Tantangan umat beragama di tengah himpitan globalisasi sebetulnya tak melulu soal terorisme agama saja, dirasa akan mencabik-cabik persatuan yang dirajutnya sejak revolusi 1945, dalam keberagaman dan keberagamaan. Ada teror lain yang tidak kalah bahaya bagi kelangsungan dan keberlanjutan hidup umat manusia, yakni terorisme ekologis.
Di mana banyak investor modal besar menghajar lanskap hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang batu bara, pegunungan disulap jadi tambang emas, batuan kapur, dan tambang ekstraktif lainnya. Sehingga terjadi pencemaran lingkungan sebagai dampaknya, serta rentan terjadinya bencana ekologis, seperti krisis air dan banjir bandang.
Saya temukan istilah terorisme ekologis pertama kali dalam buku karangan Vandhana Shiva, Water Wars. Karena kadangkali mereka yang punya relasi kuasa suka menyelubungi perang rebutan sumber daya alam sebagai konflik etnis atau agama. Seperti isu separatisme Kaum Sikh yang menyelisihkan pembagian air sungai Punjab di India.
Bahkan perang antar kabilah dan suku di semenanjung Arab praIslam juga dilatar belakangi oleh perebutan oase di tengah gurun pasir (Firas Alkhateb, 2016), hingga gelombang terorisme di kawasan Afghanistan dan juga Suriah ditenggarai untuk menyokong kepentingan Amerika dalam perang minyak. Artinya, tumbuh suburnya ideologi fundamentalisme agama seringkali berada di negara terbelakang yang kaya akan sumber daya alam.
Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran
Alarm Waspada Terorisme Ekologis dalam Memaknai Rahmatan Lil Alamin
Pertanyaannya sekarang, seberapa jauh Islam memperhatikan terorisme ekologis yang dimotori oleh elit bisnis? Nyatanya begitu berbeda perhatiannya terhadap terorisme agama. Saban terjadi bom bunuh diri oleh para jihadis, banyak menuai kecaman dari berbagai kalangan, terutama dari umat Islam sendiri. Di mana-mana tidak lelah merapalkan slogannya yang hingga familiar di telinga kita, bahwa Islam itu agama yang rahmatan lil alamin, agama yang menebar kasih sayang di muka bumi ini.
Maka menjadi penting memaknai slogan tersebut, yang berangkat dari ayat Al-Quran, Surah Al-Anbiya’ [21] : 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
Menurut tafsiran kitab al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 17 (Ibnu Asyur, 1984), ada dua aspek yang dapat dirinci dari ayat di atas. Pertama, penciptaan diri Nabi Muhammad Saw yang suci dengan akhlak yang penuh kasih sayang (rahmat). Kedua, rahmat yang universal dalam syariat Nabi.
Pada aspek pertama, Abu Bakar Muhammad bin Thahir berkata “Allah menghiasi Nabi Muhammad Saw dengan hiasan rahmat, maka keberadaan Nabi adalah rahmat, segenap watak (karakter) Nabi adalah rahmat, dan sifat Nabi adalah rahmat kasih sayang kepada umat manusia”.
Di mana Nabi menjadi manusia yang penuh kasih sayang di setiap tindakannya kepada umat. Memiliki jiwa yang suci dan wahyu beserta syariat yang diterimanya menjadi rahmat dan mampu melapangkan jiwa.
Baca Juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani
Adapun aspek kedua, yakni mengandung unsur rahmat yang universal bagi seluruh mahluk. Karena terma li al-‘alamin itu sehubungan dengan terma rahmatan, di mana pengertiannya mencakup segala hal yang meneguhkan pada istilah ‘alam. Kata ‘alam menurut Ibnu Asyur mencakup dua hal: segenap golongan yang berpengetahuan, yakni manusia; dan berbagai macam mahluk yang hidup.
Pertama, segenap mahluk yang berpengetahuan. Artinya adanya syariat Nabi Muhammad punya cakupan luas yang merahmati umat manusia. Sedang syariat-syariat nabi sebelumnya kalaupun penuh rahmat namun tidak diperuntukkan bagi segenap manusia.
