Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah yang jarang diungkap padahal penting bagi kehidupan manusia. Kisah tersebut terdapat pada Surah Al-Qalam: 17-29, yang akan penulis beri judul Kisah Pemilik Kebun. Berkenaan kisah ini, para penafsir Al-Qur’an terbagi menjadi dua, ada yang memahaminya sebagai kisah nyata, ada juga yang memahaminya sebagai kisah simbolik Al-Qur’an. Terlepas dari perdebatan para penafsir tersebut, yang jelas kisah dalam Al-Qur’an selalu membawa pelajaran dan hikmah bagi pembacanya, terutama umat Islam.
Dalam kisah Surah Al-Qalam: 17-29, digambarkan bahwa kebun tersebut sangat subur, luas dan buahnya banyak. Semula ia dimiliki oleh seorang yang kaya raya yang dermawan kepada para fakir miskin. Orang itu berharap agar sifat kedermawaannya tersebut diikuti oleh anak-cucunya, termasuk dalam hal kepemilikan kebun ini. Tetapi, ternyata akhlak anak-anaknya tak sesuai harapannya. Hingga akhirnya orang itu meninggal dan anak-anaknya hanya memikirkan bagaimana caranya menguasai kebun tersebut tanpa ada yang ikut campur.
Pemilik Kebun yang Sombong dan Melupakan Allah Swt
Pada Surah Al-Qalam Ayat 17-18 yang terjemahnya, “…Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari, tetapi mereka tidak menyisihkan,” terlihat para pemilik kebun tersebut sangat yakin untuk dapat melakukan kegiatannya besok tanpa mempedulikan bahwa apa yang menjadi rencananya tersebut senantiasa di bawah pengamatan dan kuasa Allah SWT.
Baca Juga: Keistimewaan Pohon Kurma (Nakhl) yang Disebutkan dalam Al-Qur’an
Keesokan harinya, para pemilik kebun tersebut berangkat dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapati kebunnya berbuah di atas tanah yang subur. Surah Al-Qalam: 21-22 menceritakan “lalu pada pagi hari mereka saling memanggil “Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil”.
Sayangnya pemilik kebun ini juga meninggalkan kebiasaan sifat dermawan yang menjadi karakter Ayah mereka. Surah Al-Qalam: 23-25 dikatakan “Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik. Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu. Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).”
Penyesalan Para Pemilik Kebun
Dalam Surah A-Qalam: 19-20 dikatakan “Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita”. Bencana ini terjadi ketika para pemilik kebun tersebut masih berniat dan bertekad akan mengambil hasil perkebunannya. Ketika mereka sedang tertidur lelap, seketika Allah SWT menggagalkan hasil panen mereka hingga kebun tersebut menjadi hitam.
Kesenangan, kebanggaan, dan usaha untuk menguasai hasil panen buah perkebunan para pemilik kebun seketika buyar tatkalah mereka menyaksikan kebunnya telah rusak dan hitam dikena bencana. Al-Qur’an menggambarkan keadaan mereka yang menyesal dan menyadari kesesatannya. “Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat, bahkan kita tidak memperoleh apa pun,” (QS. Al-Qalam: 26-27).
“Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim”. Demikian QS. Al-Qalam: 28-29 memperlihatkan para pemilik kebun tersebut menyadari kesalahan mereka hingga bertaubat karena lalai mengingat Allah SWT.
Kisah Pemilik Kebun sebagai Pengingat tentang Kuasa Manusia
Kisah di atas memperlihatkan bahwa sikap rendah hati dan berserah diri kepada Allah Swt sangat berdampak pada kehidupan manusia. Salah satunya dengan ungkapan Insya Allah sebagai tanda berserah diri, bukan hanya sebagai zikir dalam rangka mengingat Tuhan, tetapi sebagai pengakuan bahwa banyak hal yang manusia tidak dapat lakukan dan kuasai.
Muhammad Quraish Shihab mengomentari kisah dalam QS. Al-Qalam tersebut dengan mengatakan bahwa “Ada sangat banyak faktor yang harus terhimpun untuk terjadinya rencana yang diinginkan. Semua faktor tersebut hanya dapat dihimpun oleh Allah SWT. Karena itu, sangat dianjurkan berucap Insya Allah, yakni jika Allah menghendaki”
Dengan segala keterbatasannya, manusia menjadi makhluk yang penuh keterikatan dan ketergantungan. Manusia bergantung kepada Allah SWT, pada Alam, pada manusia lainnya, termasuk bergantung pada makhluk mati sekalipun. Dan segala tempat bergantung tersebut, hanya Allah SWT yang dapat mengendalikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa segala usaha manusia senantiasa berujung pada penyerahan usahanya kepada Allah SWT, sebagaimana banyak perintah bertawakkal Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman itu bertawakkal” (QS. Ali ‘Imran: 122); “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 159); “Dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan, maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”; dan masih sangat banyak lagi ayat lainnya yang memerintahkan manusia bertawakkal kepada Allah.
Baca Juga: Inilah 8 Manfaat Buah Zaitun, Buah yang Disebut dalam Al-Quran
Dalam konteks ini, Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya mengatakan bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan lebih mudah menghadapi kenyataan rencana yang akan dilakukannya. Jika terjadinya sesuatu yang mengecewakan, orang tersebut tidak mudah kehilangan ide untuk melakukan yang lainnya. Jika usahanya berhasil, orang tersebut tidak akan bersikap sombong karena menyadari kehadiran Allah SWT dalam usahanya.
Bertawakal kepada Allah Swt dengan salah satunya mengucapkan insya Allah dapat membangun kesadaran manusia untuk berusaha sembari mengingatkan diri tentang apa yang diusahakannya senantiasa dalam pengamatan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengalaman para pemilik kebun yang dikisahkan QS. Al-Qalam: 17-29 mengajarkan tentang hadirnya Allah SWT dalam setiap kegiatan, bahkan dalam niat manusia sekalipun. Wallahu A’lam []