Manuskrip Al-Qur’an Nusantara memiliki karakter yang khas, salah satunya dari sisi rasm yang digunakan. Mayoritas manuskrip Al-Qur’an itu ditulis dengan rasm imla’i, bukan rasm usmani. Penerapan rasm ini bisa kita telusuri dari naskah mushaf kuno Nusantara yang tertua dan kini disimpan di Belanda. Mushaf dengan kode MS 96 D 16 dan bertahun 1606 itu ditulis dengan rasm imla’i yang mengedepankan kaidah bahasa Arab, dari pada mengikuti penulisan era Utsman bin Affan.
Perihal penulisan rasm imla’i, mudah sekali kita menilai bahwa mushaf itu tidaklah sempurna. Hal ini didasari pada persepsi bahwa rasm usmani bersifat tawqifi yakni berdasarkan petunjuk Allah dan Rasulullah. Maka, jika tidak ditulis dengan rasm usmani, otomatis mushaf itu dianggap menyalahi ketentuan. Hal ini juga yang kita temui sekarang, nyaris semua mushaf Al-Qur’an yang kita gunakan bertuliskan bil rasmi al-utsmani (dengan rasm utsmani). Dari persepsi ini kita perlu menggali lagi pendapat para ulama, bagaimana jika mushaf ditulis bukan dengan rasm usmani?
Pertanyaan ini memiliki tiga pendapat, ada yang membolehkan, ada yang melarang, dan ada yang menggunakan keduanya. Ini yang akan kita ulas beserta alasan-alasan yang menyertainya.
Boleh Menggunakan Rasm Imla’i
Pendapat pertama membolehkan penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’i. Hal ini bertujuan agar pembaca Al-Qur’an tidak salah membaca, karena penulisan dengan kaidah bahasa Arab sesuai dengan cara bacanya. Misalnya kata Al-sholaata, rasm imla’i ditulis الصلاة , sementara rasm usmani ditulis الصلوة . Dengan penulisan yang sesuai bacaan itu, penulisan rasm imla’i tidak membingungkan orang awam. Adapun salah satu ulama yang membolehkan penulisan dengan rasm imla’I adalah Syekh Izuddin bin Abd as-Salam dan Ibn Khaldun.
Baca juga: Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11
Para ulama yang berpendapat ini juga memiliki alasan terkait dalil yang digunakan. Mengutip Kiai Ahsin Sakho Muhammad dalam “Membumikan Ulumul Qur’an”, bahwa tidak ada dalil sharih dari Nabi tentang keharusan penulisan rasm tertentu. Pendapat ini dikuatkan oleh Abu Bakar al-Baqillani yang mengatakan, “Siapa saja yang mengharuskan cara penulisan Al-Qur’an rasm tertentu, dia harus mengemukakan dalilnya. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadis, bahkan ijma’ sahabat untuk itu”.
Harus Ditulis dengan Rasm Usmani
Pendapat kedua mengharuskan penulisan mushaf Al-Qur’an dengan rasm usmani. Seperti yang di awal paparkan, pendapat ini kuat akan persepsi tawqifi. Di antara ulama-ulama yang mengikuti pendapat ini adalah jumhur ulama salaf, dan imam empat (Hambali, Malik, Syafi’i, Hanafi). Mereka menyebut bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an harus sesuai dengan al-katbah ula atau tulisan pertama. Kemudian mereka meyakini syarat diterimanya bacaan (qiraat) adalah dengan penulisan rasm usmani.
Mengenai syarat qiraat ini, Kiai Ahsin mengutip ungkapan Ibn Al-Jazari dalam kitab Thayyibat an-Nasyr. “Setiap bacaan (qiraat quraniyah) yang memenuhi tiga rukun, yaitu sesuai dengan kaidah nahwu, sesuai dengan rasm usmani walau mirip, dan sanadnya sahih serta masyhur di kalangan ulama qiraat. Maka bacaan itu dinamakan Al-Qur’an,” tulisnya.
Selain itu, ulama yang berpendapat mushaf harus ditulis dengan rasm usmani berkeinginan untu menjaga keutuhan dan keaslian Al-Qur’an.
Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab
Menggunakan Rasm Usmani dan Rasm Imla’i
Pendapat ketiga adalah sikap ulama yang ingin mengakomodir keduanya. Kiai Ahsin cenderung memilih ini. Menurutnya, dalam penulisan mushaf Al-Qur’an harus ditulis dengan rasm usmani. Sementara untuk selain mushaf Al-Qur’an, misalnya kitab, buku pembelajaran atau yang lainnya boleh menuliskan ayat Al-Qur’an dengan rasm imla’i.
Pendapat ini memiliki alasan bahwa untuk menjaga keaslian Al-Qur’an, maka mushaf yang dibaca masyarakat harus ditulis dengan rasm usmani. Selain itu, karena tidak ada dalil yang mengharuskan penulisan rasm usmani, maka penulisan ayat Al-Qur’an di kitab-kitab, atau buku pelajaran lebih cocok ditulis dengan rasm imla’i, karena lebih mudah.
Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris
Dari keragaman pendapat ini, kita kembali pada jejak manuskrip Al-Qur’an Nusantara. Kenyataannya, banyak sekali mushaf kuno yang ditulis dengan rasm imla’i. Masa silam memang belum menggunakan mesin cetak dan mengharuskan penyalinan satu per satu, maka sangat logis jika penulisan rasm yang digunakan adalah rasm imla’i.
Kondisi berbeda setelah Indonesia merdeka. Mushaf kenegaraan pertama yang dibuat di masa Soekarno sudah mulai menggunakan rasm usmani. Saat itu memang mushaf Mesir dengan rasm usmani sudah dicetak dan disebarluaskan di negara-negara muslim lainnya. Lanjut pada tahun 1984 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an telah menetapkan tiga mushaf Standar. Salah satu mushaf inilah yang kemudian menjadi acuan penulisan dengan rasm usmani di Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan dialektika ulama tentang penulisan mushaf Al-Qur’an. Adanya pendapat yang beragam menunjukkan semua keputusan memiliki dasar, alasan dan tujuan. Bukan atas dasar kebencian.
Wallahu a’lam[]