Turunnya surat al-mujadilah ayat 1-4 merupakan bukti bahwa Allah sungguh merespon gugatan seorang perempuan yang telah digantung pernikahannya oleh suaminya, perempuan ini bernama Khawlah binti Tsa’labah. Hal ini terjadi disebabkan muncul perkataan suaminya kepada Khawlah, kamu seperti punggung ibuku, ucapan tersebut merupakan perkataan zihar. Menurut tradisi Arab pada saat itu, bahwa perkataan yang disampaikan suami Khawlah ini merupakan bertanda suami sudah tidak bisa menyentuh istrinya yaitu Khawlah. Dan pada saat yang sama Khawlah belum bebas dari status pernikahan. Berkat kegigihan muslimah memperjuangkan keadilan tersebut, firman Allah turun dalam surat al-mujadilah ayat 1-4.
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya-jawab antara kamu berdua. Sesungguhya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat orang-orang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita-wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib lah atasnya) memberi makan 60 orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat sedih.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa ayat tersebut turun ketika terjadi peristiwa yang menimpa Khawlah bin Tsa’labah yang mencoba mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW terkait ia mendapatkan perkataan zihar dari suaminya. Akan tetapi dia tidak bisa lepas dari status pernikahannya.
Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)
Dari kutipan Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir, sesungguhnya dari Aisyah, disebutkan bahwa ia pernah berkata, “Mahasuci Tuhan Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku benar-benar mendengar suara pembicaraan Khaulah binti Sa’labah, tetapi sebagiannya tidak dapat kudengar, yaitu saat dia mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, suamiku telah makan hartaku dan mengisap masa mudaku, serta kubentangkan perutku untuknya, hingga manakala usiaku telah menua dan aku tidak dapat beranak lagi, tiba-tiba dia melakukan zihar terhadapku. Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau masalah yang menimpaku ini’.”
Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan membawa ayat ini, yaitu: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (al-mujadilah ayat 1)
Bahkan Khawlah pun mengadukan kepada Rasulullah bahwa setelah itu Aus ibnu Samit (suaminya) mengatakan perkataan zihar, ia keluar dan duduk di tempat perkumpulan kaumnya selama sesaat, kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba berahinya memuncak, dia menginginkan diri Khawlah kembali.
Respon Allah SWT Kepada Perempuan Penggugat
Kemudian pada ayat berikutnya adalah bentuk respon Allah SWT kepada peristiwa yang dialami Khawlah bin Tsa’labah, bahwa suami yang telah melakukan zihar kepada istrinya, kemudian menginginkan isrinya kembali, maka wajib untuk melakukan perintah Allah sebagai mana sesuai dengan ayat 2-4 surat al-mujadilah. Perintah itu adalah memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak kuasa melakukan puasa, bisa dengan memberi makan 60 orang miskin.
Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha adil kepada perempuan, bahkan peristiwa tersebut tidak hanya perempuan saja yang diuntungkan, yaitu seorang budak dan fakir miskin. Dengan adanya kebijakan Allah yang tertuang dalam firmanNya tersebut. Menjadikan hambanya semakin hati-hati bahwa suami harus lebih menghargai hubungan pernikahan mereka. Bahwa perkataan zihar bukanlah solusi dalam penyelesaian konflik dalam hubungan pernikahan. Karena perkataan yang tidak didasari dengan nurani yang tulus atau hanya emosi sesaat, menyebabkan penyesalan yang amat pahit.
Peristiwa tersebut memang perlu digaungkan, maka dengan begitu, kita banyak menemui tulisan yang beredar tentang gugatan perempuan pada surat al-mujadilah. Misalnya adalah tulisan Prof Nadisyah Hosen pada karyanya Tafsir Al-Quran di Medsos, ia pernah menyinggung tentang kisah ziharnya Khawlah pada tulisannya dan ia juga memasukkan pendapat Inggrid Mattson pada The Story of the Qur’an: History and Place in Muslim Life, di situ tertulis bahwa spirit pernikahan dalam Islam itu adalah “ perlakukan pasanganmu dengan baik, atau jika tidak, lepaskan dengan baik-baik”.
Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan
Selanjutnya datang juga dari pendapat Prof Mustaqim, bahwa ia menguraikan kisah gugatan perempuan pada surat al-mujadilah menggunakan ciri khas pendekatan tafsir maqashidi. Singkat gagasannya ada dalam sini. Prof Mustaqim menuliskan konsep zhihar saat itu di zaman jahiliyah dianggap sabagai bentuk perceraian. Dalam saat yang sama zhihar adalah bentuk kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Hegemoni patriarki sedemikian kuat, hingga nyaris tidak ada negosiasi. Wallahu a’lam[]