Seperti halnya hanifiyyah sebagai syariat Nabi Ibrahim, rahmatnya khusus bagi Nabi Ibrahim sendiri, tidak untuk tuntunan umum. Kemudian syariat Nabi Isa juga tak jauh beda, yang terkadang mengandung tidak sedikit tentang hukum-hukum yang membutuhkan hikmah ilahi dalam kebijakan politik kebangsaan yang teratur. Seperti syariat dalam kitab Taurat, yang menjadi pedoman sekaligus rahmat bagi keseharian Nabi Isa dan segenap umatnya saja.
Sementara Islam mengasihi seluruh umat manusia, bahkan menurut Ibnu Asyur hingga terhadap orang-orang non-muslim, seperti halnya mereka berkenan hidup di bawah naungan kekuasaan Islam, yang disebut ahl al-dzimmat.
Kedua, berkenaan pada segenap mahluk yang hidup di muka bumi ini. Syariat yang demikian berhubungan dengan kehidupan fauna (hayawan) yang membersamai manusia dan memberi kemanfaatan.
Syariat Islam mengizinkan manusia untuk mengambil manfaat dari binatang, tetapi tak membolehkan mempermainkan hewan buruan dan menyiksa hewan yang tak hendak dimakan. Selanjutnya, bila ada hewan yang mengganggu dan berbahaya maka boleh membunuhnya dan membuangnya, demi mencapai rahmat bagi kehidupan manusia.
Penafsiran demikian yang sudah banyak diamini oleh kalangan ulama, menarik jika disandingkan dengan pemaparan Syeikh Ali Jum’ah, seorang mufti di kawasan Mesir, dalam kitabnya al-Bi’ah wa al-hifadz Alaiha min Mandzur Islamy (2009), yang membahas tentang ekologi (al-bi’ah) dalam perspektif Islam secara teologi dan fikih.
Menyoal Nabi Muhammad Saw yang diutus untuk merahmati semesta alam dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 107. Ali Jum’ah menerangkan bahwa Rasul menjadi rahmat bagi mahluk seluruhnya, semua manusia dan jin, rahmat bagi hewan, tetumbuhan, dan benda-benda padat (jamad) di muka bumi ini.
Rahmat yang paling agung berupa petunjuk manusia kepada ma’rifat, yakni mengenal Sang Pencipta dan segenap ciptaan-Nya, serta penentuan jalan yang lurus dalam penghambaan kepada Sang Pencipta, Allah Swt.
Sebagaimana Hadis yang menyerukan kasih sayang kepada semua mahluk, Rasul Saw. bersabda: “Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Sang Maha Pengasih, kasihilah orang mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu” (H.R. Tirmidzi, hadis hasan sahih)
Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis
Menurut Ali Jum’ah selanjutnya, rahmat secara universal yang diserukan Rasul punya ruang lingkup yang luas dan meliputi segenap artian: menjaga dan melestarikan lingkungan hidup manusia, yang memungkinkan mencapai rahmat dalam aspek syariat maupun filsafat, dan kapanpun dan di manapun berada hingga di luar Islam.
Karena tidak dipungkiri aktivitas umat Islam sendiri selalu berkaitan dengan sumber-sumber agraria, misalnya bersuci (thaharah) yang menjadi bab utama dalam kitab fikih, di mana aktivitas wudhu sebelum shalat membutuhkan air yang bersih.
Hal ini bisa terancam jika terjadi krisis air, akibat banyaknya alihfungsi hutan menjadi sawit yang rakus air, dan tambang ekstraktif yang kemudian mencemari air. Ketika terjadi hujan lebat datang bencana baru lagi berupa banjir yang airnya meski melimpah tapi tak dapat dimanfaatkan.
Dalam konteks luas, kerusakan lingkungan yang terpampang di depan mata kita ini, juga mengancam segenap kehidupan di muka bumi ini. Dalam film dokumenter Kinipan, bahwa Covid 19 merupakan proses zoonosis, pindahnya virus yang hidup di hutan belantara ke dalam peradaban manusia karena hutannya telah hilang.
Inilah sebentuk terorisme ekologis yang diaktori oleh aliansi para pemodal dan difasilitas oleh negara, untuk meraup keuntungan yang tiada mengenal kepuasan. Padahal jika kita berangkat dari teologi rahmat li al-‘alamin, sudah seharusnya mengasihi segenap bentang alam yang dianugerahkan oleh Tuhan.
Wallahu a’lam