Abu Bakar memiliki penafsiran yang menarik terhadap Q.S. al-Rum: 41 dan terekam dalam kitab Nashaihul Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani. Ayat yang biasanya dalam kitab-kitab tafsir mu’tabarah ditafsirkan secara teologis, namun oleh Abu Bakar cenderung dimaknai secara sufistik. Meskipun tidak diketahui latar belakang dibalik corak penafsirannya, namun isinya cukup bermakna untuk dijadikan bahan renungan di tengah carut-marutnya kehidupan sosial saat ini.
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Pada lafadz dzharal fasad fi barr wal bahr, ia menafsirkan bahwa kata al-barr dimaknai permukaan (surface) atau hal yang nampak, sedangkan al-bahr dimaknai sebagai sesuatu yang dalam dan luas sehingga sifatnya sama seperti lautan.
Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40
Sesuatu yang nampak itu dimaknainya secara spesifik dengan al-lisan (mulut). Sedangkan yang dalam dan luas dimaknainya dengan laut. Ia pun menguraikan implikasi dari penafsirannya ini. Ia menuturkan bahwa nampaknya kerusakan lisan (dzhara al-fasad fil barr) dapat terlihat dari banyaknya hinaan dan cacian yang terucap dari mulut manusia.
Kerusakan atau ketidakbermoralan lisan manusia tentu akan memberi dampak balik kepada manusia itu sendiri (liyudziqahum ba’dal ladzi amilu). Hinaan dan cacian akan memberikan bekas luka pada psikis atau jiwa manusia yang disasar.
Lihat saja misalnya pada korban-korban bullying. Mereka yang setiap hari menjadi objek hinaan dan cacian, pada akhirnya mengalami sakit psikis berupa efek traumatis baik jangka pendek dan bahkan jangka panjang.
Bagi si pembully, mereka tentu akan mendapatkan balasan. Baik berupa hukuman pidana dan bukan tidak mungkin sanksi sosial juga akan mereka dapatkan. Maka tepat jika ada perumpamaan yang menyebut bahwa “tajam lidah daripada pedang”, karena mampu menusuk lebih dari satu orang dalam sekali tusukan.
Serta “mulutmu harimaumu”, sebab apapun yang terucap oleh mulut apabila tidak dikontrol dengan baik justru dapat menjadi malapetaka bagi diri si pengucap. Apalagi di zaman medsos saat ini. Sudah banyak terbukti bahwa orang-orang yang tidak dapat menjadi lisannya dalam bentuk status medsos, diproses secara hukum dan tak jarang mendapat pidana yang cukup lama.
Begitupun halnya dengan kerusakan hati. Sejatinya rusaknya lisan bisa menjadi salah satu tolak ukur rusaknya hati. Sebab hati yang sehat adalah hati yang bebas polusi seperti riya’, serakah, hasad dan polutan-polutan lainnya. Maka bisa dikatakan bahwa keduanya satu paket. Sama halnya dengan kondisi ekologis, di mana jika daratan sudah rusak ekosistemnya maka lautpun juga mengalami kondisi yang sama.
Dari penafsiran Abu Bakar yang menafsirkan al-bahr dengan hati sebab kesamaan antara kedalaman dan keluasannya. Maka ada poin penting yang didapatkan bahwa hati yang sehat seyogyanya memang memiliki sifat lautan yang luas dan dalam.
Artinya dengan begitu hati tidak mudah terkontaminasi oleh polutan-polutan yang dapat mengotorinya. Akibatnya hati akan tetap jernih, dan kejernihan itu juga akan mempengaruhi lisan dalam berucap.
Abu Bakar menegaskan untuk mendapatkan kondisi lisan dan hati yang ideal, maka lisan dan hati harus senantiasa digunakan untuk berdzikir (mengingat Allah). Lisan dan Hati juga harus dihindarkan dari hal-hal yang tidak perlu dan dapat menjadi sebab kerusakannya.
Itulah mengapa hati dan lisan berjumlah satu bukan berpasangan layaknya mata dan telinga. Sebab kebutuhan akan mendengar dan melihat lebih banyak daripada berbicara. Di mana bicara merupakan salah satu bentuk ekspresif manusia yang mewakili hati dan diungkapkan oleh lisan.
Baca Juga: Tafsir Abu Bakar atas Wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk menjaga hati selalu jernih serta lisan dari ucapan-ucapan yang tidak baik adalah dengan selalu berdzikir baik dalam hati maupun dengan lisan.
Menurut penulis, dengan riyadhah dzikir tersebut bukan saja lisan yang akan senantiasa mengucapkan hal-hal yang baik. Namun juga bentuk ekspresif lainnya seperti perbuatan anggota tubuh.
Mungkin metode ini juga bisa menjadi obat bagi kerusakan ekologi manusia saat ini. Kerusakan akibat hubbud dunya yang telah menguasai hati manusia sampai lupa bahwa setiap bentuk kerusakan pasti membawa dampak bagi manusia itu sendiri. Wallahu a’lam.