Abu Bakar al-Kalabadzi memiliki nama lengkap Abu Bakar bin Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub al-Bukhari al-Kalabadzi. Ia adalah seorang sufi keturunan Persia bermazhab Hanafi-Maturidi. Sebutan al-Kalabadzi diambil dari nama sebuah wilayah di daerah Bukhara (sekarang termasuk negara Uzbekistan), yakni “Gulabad” (The Doctrine Of The Sufis: xi).
Nama berbahasa Persia ini kemudian ditransliterasikan ke bahasa Arab menjadi “Kalabadz” atau di barat lebih dikenal sebagai “Kalabadhi”. Sangat sedikit ditemukan catatan mengenai riwayat hidup al-Kalabadzi, namun ia dipercaya dilahirkan di Bukhara di mana Imam al-Bukhari – sang maestro hadis – dikebumikan (Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi: 153).
Baca Juga: Mengenal Ibn al-Araby: Mahaguru Tafsir Sufi Nazhari
Hal menarik dari sosok al-Kalabadzi adalah – meskipun ia lebih dikenal sebagai seorang sufi – ia digolongkan oleh Abd al-Hayy al-Lakhnawi sebagai ulama ahli fikih mazhab Hanafi yang termasyhur di bawah Muhammad bin Fadhl. Fakta ini sangat spesial karena pada periode sebelum dan setelahnya ada pergolakan antara ulama fikih dan ahli tasawuf (Mystical Dimensions Of Islam: 42).
Walaupun hanya ada sedikit informasi mengenai kehidupan al-Kalabadzi, para ahli sejarah meyakini bahwa ia kemungkinan besar memiliki hubungan dengan para tokoh sufi generasi awal yang sezaman dengan dirinya atau pernah membaca dan mempelajari karya-karya mereka secara komprehensif, baik melalui guru atau mengkajinya secara mandiri.
Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan Abu Bakar al-Kalabadzi sendiri yang menyebutkan bahwa telah ada sekitar 17 kitab sufi dan 11 tokoh sufi yang menulis tentang ajaran sufi sebelum ia menulis buku al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf. Dengan demikian, secara nyata dapat disimpulkan bahwa ia telah melakukan studi pustaka.
Selain dikenal sebagai sufi dan ahli fikih, Abu Bakar al-Kalabadzi sebenarnya juga merupakan ahli hadis. Ia menulis sebuah kitab berjudul Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar yang terdiri dari komentar-komentarnya terhadap 222 hadis pilihan. Karya al-Kalabadzi yang masih bisa dinikmati hingga sekarang ini membuktikan kepada kita bahwa ia juga seorang ahli hadis.
Ketokohan Abu Bakar al-Kalabadzi dalam bidang hadis sebenarnya adalah hal yang lumrah, sebab Bukhara merupakan salah satu kota yang menjadi pusat peradaban, perdagangan dan keilmuan Islam pada masa dinasti Samaniyah yang muncul pasca melemahnya dinasti Abbasiyah di Baghdad. Pada masa inilah lahir ilmuan muslim ternama seperti Imam Bukhari (w. 870M).
Semasa hidupnya, al-Kalabadzi telah menuliskan enam buah karya. Namun dari enam buku tersebut, hanya dua buah yang bisa ditemukan hingga saat ini, yaitu: Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar, komentar singkat pada 222 hadis dan al-Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf yang berisi tentang pengantar terhadap doktrin-doktrin tasawuf Islam.
Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan Abu Bakar al-Kalabadzi wafat, sebab sangat sedikit ditemukan catatan tentang akhir kehidupannya sehingga sulit untuk dipastikan kebenarannya. Hal ini juga disampaikan oleh Darah Sikuh. Namun menurutnya, al-Kalabadzi diyakini wafat pada hari Jumat tanggal 19 Jumadil Awal tahun 380 H, 384 atau 385.
