Nalar sufistik menjadi salah satu epistemologi yang diakui oleh para cendekiawan Islam sebagai basis dalam menafsirkan al-Qur’an. Istilah bagi produk tafsir yang lahir dari epistemologi sufisme ini disebut sebagai tafsir Isyari. Produk tafsir yang masuk kategori ini tidak lahir hanya dari satu pola interaksi sufi dengan al-Qur’an, melainkan melalui beberapa macam bentuk interaksi.
Muhammad Abid al-Jabiri dalam karyanya Takwin Aql al-Araby mengkategorisasikan nalar sufistik sebagai bagian dari epistemologi irfani. Namun dalam praktiknya nalar sufistik tetap bersinggungan dengan kedua nalar lainnya yaitu bayani dan burhani. Masing-masing ketersinggungan ini akan menimbulkan ragam nalar sufistik yang berbeda-beda.
Secara umum nalar sufistik atau irfani dimaknai sebagai nalar ilahiyah, sebab nalar sufistik menggunakan metode riyadhah (tirakat dan penyucian diri) sebagai bekal untuk menggapai al-faydl al-ilahiyyah (ilmu ladunni atau ilham) melalui fenomena kasyaf. Jika merujuk pada definisi umum tersebut, maka ada tiga tahapan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mencapai posisi puncak selama riyadhah-nya yaitu takhalli (membersihkan jiwa), tahalli (memperindah jiwa) dan tajalli (mengisi hati hanya dengan Tuhan).
Baca Juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia
Secara spesifik ajaran sufisme memiliki setidaknya dua orientasi. Pertama, moderatisme (mu’tadilin) yang melandasi doktrinnya dengan melakukan konfirmasi kepada teks al-Qur’an dan Sunnah. Aliran ini juga disebut sebagai tasawuf sunni, sebab sebagian besar golongan yang menggunakan metode ini ialah golongan sunni. Serta disebut juga dengan istilah tasawuf akhlaqi karena orientasinya ditujukan pada ranah karakteristik dan moralitas.
Kedua, falsafi yang terkenal dengan berbagai istilah-istilah filsafatnya yang berasal dari masuknya ajaran neo-platonisme. Konsep fana’(annahilation), hulul, israqiyyah (illuminasi), wahdah al-wujud dan ragam terminologi filsafat lainnya merupakan ciri khas dari aliran ini. Ragam terminologi filsafat yang digunakan oleh aliran ini bertujuan untuk mewujudkan visinya yaitu merasionalisasi fenomena mistisme.
Meskipun para sufi dalam rangka menumbuhkan nalar sufistiknya memiliki metode riyadhah yang berbeda-beda serta orientasi yang juga berbeda. Namun dalam konteks penafsiran atau interaksinya dengan al-Qur’an, para sufi digolongkan setidaknya kepada tiga jenis interaksi.
Pertama, interaksi eisegesis (dari gagasan ke teks). Model interaksi ini dikemukakan oleh Ignaz Goldziher yang menganggap bahwa sumber rujukan dari ajaran sufisme bukanlah al-Qur’an melainkan paham emanasi neo-platonisme. Maka munculnya tafsir-tafsir al-Qur’an yang bercorak sufistik merupakan bentuk upaya para sufi untuk melegitimasi paham sufistik yang digelutinya.
Kedua, exegesis (dari teks ke gagasan). Model interkasi ini diuraikan oleh Massignon seorang pengkaji al-Qur’an asal Perancis yang menegaskan bahwa sumber utama tafsir sufi ialah pengetahuan ilahiyah yang didapatkannya melalui suluk atau riyadhah. Maka tafsir sufi menurutnya bukanlah produk yang bertujuan untuk melegitimasi paham sufistik para sufi melainkan ungkapan ekspresi serta sintesa antara pembacaan para sufi terhadap al-Qur’an dengan pengetahuan ilahiyah yang dimilikinya.
Ketiga, sintesa antara eisegesis dan exegesis. Pendapat ini dipegang oleh Husain al-Dzahabi yang menjelaskan bahwa pola interaksi antara sufi dan al-Qur’an mencakup dua interaksi sekaligus. Sebab sebagaimana tasawuf dibagi ke dalam dua ragam yakni nazhari dan amali, maka keduanya saling berkelindan. Sufi selain memunculkan ajaran yang sifatnya teoritis, juga menghadirkan laku-laku suluk atau riyadhah yang dijadikan sebagai amalannya.
Masing-masing interaksi antara sufi dengan nalar sufinya terhadap al-Qur’an, akan menghasilkan variasi dalam produk tafsir isyari. Hal itu akan sangat menarik jika dibahas ke dalam ranah penelitian.
Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi
Namun dalam ranah teologis, tentu ada batasan-batasan yang harus ditetapkan terhadap standar validitas tafsir isyari yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Poin ini begitu penting, sebab tak jarang ditemui fenomena di masyarakat yang mempertentangkan dan bahkan berupaya menghapus dimensi syariat yang normatif.
Semisal shalat dianggap cukup hanya dengan berzikir dalam hati, hal ini dianggap sebagai kebenaran dan sesuai dengan pemahaman terhadap Q.S. Thaha [20]: 14:
اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ
Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.
Maka untuk menghindari kesalahpahaman tersebut, salah satu standar yang diberikan oleh Quraish Shihab dapat menjadi rujukan terbaik untuk mempertimbangkan validitas tafsir isyari. Ia berpendapat bahwa tafsir isyari dapat diterima dengan beberapa syarat antara lain: maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat keagamaan, tidak juga dengan lafal ayat, tidak menyatakan bahwa itulah satusatunya makna untuk ayat yang ditafsirkan, terdapat korelasi antara makna isyari yang ditarik oleh sufi dari tesk al-Qur’an dengan zahir ayat al-Qur’an, dan ada dukungan dari sumber ajaran agama yang mendukung makna isyari tersebut. Wallahu a’lam.