta berperan sebaik mungkin bagi pasangannya. Wallahu a’lam.