Sejatinya manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Allah yang terakhir. Sebelum penciptaannya, alam bumi seisinya lebih dahulu diciptakan. Maka seyogyanya dan seharusnya manusia bersikap tawadhu (rendah hati) kepada saudara tuanya, bumi seisinya. Sikap ini kemudian diejawantahkan oleh kisah Nabi Sulaiman kepada Allah swt ketika mendengar perkataan semut yang menyentuh sanubarinya.
Kisah ini diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya Q.S. An-Naml [27]: 18-19,
حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ
Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (Q.S. An-Naml [27]: 18-19)
Tafsir Surat An-Naml Ayat 18-19
Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Sulaiman yang berjalan dengan tentaranya pada suatu daerah. Menurut Qatadah, daerah itu merupakan tempat tinggal komunitas semut. Mendengar detak langkah kaki Nabi sulaiman dan pasukannya, maka sang Raja semut memerintahkan kepada rakyatnya untuk segera memasuki rumahnya masing-masing agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat
Hal ini sangat wajar karena semut merupakan hewan yang amat kecil sehingga sangat memungkinkan sekali Nabi Sulaiman dan tentaranya tidak melihatnya. Pada satu sisi ayat ini memperlihatkan interaksi dan komunikasi di antara semut dan kehidupan sosialnya. Sedangkan pada sisi yang lain, semut menyadari bahwa dirinya amat kecil maka ia harus tahu diri dan berusaha mengamankan diri agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman dan tentaranya.
Lalu pada ayat berikutnya (ayat 19), mendengar seruan sang Raja semut, maka Nabi Sulaiman tersenyum, seraya berdoa sebagaimana redaksi ayat 19. Al-Tabary dalam Jami’ul Bayan memaknai ayat itu dengan ilhamni (Ya Allah ilhamkanlah aku). Tidak jauh berbeda, Ibnu Abbas menafsirkannya dengan ij’alni (Ya Allah jadikanlah aku). Adapun Ibnu Zaid lebih condong kepada makna ilhamni wa harridhni (Ya Allah ilhamkanlah aku dan motivasilah aku).
Masih tentang penafsiran al-Tabary, redaksi wa an a’mala shalihan tardhahu, ia menafsirkannya dengan an a’mala bi tha’atika wa ma tardhahu (beramal dengan penuh ketaatan dan sesuatu yang diridhai-Nya).
Baca juga: Stilistika al-Qur’an, Wajah Modern dari Kajian Sastra Klasik
Penafsiran yang lain disampaikan oleh Ibnu Katsir dengan menukil satu riwayat yakni Ibnu Asakir telah meriwayatkan melalui Ishaq Ibn Basyir, dari Sa’id, dari Qatadah, dari al-Hasan, bahwa nama semut yang berbicara itu adalah Haras. Ia berasal dari klan Bani Syisan.
Dikatakan bahwa ukuran semut itu kala itu sepadan dengan seekor serigala, sedangkan semut yang berujar itu pincang kakinya. Semut yang pincang itu merasa khawatir jika makhluk jenisnya akan lenyap karena terinjak dan teracal-acak oleh bala tentara Nabi Sulaiman yang terdiri dari berbagai jenis hewan dan manusia. Maka ia menyerukan agar memasuki sarang-sarang mereka.
Dan Nabi Sulaiman mendengar pembicaraan itu. Ia sangat terenyuh, ternyata ada makhluk lain yang sangat amat menyadari posisinya sebagai makhluk yang amat kecil. Dia lalu menengadahkan tangan dan berdoa, “Ya Allah ilhamkan dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersyukur akan nikmat-Mu berupa anugerah kemampuan memahami bahasa burung dan semua hewan, juga kepada kedua orangtuaku, agar diriku menjadi hamba yang patuh, tunduk dan beriman kepada-Mu”.
Dalam Shahih Muslim, Abdurrazzaq dari Ma’mar, dari Hamman, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda, “seekor semut pernah menggigit salah seorang nabi dari kalangan nabi terdahulu, maka nabi itu memerintahkan agar seluruh kampung semut itu dibakar. Maka Allah swt menurunkan wahyu kepadanya (seraya menegurnya), “Apakah karena seekor semut yang menggigitmu, lantas kamu binasakan semua makhluk yang bertasbih, mengapa kamu tidak membunuh seekor semut saja?”.
Hadits ini memberikan kita ibrah (pelajaran) bahwa untuk tidak gebyar uyah podo asine (baca: dipukul rata atau digeneralisir) Artinya jangan sampai ada conflic of interest sehingga menyebabkan kita tidak berlaku adil. Harus selektif dan melihat akar persoalannya.
Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman
Dari kandungan ayat di atas, yaitu doa Nabi Sulaiman dapat kita pahami bahwa sosok Nabi Sulaiman yang dianugerahi segala kenikmatan baik kenikmatan keilmuan maupun duniawi tidak membuatnya sombong, ujub dan riya’, justru melalui doa itu Nabi Sulaiman menunjukkan sikap tawadhu’nya kepada Allah swt.
Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?
Semut itu memberikan pelajaran yang amat berharga baginya. Bahwa kedudukannya di mata Allah swt sangatlah kecil tidak ada sebiji atom. Karenanya, sangat tidak elok jika ia bersikap sombong, justru semakin berilmu semakin ‘alim seperti padi, kian berisi kian merunduk.
Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan tanda-tanda orang tawadhu dalam kitabnya, Risalah al-Mu’awwanah wa al-Mudhaharah wa al-Muwazarah,
من أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر
“Tanda-tanda orang tawadhu’ di antaranya adalah membenci kemasyhuran (lebih suka tidak terkenal daripada terkenal), bersedia menerima kebenaran dari semua kalangan (tidak mementingkan ego sektoral, merasa benar sendiri, dan sebagainya), mencintai fakir miskin dan tidak segan duduk bersamanya, tidak segan mengutamakan kepentingan bersama ketimbang pribadi, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah membantu kepentingannya, serta memaafkan bagi yang menyakitinya”.
Semoga kita semua mampu meneladani sikap tawadhu Nabi Sulaiman, meski dianugerahi jabatan strategis, dianugerahi segala kelebihan dan keutamaan dibanding yang lain, kita tetap tawadhu dan rendah hati. Aamiin. Wallahu A’lam.