Pada artikel sebelumnya, Angelika Neuwirth dan Pembacaan Pre-Canonical Qur’an, kita telah berkenalan secara singkat dengan Angelika Neuwirth dan pemikirannya. Pada artikel ini akan dibahas mengenai kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat dan muslim dalam bidang studi Al-Qur’an. Selain itu juga dijelaskan tentang bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan oleh para sarjana.
Dalam artikel “Orientalism in Oriental Studies? Qur’anic Studies as a Case in Point”, Angelika Neuwirth menerangkan bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan. Ada dua hal yang mesti ditekankan di sini, yaitu: Pertama, tujuan kajian Al-Qur’an bukanlah untuk mencari pemahaman yang benar dan salah, tetapi untuk membaca teks Al-Qur’an sebagai sarana penghubung yang menggambarkan proses komunikasi.
Kedua, seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan secara obyektif. Dalam konteks ini, seorang peneliti harus bersikap seobyektif mungkin dan tidak memaksakan aturan yang dapat mencederai teks. Ia juga tidak boleh dipengaruhi oleh basis ideologi, sosial dan politik. Hal ini mungkin sulit dilakukan secara seratus persen, namun seorang peneliti wajib mengupayakannya.
Penekanan tentang bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan di atas didasarkan pada resepsi kritis Angelika Neuwirth terhadap studi Al-Qur’an yang selama ini berlangsung. Melalui hal tersebut, kita dapat melihat kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat dan muslim dalam bidang studi Al-Qur’an beserta apresiasi-apresiasinya.
Dalam perjalanan akademinya – terutama kajian Al-Qur’an – Angelika Neuwirth banyak bersinggungan dengan pemikiran orientalis-orientalis pengkaji Al-Qur’an seperti Abraham Geiger (orientalis pertama yang melakukan analisis filologi secara murni), Hartwig Hirschfeld, Josef Horovitz dan Heinrich Speyer. Secara tegas ia memberikan apresiasi kepada mereka karena telah memperkenalkan kajian intertekstual.
Selain itu, Angelika Neuwirth juga memberikan apresiasi terhadap Theodor Noldeke yang menjadi orang pertama dalam menganalisis Al-Qur’an secara historis-kronologis melalui kajian arkeologi tekstual. Kajiannya ini di kemudian hari memotivasi para sarjana muslim – seperti Nasr Hamid Abu Zayd – untuk melakukan analisis historis secara serius terhadap Al-Qur’an.
Namun patut diketahui, apresiasi Angelika Neuwirth terhadap mereka juga dibarengi dengan catatan kritis. Misalnya, ia mengkritik Geiger yang menimpulkan Al-Qur’an adalah produk Muhammad. Menurut Neuwirth, hal ini menegasikan beberapa fakta, yakni: kompleksitas tradisi yang mengiringi kelahiran Al-Qur’an dan teks Al-Qur’an menyatakan adanya proses komunikasi antara entitas yang terlibat.
Dalam kesempatan lain, Angelika Neuwirth turut melayangkan kritik kepada Noldeke. Menurutnya, Noldeke memiliki keterbatasan metode yang digunakan dalam menganalisis Al-Qur’an secara historis. Ia menegaskan Noldeke dan pengikutnya belum sampai pada kesadaran bahwa teks Al-Qur’an pra-kanonisasi adalah proses komunikasi. Aspek inilah yang nanti menjadi fokus kajian Neuwirth.
Selain Geiger dan Noldeke, kritiknya juga tertuju pada sarjana barat yang lain seperti Gunther Luling, Christoph Luxenberg, Patricia Crone dan Michael Cook. Secara umum kritiknya ini berpusat pada ketidaksadaran sarjana terhadap sisi oral pre-history dari Al-Qur’an, kecenderungan para sarjana barat dan pentingnya pemahaman posisi Al-Qur’an bagi umat Islam (Qur’an and History).
Kendati demikian, Angelika Neuwirth tidak menyatakan bahwa kajiannya terhadap Al-Qur’an melalui pendekatan kritik sastra dan historis adalah cara terbaik dalam memahami Al-Qur’an dan konteksnya. Dia juga tidak beranggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh sarjana lain, baik sarjana barat maupun muslim, selama 14 abad terakhir adalah suatu kesalahan.
Kritik Angelika Neuwirth Terhadap Sarjana Muslim dalam Studi Al-Qur’an
Selain melakukan kritik terhadap sarjana barat, Angelika Neuwirth juga melontarkan kritik kepada sarjana muslim dalam bidang studi Al-Qur’an. Poin utama yang ia kritik – sebagaimana disebutkan oleh Lien Iffah Naf’atu Fina – adalah peletakan status sakralitas Al-Qur’an yang “beyond history” (melampaui sejarah). Akibatnya, Al-Qur’an menjadi teks yang tak terjamah (The Invisible Text).
Pandangan semacam ini juga menyebabkan Al-Qur’an sulit untuk didekati secara mendalam sebagaimana teks-teks lainnya. Alhasil, penafsiran Al-Qur’an alih-alih berkembang, malah tertinggal jika dibandingkan dengan penafsiran Bibel. Menurut Neuwirth, para sarjana muslim lebih sering terpaku pada penafsiran yang sudah ada dalam tafsir-tafsir klasik (Orientalism in Oriental Studies?).
Atas dasar permasalahan di atas, Angelika Neuwirth mencoba mendekonstruksi mitos asal-usul teks yang transenden. Ia kemudian membandingkan antara tradisi sarjana Al-Qur’an dengan studi Bibel secara terbuka dan progresif. Melalui hal tersebut, ia mengharapkan adanya keterbukaan terhadap tradisi lain guna memungkinkan pencarian jejak-jejak komunikasi antara Al-Qur’an dan Bibel.
Pada langkah terakhir, Angelika Neuwirth menawarkan konsep baru tentang teks Al-Qur’an pra-kanonisasi dan pasca-kanonisasi. Baginya, teks Al-Qur’an pra-kanonisasi sangat erat dengan masalah-masalah sosial dan dogmatis yang berkembang pada masyarakat Arab kala itu. Dalam hal ini berarti Al-Qur’an pada mulanya adalah teks yang menyejarah dan lekat dengan konteks pada masanya (Qur’an and History).
Fakta tersebut harus didasari dalam upaya memahami Al-Qur’an secara utuh, komprehensif dan non-parsial. Untuk menemukan jejak-jejak historis Al-Qur’an pra-kanonisasi ini, seorang peneliti dapat melihat kepada teks-teks yang lahir beriringan atau sezaman dengan Al-Qur’an seperti kitab suci Yahudi, Kristen dan syair-syair Arab maupun prosa Persia.
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan setidaknya dua aspek, yakni: Kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat awal terpusat pada problem kecenderungan mereka dalam mengkaji teks Al-Qur’an dan abai terhadap Al-Qur’an pra-kanonisasi. Sedangkan kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana muslim terpusat pada posisi kesakralan teks Al-Qur’an yang membuatnya melampaui sejarah dan tak tersentuh oleh kemanusiaan. Wallahu a’lam.