Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Lviv, Austria. Nama Muhammad Asad merupakan nama yang menggantikan nama kecilnya, Leopold Weiss, setelah mengonversi keyakinannya dari Yahudi Ortodoks ke Islam di tahun 1926.
Asad kecil lahir dan dibesarkan dalam keluarga rabi Yahudi Ortodoks dan saintis, sehingga sejak muda ia telah memiliki semangat akademik yang tinggi dan bahkan telah mempelajari ajaran Yahudi secara mendalam. Di usianya yang masih tiga belas tahun, Asad sudah mempelajari Alkitab dan Taragum beserta penafsirannya.
Asad muda digambarkan sebagai pengembara keilmuan yang membebaskan dirinya dari keterikatan apapun. Ia pernah mengenyam pendidikan Filsafat dan Seni di Universitas Wina pada tahun 1921 namun tidak dirampungkannya. Begitu juga dengan studinya di Akademi Geopolitik di tahun 1925 yang terkonsentrasi pada Studi Islam, juga tidak ia rampungkan.
Meskipun sejak belia ia dibesarkan oleh lingkungan keluarga rabi dan bahkan saat muda sudah mempunyai keilmuan setingkat rabi, ia tetap menjalani kehidupan keagamaannya dengan bebas. Ia dikatakan tertarik dengan Taoisme dan bahkan pernah mengalami masa kebosanan akan agama.
Pengembaraannya ke berbagai benua sebagai wartawan, telah membawanya mengunjungi dan tinggal di berbagai negara Timur Tengah sejak 1921. Perjalanannya itu telah memberikannya berbagai pengalaman dan kesan, hingga puncaknya di tahun 1926 ia mengakui Islam sebagai agamanya.
Dalam karyanya, Road to Mecca, ia menguraikan dengan lantang bahwa Islam adalah agama yang memiliki arsitektur sempurna dan setiap elemen di dalamnya berjalan begitu harmonis. Ia juga memperlihatkan pengalaman yang ia rasakan saat melihat perjuangan negara-negara Islam lepas dari zionisme dan penjajahan. Asad juga menuliskan beberapa perjumpaannya dengan beberapa pemuka negara Islam seperti Ibn Saud, Mustafa al-Maraghi dan Muhammad Iqbal. Bersama Iqbal, Asad turut membantu menyusun dasar-dasar kenegaraan Islam di Pakistan dan bahkan menjadi duta Pakistan pertama untuk PBB.
Selain mendapatkan hidayah dan semangat aktivisme yang tinggi, perjalanan Asad ke negeri-negeri Timur Tengah juga memberikan pengaruh bagi keilmuan akademiknya. Saat berada di Saudi Arabia, Asad mempelajari langsung bahasa Arab murni dari suku Badwi.
Hal itu memberikan penambahan yang begitu berharga bagi perbendaharaan bahasa semitik yang ia miliki, setelah sebelumnya ia menguasai bahasa Ibrani dan Aramaik. Atas dasar itulah Asad tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, diplomat, penikmat seni dan filsafat, namun juga seorang linguis.
Di paruh penghujung usianya, Asad yang telah sampai pada puncak level kemapanan pemikiran (berkat berbagai pengembaraan yang ia lalui), berhasil menyelesaikan sebuah karya Tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz dalam bahasa Inggris dan diberi nama, The Message of the Qur’an.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi Muhammad Asad menulis karya tafsirnya ini. Pertama, menghadirkan terjemahan al-Qur’an dengan bahasa yang mampu menjaga “semangat” bahasa al-Qur’an dan objektif. Alasan ini ditopang oleh penguasaannya terhadap beberapa bahasa Semitik. Kedua, menjembatani masyarakat Muslim dan non-Muslim (khususnya) pengguna bahasa Inggris yang ingin mengetahui Islam melalui al-Qur’an, khusunya mereka yang tidak kompeten dalam bahasa Arab. Ketiga, menghadirkan tafsir sebagai solusi bagi problema masyarakat. Keempat, menghadirkan terjemahan al-Qur’an yang dapat menginspirasi setiap pembacanya baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Selain kitab tafsir yang menjadi karya di puncak intelektualitasnya, Muhammad Asad juga telah menulis beberapa karya lain sepanjang hidupnya. Karya fenomenal Islam at the Crossroad (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Perjalanan ke Mekkah), The Principles of the State and Government in Islam (Prinsip-prinsip Negara dan Pemerintahan dalam Islam) menjadi karya-karyanya yang telah mendapatkan perhatian besar dari cendekiawan-cendekiawan seluruh dunia.
Muhammad Asad berpulang ke pangkuan ilahi, di usianya yang ke 92 Tahun di Spanyol. Setelah ia melakoni pengembaraan terakhirnya di Maroko dan Portugal. Asad tidak hanya meninggalkan tinta emasnya namun juga mewariskan semangat intelektualnya pada anaknya Talal Asad, yang menjadi salah satu Antropolog Muslim terkemuka di dunia saat ini.