Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran.
Sebelum munculnya kitab tafsir lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim dengan Kitabut Tafsir-nya.
Selanjutnya pada era tafsir-tafsir awal, riwayat tafsir Nabi, sahabat dan tabiin itu dikutip dalam kitab-kitab tafsir dengan turut memuat sanadnya secara lengkap. Sampai pada masa di mana hanya matannya saja dari hadis-hadis itu yang dipertahankan, kepakaran atas ilmu hadis menjadi prasyarat seseorang untuk menjadi mufassir.
Baca juga: Hadis-Hadis tentang Keutamaan Membaca Alquran
Sebagian ahli tafsir ada yang sangat berpegang pada riwayat-riwayat hadis dalam menafsirkan Alquran. Tafsir jenis ini kini dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.
Selain sebagian kecil oknum Munkirus Sunnah (kelompok yang mengingkari sunnah), para ulama menjadikan hadis sebagai salah satu komponen penting dalam upaya menafsirkan Alquran. Ini tidak lepas dari kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai mufassir (penjelas) yang paling otoritatif atas Alquran.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, posisi hadis Nabi terhadap Alquran setidaknya ada empat, yaitu sebagai berikut:
- Sebagai Penguat Alquran
Ini terjadi ketika hadis menyampaikan pesan yang sama dengan yang terdapat dalam Alquran. Maka hadis di sini berperan sebagai penguat yang mengafirmasi atas apa-apa yang telah disampaikan Alquran sebelumnya.
Contohnya, hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Berwasiatlah kalian terhadap perempuan dengan kebaikan.” Hadis ini menguatkan perintah Alquran untuk memperlakukan perempuan dengan makruf dalam kutipan ayat berikut:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka (perempuan) secara patut (QS. An-Nisa: 19)
- Sebagai Penjelas Alquran
Kebanyakan hadis Nabi berposisi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran. Dibandingkan dengan hadis, Alquran yang jumlahnya hanya sekitar 6.236 ayat ini tentunya sangat sedikit dan tidak cukup memadai untuk merangkum seluruh rincian ajaran Islam. Tidak heran ungkapan-ungkapan dalam Alquran bersifat padat dan universal. Di sinilah dibutuhkan peranan hadis dalam menjelaskan hal-hal yang masih umum, samar dan ambigu tersebut.
Peran hadis sebagai penjelas ini dapat dibagi ke dalam tiga macam. Pertama, adakalanya hadis merinci pesan ayat yang masih global. Ini seperti hadis-hadis tentang tata cara dan sifat salat Nabi sebagai rincian dari perintah salat dalam Alquran yang tidak dibahas bagaimana teknis pelaksanaannya.
Baca juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Alquran: dengan Riwayat dan Rasio
Kedua, adakalanya lagi hadis mengkhususkan sesuatu yang disampaikan ayat secara umum. Salah satu contohnya ialah hadis riwayat Baihaqi yang berbunyi, “Pembunuh tidak dapat mewarisi (dari orang dibunuhnya) sedikitpun.” Ia mengkhususkan keumuman hukum waris dalam Alquran.
Ketiga, adakalanya pula sebuah hadis mengikat atau membatasi apa yang diberitakan ayat secara mutlak. Misalnya praktik hukum potong tangan bagi pencuri yang diperintahkan Nabi hanya sampai pada pergelangan tangan. Sedangkan redaksi QS. Al-Maidah: 38 menyebutkan kata “tangan” secara mutlak, yang definisinya secara bahasa ialah bagian tubuh dari ujung jari sampai bahu.
- Sebagai Legislator Selain Alquran
Sebagai salah satu sumber hukum Islam (masadirul ahkam), hadis juga kadang datang membawa hukum baru yang tidak pernah disinggung oleh Alquran. Sebagai contoh, kewajiban zakat fitri dalam hadis Nabi yang tidak ditemukan dalilnya dari Alquran.
Sebagian ulama menyatakan, tidak ada ketetapan yang datang dari hadis yang benar-benar baru. Semua hukum yang ada pasti memiliki dasar dari Alquran, baik disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Apa yang dianggap hukum baru dari hadis sebenarnya masuk dalam prinsip atau kaidah umum Alquran. Sebab sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 38 bahwa tidak ada sedikitpun yang teralpakan dari Alquran.
Mustafa as-Siba’I telah mengulas panjang lebar perdebatan para ulama tentang hal ini beserta argumentasinya masing-masing dalam kitabnya yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha fit Tashri’l Islami.
- Sebagai Nasikh atas Alquran
Mayoritas ulama menganggap hadis juga bisa berperan sebagai pembatal hukum Alquran. Tentunya hadis yang tingkatannya mutawatir atau sahih. Keabsahan ini mengingat hadis Nabi juga merupakan bagian dari wahyu seperti halnya Alquran, sehingga prinsip nasakh dapat diberlakukan.
Mereka mencontohkan perintah Alquran kepada orang yang merasa dirinya akan wafat supaya berwasiat kepada orang tua dan kerabat. Ajaran yang tercantum pada QS. Al-Baqarah: 180 ini dianulir oleh hadis mutawatir yang menyatakan bahwa tiada wasiat bagi ahli waris.
Baca juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Alquran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab
Meski demikian, sebagian ulama seperti as-Shafi’I dan al-Qardawi menolak anggapan tersebut. Kelompok yang menegasikan naskhul qur’an bis sunnah ini mendasari pandangan mereka pada ayat berikut:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah: 106)
Bahwa naskh tidak terjadi kecuali yang menggantikan sebanding atau lebih baik dari yang digantikan, sementara antara Alquran dan hadis tidak sebanding. Alquran lafal dan maknanya langsung dari Allah, bersifat pasti dan terjamin keotentikannya, sedangkan hadis tidak. Oleh karena itu hadis dapat di-nasakh oleh Alquran, namun tidak sebaliknya.
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara Alquran dan hadis saling terkait satu sama lain. Dalam kaitannya menafsirkan Alquran, hadis berperan penting sebagai salah satu komponen penafsiran yang membantu mufassir memahami Alquran dengan benar.