Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Manusia sebagai khalifah fil ardh
Manusia sebagai khalifah fil ardh

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Oleh karenanya, manusia diamanahi Allah untuk memegang kepemimpinan di muka bumi (khalifah fil ardh). Begitu mulianya manusia hingga makhluk lain pun tak mampu memegang amanah tersebut karena beban pikulannya terlalu berat. Begitu bodohnya manusia karena mau menanggung amanah tersebut. Namun, Allah mempercayakan tersebut karena melihat kapasitas manusia yang memang sanggup, dengan catatan hanya kepada orang-orang yang saleh.

Kata yang bermakna saleh terdapat dalam Al-Quran sebanyak 124 kali dengan penyebutan secara mufrad shalih atau jamak shalihiin/shalihaat. Salah satunya tertera dalam surah Al-Anbiya ayat 105. Dalam ayat ini disinggung mengenai saleh dan kaitannya dengan tanggung jawab manusia. Lalu apakah yang dimaksud sebagai saleh? Berikut penjelasannya!

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Tafsir Surat al-Anbiya’ Ayat 105

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِن بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ

“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”

Tafsiran ayat tersebut menurut Tafsir Al-Wajiz milik Wahbah Zuhayli adalah keterangan Allah bahwasannya takdir atau ketetapan yang tertera dalam buku induk Lauh Mahfudz juga diwahyukan dalam kitab-kitab-Nya seperti Zabur. Kitab-kitab yang dimaksud bukan hanya Zabur, melainkan juga Taurat, Injil, Al-Quran, dan suhuf-suhuf yang lain.

Ketetapan yang Allah maksud menurut Zuhayli mengandung dua kemungkinan. Pertama adalah bahwa orang-orang yang salehlah yang mempusakai surga. Mereka yang menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya akan mewarisi dan menghuni surga yang penuh kenikmatan. Kemungkinan kedua bermakna ketetapan menjadi khalifah di muka bumi. Allah mendudukkan orang-orang saleh sebagai penguasa bumi dan menetapkan mereka sebagai pemiliknya.

Baca juga: Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Dua kemungkinan yang disampaikan Zuhayli mengenai makna obyek yang diwariskan kepada orang-orang saleh memang saling dikukuhkan oleh para mufassir. Ibnu Katsir dalam tafsir al-Quran al’Adhim memilih pendapat pertama dalam menafsirkan “ardh”, yaitu sebagai surga. Argumentasi Ibnu Katsir ini mengutip dari riwayat Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang saleh tersebut akan mendapatkan balasan berupa bumi surga. Sedangkan mufassir seperti Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn dan Buya Hamka dalam Tafsir Azhar lebih condong menafsirkan lafadz “ardh” sebagai bumi di alam dunia. Orang-orang saleh tersebut adalah khalifah yang mewarisi dunia ini dan menjalankan tugas-tugasnya di bumi tanpa penuh kemungkaran.

Makna saleh secara total

Dalam menafsirkan ayat tersebut, mufassir asal Mesir Mutawalli As-Sya’rawi melalui Tafsir As-Sya’rawi memilih penggunaan orang-orang saleh sebagai khalifah di bumi. Menurut As-Sya’rawi, di bumi ini terdapat orang-orang saleh yang ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola bumi. As-Sya’rawi lebih jauh menjelaskan bahwa yang dimaksud orang-orang saleh tersebut tidak hanya terkhusus kepada orang Islam.

Tugas yang dibebankan kepada sang khalifah fil ard mencakup semua sisi kesalehan secara total. Lalu apakah yang dimaksud dengan saleh secara total bagi seorang khalifah fil ardh? Pendapat As-Sya’rawi lagi-lagi dapat menjadi rujukan mengenai hal tersebut. As-Sya’rawi membagi definisi saleh menjadi dua jenis, yaitu saleh duniawi dan saleh ukhrawi.

Saleh duniawi adalah orang yang mempunyai kepribadian baik. Ia sama sekali tidak merugikan masyarakat di manapun ia berada, justru malah menebar manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Saleh yang seperti ini telah menjadi kesepakatan universal. Sebuah kode etik yang wajib berlaku di dunia tak pandang agama, da nasal negara. Sedangkan saleh kedua yaitu ukhrawi, menurut as-Sya’rawi adalah kebaikan yang didasarkan atas ketakwaan kepada Allah. Kebaikan-kebaikan yang ia lakukan bukan hanya berdasar etika semata, melainkan atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah. Karena bentuk implikasi kepada Allah adalah tuntutan untuk berbuat baik kepada sesama.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Mengenai makna kesalehan KH. Ahmad Musthofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus juga mmberikan penjelasan dalam bukunya “Saleh Ritual, Saleh Sosial”. Seperti dalam judul bukunya, Gus Mus memaknai saleh sebagai saleh ritual dan saleh sosial. Yang dimaksud saleh ritual yaitu orang-orang yang melakukan ritual-ritual ibadhah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran dan lain-lain. Sedangkan yang dinamakan saleh sosial yaitu mereka yang melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi seperti menolong yang miskin, membela yang tertindas dan menebar kemanfaatan bagi yang lain.

Dalam pemikirannya Gus Mus menganjurkan untuk memadukan dua kesalehan tersebut. Saleh ritual atau individu ini harus dibaengi dengan saleh sosial. Internalisasi kedua kesalehan yang Gus Mus ajukan juga turut mendukung harapan perpaduan antara saleh duniawi dan saleh ukrawi yang diklasifikasikan As-Sya’rawi. Orang tidak boleh hanya bersifat saleh ritual saja, ia akan menjadi egois. Orang yang seperti itu tidak akan bisa menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardh yang telah diamanahkan Allah kepadanya. Begitu pula ketika seseorang melakukan saleh sosial maupun saleh duniawi, orang tersebut akan menjadi seorang hamba yang sempurna ketika turut menjalankan saleh ukhrawi. Kesalehan secara total dimaknai apabila manusia menjalankan prinsip hubungan dengan Allah (hablun minallah), hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas), dan hubungan baik dengan alam (hablun minal ‘alam).

Wallahu a’lam[]