Jika pendapat Darah Sikuh benar, maka yang paling mungkin adalah Abu Bakar al-Kalabadzi wafat pada tahun 385 H/995 M, karena satu-satunya tahun pada dekade itu yang tanggal 19 Jumadil Awalnya jatuh pada hari Jumat, tidak ada yang cocok selain itu. Pendapat inilah yang dipegangi oleh N. Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis: South Asia.
Pandangan Kaum Sufi Tentang Posisi Al-Qur’an dan Kalamullah
Dalam kitab Ta’arruf Li Madzhabi Ahl al-Taṣawwuf, Abu Bakar al-Kalabadzi membahas dua pasal terkait Al-Qur’an dan Kalamullah. Menurutnya, semua sufi sepakat bahwa Al-Qur’an itu merupakan kata-kata Allah atau Kalamullah yang hakiki dan (Al-Qur’an) bukanlah makhluk hasil ciptaan atau sesuatu yang baharu (hadist).
Al-Qur’an dibaca dengan lisan kita, ditulis dalam buku (mushaf) kita, dihafal dalam hati kita, akan tetapi bukanlah ia bermukim di sana sebagaimana Allah swt. Dia diketahui dalam hati kita, disembah dalam masjid-masjid kita, tetapi Dia tidak berada di sana. Sebab Allah swt Maha Suci dari sikap dan sifat ketergantungan terhadap sesuatu apa pun.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an benar-benar firman Allah (Kalamullah), bukan kalam Muhammad saw maupun bisikan setan sebagaimana dituduhkan oleh Salman Rushdie dalam “The Satanic Verses”. Bagi para sufi, posisi Al-Qur’an yang transenden ini mutlak adanya, tanpa bisa diganggu gugat.
Kendati demikian- sebagaimana disampai Abu Bakar al-Kalabadzi – hakikat eksistensi Al-Qur’an bagi kaum sufi tidaklah terletak pada teks, bunyi, maupun hafalan. Al-Qur’an tidak terikat dengan semua instrumen itu sebagaimana Dzat Allah Swt atau bisa dikatakan Al-Qur’an tidak terpisahkan dengan Dzat-Nya. Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan benda, unsur atau bagian sesuatu.
Mayoritas sufi berpandangan, Al-Qur’an – sebagai Kalamullah – merupakan sebuah sifat Allah yang kekal ada pada Dzat-Nya, ia tidak menyerupai perkataan makhluk-Nya dari segala bentuk dan segi, tidak bersuara kecuali dari segi ketetapan atau kekuatan. Dengan kata lain, Al-Qur’an pada hakikatnya tidaklah sama dengan sesuatu apa pun.
Kalamullah pada hakikatnya – termasuk Al-Qur’an – bukanlah berupa huruf, bukan berupa suara maupun ucapan. Adanya huruf, suara dan ucapan hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada Kalamullah, bukan hakikat yang sesungguhnya. Sebab, huruf, suara dan ucapan mempunyai alat dan anggota yang mendukungnya seperti pena dan lidah. Sedangkan Allah swt tidak membutuhkan itu semua.
Baca Juga: Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia
Dalam konteks ini, mushaf yang terdiri dari tulisan dan kertas tidaklah bisa dikatakan sebagai Kalamullah. Ia hanyalah sesuatu yang menunjuk kepada kalamullah yang tidak berhuruf, bersuara, dan berkata. Kalamullah adalah sebuah misteri yang tak bisa ditangkap panca indera manusia. Mereka hanya tahu bahwa Allah swt bersifat kalam.
Agak pelik memang untuk menjelaskan hakikat Al-Qur’an dan teksnya, namun al-Kalabadzi menyebutkan, “Al-Qur’an adalah perkataan Allah (Kalamullah) yang sunyi dari kata, suara dan huruf, ketika ia (kalam) sebelum didatangkan (diturunkan) dan sebelum dibacakan sebagai ayat, maka ia adalah bukan makhluk.” Wallahu a’lam.