Kematian adalah muara akhir dari kehidupan seluruh makhluk yang bernyawa, yakni makhluk yang memiliki ruh dalam jasad (fisik). Ia merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Kematian dalam Al-Quran disebut sebagai ajal, tawaffa atau istifa’. Istilah ini terdapat pada empat belas tempat dalam Al-Quran yang kesemuanya mengandung makna yang sama, yaitu kematian.
Kematian dalam perspektif Al-Quran merupakan putusnya keterikatan ruh dengan badan dalam bentuk yang telah diketahui, disertai pergantian keadaan, serta perpindahan dari satu alam ke alam yang lain (Mafatih al-Ghaib). Tidak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana kematian terjadi. Namun yang jelas perpisahan antara ruh dan jasad ini adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan yang baru (after life).
Para mufasir seperti Ibnu Katsir, Sayyid Quthb, Buya Hamka, dan Quraish Shihab sependapat bahwa kematian menurut Al-Quran adalah sesuatu yang pasti. Akan tetapi, tidak ada yang manusia yang dapat mengetahui kapan kematian akan terjadi. Allah swt – dalam Al-Quran – hanya menjelaskan tentang adanya sebab-sebab seseorang akan mengalami kematian, seperti terbunuh, sakit, kecelakaan dan sebagainya.
kata yang dipakai untuk menyebut kematian dalam Al-Quran yang paling lumrah adalah al-maut. Kata ini digunakan untuk menunjukkan kematian secara umum, baik untuk manusia, tumbuhan maupun bumi. Al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) menjelaskan perbedaan penggunaan istilah kematian dalam Al-Quran sebagai berikut (al-Mufradat fi Gharib al-Quran):
Jenis-jenis kematian sesuai dengan jenis kehidupan. Yang pertama berkaitan dengan kekuatan regenerasi yang ada pada tumbuhan, hewan, dan manusia dan disebut dalam Surat al-Rum [30] ayat 19, “..Dia (Allah) menghidupkan bumi setelah mati (kering).” Yang kedua adalah kondisi mati rasa dan dimaksudkan dalam permohonan Maria, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan” ( QS. Maryam [19]: 23).
Yang ketiga adalah hilangnya kemampuan kecerdasan, yakni kebodohan yang tercermin dalam surat al-An’am [6] ayat 122, “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…”
Tipe keempat adalah keadaan depresi dimana hidup menjadi tidak tertahankan. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai keadaan antara hidup dan mati sebagaimana dimaksud dalam surat Ibrahim [14] ayat 17, “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.”
Tipe kelima adalah kematian yang artinya tidur. Makna ini ditunjukkan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”
Dari pemaparan al-Rāghib al-Iṣfahānī (w. 502/1108) di atas, Hamza Yusuf, co-pendiri Zaytuna College, kemudian membuat klasifikasi kematian dalam Al-Quran. Ini ia tuangkan dalam sebuah artikel yang berjudul, “Death, Dying, And The Afterlife In The Quran.” Pada artikel ini ia menjelaskan tentang kematian, sakaratul maut, dan kehidupan akhirat menurut pandangan Al-Quran secara tematik, yakni:
Jenis kematian pertama berkaitan dengan pertumbuhan dan kekuatan regenerasi setelah kematian (regeneration after death). Al-Quran menyampaikan gagasan tentang kehidupan sebagai pertumbuhan dan kematian sebagai pembusukan, penurunan, dan pengeringan. Banyak ayat menggunakan gambaran bumi yang mati dihidupkan kembali sebagai analogi untuk kebangkitan.
Dalam surat al-Ḥajj [22] ayat 5, terdapat dua analogi untuk kebangkitan. Yang pertama bersifat embriologis dan yang kedua adalah agricultural. Tahapan embrio manusia disorot dalam ayat 5 ini, mengingatkan kita bahwa manusia berasal dari debu dan diciptakan dari materi tak bernyawa. Fakta ini sendiri seharusnya menjadi bukti bahwa kebangkitan itu mungkin, mengingat Dia yang menciptakan kita sekali pasti bisa melakukannya lagi.
Analogi kedua yang Al-Quran berikan pada ayat 5 lebih mudah dipahami oleh orang-orang Arab gurun pada masa Nabi Muhammad saw, karena topografi gurun yang tandus dan minim kehidupan mengungkapkan kepada mereka regenerasi tiba-tiba setiap tahun. Melalui contoh tersebut Allah swt ingin menggambarkan bagaimana manusia dibangkitkan kembali pada Hari Kemudian.
Jenis kematian kedua adalah kematian perasaan atau empati hati manusia (satient death). Banyak ayat dalam Al-Quran yang mencaci-maki orang yang berhati keras, yang tidak menunjukkan belas kasihan, dan menyebut orang-orang kafir sebagai tidak sadar dan tidak berperasaan. Dalam beberapa ayat Al-Quran menyebutkan perlunya “pertumbuhan spiritual” melalui pemurnian (tazkiyah).
Allah berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9-10). Pertumbuhan spiritual ini mengikuti jalur dan stasiun yang dipetakan dalam Al-Quran. Dengan demikian, kematian menjadi metafora untuk kematian jiwa yang lebih rendah dan kemungkinan pemulihannya untuk hidup dan tumbuh dalam keadaan yang lebih sempurna.
Jenis ketiga adalah kematian kecerdasan (intellectual death) yang dipahami sebagai kebodohan. Al-Quran mengkategorikan beberapa orang sebagai tuli, bisu, buta, dan dengan hati yang keras (hati adalah pusat kecerdasan) atau dengan kata lain, tidak peka secara intelektual. Dalam ayat-ayat lain, keadaan ini disamakan dengan jenis kematian (lihat surat al-An’am [6] ayat 122).
Banyak hadis merujuk pada kematian spiritual hati yang mencegahnya berfungsi sebagai pusat kecerdasan, sehingga membutuhkan terapi spiritual agar dapat dihidupkan kembali. Namun, kematian spiritual pada kondisi tertentu juga merupakan langkah awal untuk mendapatkan kehidupan spiritual baru. Nabi sebenarnya menganjurkan kepada para pengikutnya, “Matilah sebelum kamu mati.”
Jenis kematian keempat adalah bentuk keputusasaan dan kesengsaraan psikologis (despair and psychological death) di mana kehidupan dialami tanpa makna dan bahkan kesenangan. “Diteguk-teguknya (air nanah itu) dan dia hampir tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; dan di hadapannya (masih ada) azab yang berat.” (QS. al-An’am [6] 122).
Terakhir, jenis kematian kelima yang disebutkan oleh al-Rāghib al-Iṣfahānī adalah tidur (death as sleep). Al-Quran mengatakan dalam surat al-An’am [6] ayat 60, “Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari…” dan surat az-Zumar [39] ayat 42, “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur…”
Salah satu tanda yang menghubungkan tidur dan mati adalah dalam kedua kasus kita tidak berdaya untuk menjalankan keinginan kita. Tidur adalah “diktator kecil” yang menguasai kita seperti kematian. Di malam hari, tidur menaklukkan manusia dan membuat mereka tak bernyawa. Tidur dianggap sebagai kematian kecil, dan kematian, jika dibandingkan dengan realitas kehidupan duniawi, dapat dianggap sebagai tidur yang nyenyak. Wallahu a’lam.