Dalam pembahasan ilmu tafsir Al-Qur’an, terdapat serangkaian kriteria yang harus dipenuhi seseorang jika hendak disebut sebagai seorang ahli tafsir Al-Qur’an atau syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, dan utamanya ialah berkenaan dengan kecakapan ilmu pengetahuan. Yaitu berupa kecakapan dan kecukupan dalam ilmu kebahasa araban, hukum Islam, sebab turunnya ayat, teologi, dan lain sebagainya.
Adanya berbagai syarat kecakapan ilmu itu tidak lain ialah untuk menghindari lahirnya penafsiran melenceng disebabkan pemahaman yang kurang tepat terhadap Al-Qur’an. Singkatnya, apabila hendak menjadi mufassir (ahli tafsir) Al-Qur’an, maka seseorang harus mampu memahami firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan baik terlebih dahulu.
Baca juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa
Adanya Hidayah pada Seorang Mufassir
Senada dengan uraian di atas, Gus Baha’ pernah menjelaskan bahwa syarat menjadi ahli tafsir Al-Qur’an ialah harus paham terlebih dahulu. Akan tetapi beliau menambahkan bahwa yang menjadi pengantar kepahaman terhadap kalamullah ialah adanya hidayah dari Allah Swt.
“Untuk menjadi ahli tafsir itu syaratnya ada atau tidak? Ya, syaratnya Anda harus paham dulu! Lalu syaratnya paham itu apa? Untuk (paham) Al-Qur’an itu syaratnya satu, mendapat hidayah,” jelas Gus Baha’ ketika mengisi acara Darusan Umum Pengajian Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus.
Dari kutipan di atas, terdapat satu pernyataan menyebutkan bahwa yang menjadi pengantar kepahaman adalah adanya hidayah dari Allah Swt. Jika dalam pembahasan ilmu tafsir disebutkan berbagai kecakapan ilmu yang harus dimiliki ahli tafsir, Gus Baha’ menyebutkan poin lain yang justru menjadi poin kunci, yakni adanya hidayah dari Allah Swt.
Lebih lanjut, Gus Baha’ menjelaskan bahwa standar ahli tafsir itu tidak dapat diukur dengan tingkat pengetahuan semata. Memang orang yang berada pada tingkat pengetahuan tertentu memiliki peluang untuk memahami Al-Qur’an, tetapi tanpa adanya hidayah dari Dzat yang memberi kepahaman, pemahamannya terhadap Al-Qur’an pun dapat dikatakan mustahil untuk terjadi.
“Kalau kita memakai standar apa pun itu tidak bisa. Karena banyak orang kafir dulu punya pengetahuan yang baik tentang uslub al-kalam al-‘arabi (gaya ungkapan bahasa Arab) itu mampu memahami dan paham,” tutur Gus Baha’ kiai yang berasal dari Rembang.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari
Sebagaimana dimengerti bahwa Al-Qur’an diturunkan pada saat di mana kekufuran masih marak terjadi di Makkah dan sekitarnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebagian mustami’ (pendengar) Al-Qur’an pada saat itu ialah orang-orang kafir. Oleh karenanya, pantas saja jika kemudian dalam beberapa ayat terdapat panggilan yang ditujukan pada mereka yang belum mengakui eksistensi Allah sebagai tuhannya (misal: yaa ayyuhalladzina kafaru). Sebagian mustami’ itu memang mendapat hidayah hingga layak dijadikan rujukan dalam tafsir Al-Qur’an, sedangkan sebagian lain hanya mengerti tetapi tidak memahami hingga tidak layak mendapat predikat tersebut.
Kisah Jubair bin Muth’im Terbuka Pemahamannya, Karena Hidayah
Untuk mendukung argumentasi di atas, Gus Baha’ kemudian menyebutkan kisah masuk Islamnya Jubair bin Muth’im karena mendengar bacaan Al-Qur’an. Ketika itu ia hendak menemui Rasulullah untuk membicarakan tentang orang-orang yang menjadi tawanan perang Badar. Ia hendak menebus kawannya yang menjadi tawanan perang supaya dibebaskan. Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata ia menjumpai Rasulullah sedang membaca Al-Qur’an surah Ath-Thur ketika menjadi imam salat Maghrib.
Saat Rasulullah membaca surah tersebut dan sampai pada ayat 35-37, hati Jubair kemudian bergetar dengan sendirinya (dalam riwayat aslinya disebutkan bahwa hatinya terasa hendak terbang). Ayat yang dibaca itu mempertanyakan tentang bagaimana kekuasaan sesembahan yang mereka sembah.
أَمۡ خُلِقُوا۟ مِنۡ غَیۡرِ شَیۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ (٣٥) أَمۡ خَلَقُوا۟ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۚ بَل لَّا یُوقِنُونَ (٣٦) أَمۡ عِندَهُمۡ خَزَاۤىِٕنُ رَبِّكَ أَمۡ هُمُ ٱلۡمُصَۣیۡطِرُونَ (٣٧)
“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sediri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan. Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa?” [Q.S. Ath-Thur (52): 35-37]
Karena mendengar ayat di atas, kepercayaan Jubair bin Muth’im pun mulai goyah, karena sesembahan yang ia sembah tak memiliki kriteria yang terdapat dalam ayat yang dibaca Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, tak lama setelah Rasulullah selesai melaksanakan salat Maghrib, Jubair lantas menyampaikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan ia bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Swt.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’la Ayat 14-15: Idul Fitri sebagai Momentum Manusia yang Beruntung
Ketika mendengar ayat yang dibaca Rasulullah, tentu keadaannya saat itu ia masih belum beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi nyatanya ia mampu memahami makna ayat tersebut karena mendapat hidayah dari Allah, hingga menjadikannya sebagai penganut ajaran Rasulullah. Kejadian serupa juga dialami oleh Umar bin Khattab yang beriman karena mendengar bacaan Al-Qur’an adiknya yang hendak dibunuh karena telah beriman kepada Rasulullah.
Kisah di atas dapat menjadi bukti bahwasanya Al-Qur’an memang bisa dipahami oleh orang kafir, bahkan bisa menjadi sebab datangnya hidayah dari Allah Swt. Oleh karenya, Gus Baha’ kemudian berpesan bahwa apabila ada orang non-muslim yang hendak mempelajari Al-Qur’an maka sebaiknya ia diberi hak. Karena bisa jadi setelah ia belajar Al-Qur’an menjadi jalan datangnya hidayah Allah kepadanya.
وَإِنۡ أَحَدࣱ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ ٱسۡتَجَارَكَ فَأَجِرۡهُ حَتَّىٰ یَسۡمَعَ كَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبۡلِغۡهُ مَأۡمَنَهُۥۚ ذَ ٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمࣱ لَّا یَعۡلَمُونَ
“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) iu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak megetahui.” [Q.S. At-Taubah (9): 6]