Al-Qur’an sebagai firman Tuhan, dalam setiap susunan kalimat maupun setiap kata menggunakan redaksi dan kosa kata yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi, dalam ilmu balaghah disebut kalam baligh fasih, dan setiap kata pun menggunakan kosa kata yang jawami’ kalim, yaitu memiliki kedalaman dan keluasan makna yang tak terhingga. Termasuk dalam membuat kosa kata dengan bentuk tunggal (mufrod) maupun plural (jamak) juga memiliki tujuan makna tersendiri. Hal ini menarik menurut penulis untuk dikaji lebih dalam.
3 Kategori dalam Penggunaan Mufrod dan Jamak
Penggunaan bentuk mufrod dan jamak paling tidak ada tiga kategori ; pertama kata yang selalu berbentuk jamak, misalnya الأًلْباًب . Kata ini adalah bentuk jamak dari mufrod اللُبُّ yang di dalam al-Qur’an tidak pernah digunakan, karena selalu menggunakan bentuk jamak. Kedua, kata yang selalu berbentuk mufrod, misalnya الأًرْضُ. Ketiga, kata yang terkadang berbentuk mufrod, terkadang sebaliknya, yakni jamak. Misalnya ; السَّمَاء dan الّرِيْحُ , kedua kata ini memiliki bentuk jamak ; السَّمَوَات dan الرِّيَاح .
Baca juga: Kenali Tiga Penyebab Stagnasi Berpikir dalam Al-Quran
Apakah penggunakan bentuk mufrod dan jamak dari setiap kata di dalam al-Qur’an hanya sekedar layaknya kata-kata biasa yang tidak punya tujuan atau faidah makna? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita memahami dahulu penjelasan para ulama ahli tafsir, agar kita tidak salah faham.
Imam Suyuthi di dalam al-Itqon mengupas faidah dari setiap bentuk mufrod dan jamak di dalam al-Qur’an, dengan memberikan banyak contoh dan menguraikan maknanya.
Mengapa الألْباَب selalu berbentuk jamak, menurut Imam Suyuthi, karena bentuk mufrodnya secara lafadz berat dan sulit dalam pengucapan. Dalam memahami ‘berat dan sulit dalam pengucapan’ di sini jangan menggunakan persepsi orang Indonesia, namun persepsi orang arab.
Misalnya saja orang arab merasa berat jika ada huruf dlod berdekatan dengan syin karena sama-sama huruf isti’la’ (huruf hijaiyah yang makhrojnya berat pengucapannya), orang arab merasa berat apabila ada huruf ya’ berharokat dlomah jatuh setelah huruf berharokat kasroh dsb.
Apa faidah makna kata السماء dengan bentuk mufrod, menurut Imam Suyuthi guna menunjukkan arah atas, seperti pada ayat :
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ
“ Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu “ (QS. Adz-Dzariyat : 23)
Baca juga: Membaca Fenomena Banjir dalam Surah Saba’ Ayat 15-17 Melalui Kacamata Tafsir Ekologi
Sedangkan ketika berbentuk jamak ; السموات guna menunjukkan makna ‘sesuatu yang berkaitan dengan langit dengan jumlah banyak’, seperti pada surat as–shaaf ayat 1 yang mengandung makna bahwa ‘di langit terdapat banyak makhluk penduduk langit (malaikat) yang bertasbih kepadaNya’ :
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
“ Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit “ (QS. As-Shaaf : 1)
Seperti halnya kata ‘الّرِيْحُ’ ketika berbentuk mufrod, berarti yang dikehendaki adalah angin yang menimbulkan azab. Sedangkan jika berbentuk jamak, berarti angin yang mengandung banyak nikmat, seperti angin sepoi-sepoi, angin sawah, angin yang membawa benang sari kepada putik dll.
Baca juga: Empat Klasifikasi Ayat-Ayat Humanis dalam Surah Al-Insan Versi M. Abid Al-Jabiri
Satu contoh lagi yang lain adalah kata النُّوْر yang selalu berbetuk mufrod dan الظُّلُمَات yang selalu berbentuk jamak. Apa rahasianya? Kata النُّوْر yang secara bahasa berarti ‘cahaya’ sering kali digunakan sebagai kiasan/majas dari ‘hidayah atau kebenaran’, sebab hidayah/kebenaran ibarat cahaya yang menerangi kehidupan seseorang.
Sedangkan kata الظُّلُمَات yang secara bahasa berarti ‘kegelapan’ di dalam al-Qur’an sering dijadikan kiasan dari ‘kesesatan’ atau lawan dari ‘hidayah/kebenaran’. Lantas mengapa justru kata ini sering berbentuk jamak? Karena jalan yang dapat menyesatkan orang sangatlah banyak, sedangkan jalan menuju kebenaran hanya satu, yaitu sirothol mustaqim; ajaran agama islam.
Walhasil, perbedaan bentuk bilangan pada setiap kata di dalam al-Qur’an, mufrod maupun jamak, pasti memiliki konsekuensi makna yang berbeda pula. Selain Imam Suyuthi yang menjelaskan secara perinci faidah maknanya, Imam Zarkasyi dalam al-Burhan juga demikian.
Wallahu A’lam