Dalam dunia Islam ada istilah yang sudah masyhur di denger telinga kita, yaitu Bughat (pemberontakan). Hal itu pun sudah marak terjadi dikalangan beberapa negara, dikarenakan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan tertinggi di suatu negara. Untuk itu penulis akan menjelaskan bagaimana pandangan Islam mengenai Bughat tersebut, dan akan mengemukakm juga para pendapat ulama tafsir mengenai hal tersebut.
Pengertian Bughat
Secara Bahasa, bughat bentuk jamak dari kata al-Baghi yang bermakna pembangkang. Pada mulanya berasal dari kata bagha-yabghi yang merupakan bentuk kata kerja dari bughat. Menurut Ibn Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, bahwasannya bughat bermakna menanggalkan, melanggar, melakukan kezaliman, melampaiu batas, dan menginginkan kerusakan. Sedangkan menurut para madzhab, salah satunya Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bughat adalah orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk kepada kepemimpinan tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan masa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasan-alasan mereka sendiri.
Baca juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177
Adapun menggerogoti kewibawaan atau menggulingkan pemerintahan yang sah tak dibenarkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Imam al-Juzairi, bahwasannya seorang kepala negara yang tak melanggar hukum Allah maka wajib ditaati. Dengan demikian,sekelompok orang yang melakukan pembangkangan atau pemberontakan, maka diperbolehkan bagi seorang kepala negara untuk memerangi mereka
Dilihat dari situ, penulis mengambil kesimpulan mendefinisikan bughat sebagai sekelompok orang yang sengaja melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menggerogoti dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal itu terjadi karena menurut mereka pemerintahan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, dan anggapan mereka bahwa pemerintah itu telah merugikan mereka dalam berbagai hal.
Baca juga: Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson
Sejarah munculnya Bughat
Dalam sejarah, kelompok yang sering ditunjuk sebagai bughat adalah; Pertama, orang-orang Yahudi Madinah yang melanggar Konstitusi Madinah yang dibuat Nabi Muhammad bersama penduduk Madinah. Pelanggaran terhadap konstitusi Madinah itu menyebabkan Nabi Muhammad memerangi mereka. Kedua, orang-orang Islam yang tidak mau menyetorkan zakatnya kepada negara yang saat itu dipimpin Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Hal tersbut menyulut Abu Bakar memerangi mereka. Ketiga,orang-orang memberontak dan menolak kepemimpinan ‘Ali ibn Talib dala Perang Unta (waq’ah al-jamal). Orang-orang tersebut itu dikatakan sebagai kelompok orang yang makar pada pemerintahan yang sah.
Di Negara Indonesia, orang-orang yang terlibat DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pernah dinyatakan sebagian ulama sebagai kelompok bughat karena mereka membangkang terhadap kepemimpinan Presiden Ir. Soekarna dan menolak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belakangan ini ada suatu kelompok yang mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak sesuai dengan syari’at Islam dengan itu kelompok yang semacam ini boleh diperangi dan dilawan.
Ayat Bughat dan Penafsiran Para Ulama
Adapun ayat yang dijadikan para ulama sebagai dasar tentang pelarangan Bughat adalah firman Allah (Q.S. al-Hujurat 49:9) :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Imam Qurthubi mengutip pendapa para ulama. Menurut Imam Mujtahid bahwasannya ayat ini turun sebagai bentuk respons terhadap persengketaan yang melibatkan suku Aus dan Khazraj. Persengketaan itu terjadi saling bunuh antara dua kelompok tersebut. Sedangkan dari versi lain Imam Qatadah mengatakan ayat ini turun terkait kasus dua orang laki-laki Anshar yang bertengkar mulut tentang perebutan hak yang diklaim masing-masing pihak yang kemudian berujung pada pertengkaran fisik.
Menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib berkata bahwa mendamaikan orang yang berperang atau bertikai adalah perintah al-Qur’an. Sekiranya salah satu dari mereka menolak untuk berdamai bahkan cenderung membangkang, maka perangilah para pembangkang itu. Menurut al-Razi, jika pembangkang itu adalah rakyat, maka wajiblah bagi kepala negara (al-Amir) untuk mencegah pembangkangan itu, mulai dari memberi nasehat, mengancam, menahan hingga menyiksa mereka. Sebaliknya, jika yang melakukan (bughat) pembangkangan itu adalah kepala negara, maka rakyat wajib mencegah perbuatan tersebut dengan cara memberi nasehat, atau dengan cara-cara yang lain yang tidak menimbulkan fitnah ditengah masyarakat.
Al-Qurthubi hendak menyimpulkan pengertian legal-formalistik dari ayat ini. Pertama, ayat ini spertihendak memprediksi bahwa perselisihan antar umat islam akan terjadi bahkan tidak akan sepi. Saat terjadi adanya perselisihan itu, yang dibutuhkan adalah perdamaian (islah dzati al-bayni). Namun jika yang satu bersikeras untuk menyerang yang lain, maka tak ada pilihan kecuali memerangi kelompok penyerang itu.
Kedua, ayat ini menunjukkan bahwa memerangi orang-orang yang makar (bughat) terhadap pemerintahan yang sah adalah wajib. Al-Qurthubi menambahkan, jika sekelompok orang yang menyatakan menentang pemerintahan sementara mereka tetap tak mengindahakan untuk kembali taat dan masuk dalam barisan, maka mereka wajib diperangi. Ada yang berkata wajib di situ itu bermakna fardlu kifayah, sehingga sekiranya yang satu telah memerangi bughat maka yang lain telah gugur.
Baca juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir
Unsur-Unsur Bughat
Para ulama menetapkan syarat-syarat yang mengantarkan pada bolehnya membunuh bughat, yaitu :
- Para pemberontak tak tunduk pada kepala negara yang sah misalnya mereka menyatakan keluar atau tidak mau memenuhi kewajiban atau tidak mau menjalani hukuman yang telah ditetapkan pada dirinya.
- Para pemberontak itu memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan, misalnya mempunyai basis masa pengikut sekalipun tak ada pemimpin.
- Mereka mengangkat senjata untuk kepentingan perlawanan pada negara.
Namun, sebelum melakukan diatas untuk memerangi mereka, sebaiknya untuk melakukan mediasi atau mengirim utusan kepada mereka agar mengetahui sebab-sebab pemberontakan mereka. Jika hal itu masih gagal maka perlu diadakan dialog agar mereka kembali taat pada kepala negara. Jika dirasa masih gagal maka ultimatum dan mengancam mereka adalah sebagai cara. Sedangkan jika ultimatum itu belum membuahkan hasil, maka jalan terakhir adalah memeranginya hingga mereka kembali taat dan tunduk pada pemerintahan yang sah. Wallahu a’lam bishshowab