Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati

Zikir menenangkan hati
Zikir menenangkan hati

Secara etimologi zikir berasal dari bahasa Arab zakara-yazkuru-zikrun yang berarti ‘menyebut’ atau ‘mengingat’. Sedangkan secara istilah, zikir acap kali didefinisikan dengan menyebut atau mengingat Allah dengan lisan melalui kalimat-kalimat thayyibah. Zikir sendiri memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah zikir dapat menenangkan hati.

Kendati zikir sering dimaknai sebagai upaya mengingat Allah melalui lisan, namun sesungguhnya esensi zikir ada pada kesadaran penuh akan pengawasan Allah dalam segala aspek kehidupan manusia. Kesadaran inilah yang akan membuat hidup menjadi tenteram, semangat, menenangkan hati dan pikiran. Sebab dalam konteks ini seseorang akan merasa bersama Allah.

Allah swt berfirman dalam surah ar-Ra’d [13] ayat 28 berkenaan zikir dapat menenangkan hati:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ  ٢٨

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13] ayat 28).

Menurut Quraish Shihab, orang yang beriman hatinya akan damai dan tenteram. Sebab zikir dapat menenangkan hati pelakunya. Zikir di sini maksudnya adalah mengingat Allah, baik melalui hati maupun lisan. Dengan zikir seseorang akan keluar dari rasa ragu, bimbang dan kekhawatiran. Ole karena itu, seorang muslim mesti menanamkan zikir dalam kehidupan sehari-hari.

 Kata zikir pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah. Makna ini kemudian berkembang menjadi “mengingat”, karena pada umumnya ketika seseorang mengingat sesuatu, itu akan termanifestasi dalam ucapannya. Dengan demikian, mengingat sesuatu sering kali mengantar lidah menyebutnya. Demikian pula menyebut dapat mengantarkan hati untuk mengingat lebih banyak apa yang disebut (Tafsir al-Misbah [6]: 599).

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna spesifik zikir pada surah ar-Ra’d [13] ayat 28 di atas. Ada yang memahaminya dalam arti Al-Qur’an, karena salah satu nama Al-Qur’an memang al-dzikr. Ada pula yang memahami dalam arti zikir secara umum, baik berupa ayat-ayar Al-Qur’an maupun selainnya. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa zikir dapat menenangkan hati dan membawa ketenteraman jiwa.

Al-Sa’di menyebutkan dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah ar-Ra’d [13] ayat 28 menginformasikan bahwa zikir dapat menenangkan hati. Maksudnya, zikir dapat menghilangkan kegundahan, kegalauan, keguncangan, dan keraguan hati. Dengan zikir pula hati akan menjadi tentang dan merasakan kenikmatan.

Syekh Nawawi al-Bantani menerangkan bahwa makna surah ar-Ra’d [13] ayat 28 adalah orang-orang yang beriman dengan apa yang dibawa nabi Muhammad akan tenang hatinya dengan mengingat Allah, yakni kalam-kalam-Nya. Pengetahuan seorang muslim terhadap kemukjizatan Al-Qur’an menghasilkan ketenangan hati terhadap kebenaran nabi saw dan ajarannya (Marah Labid).

Menurut Thabathaba’i ketenteraman hati pada surah ar-Ra’d [13] ayat 28 dihasilkan melalui zikir yang berlandaskan keimanan, bukan hanya pengetahuan. Keimanan yang sesungguhnya bukanlah pengetahuan tentang obyek iman semata, tetapi kesadaran dan keyakinan mendalam. Artinya, ilmu saja tidak cukup karena itu tidak mampu mendatangkan ketenangan, bahkan terkadang menghasilkan kecemasan.

Kata thatma’inna pada ayat ini disebut dalam bentuk kata kerja masa kini atau fi’l mudhari’. Penggunaan di sini bukan bertujuan menggambarkan ketenteraman dan ketenangan hati pada masa tertentu, tetapi maksudnya adalah kesimabungan dan kemantapannya. Artinya, orang-orang mukmin yang berzikir akan senantiasa tenteram dan tenang hatinya, baik saat sendirian maupun di tengah orang ramai.

Imam al-Ghazali menyebutkan, manusia sebagai hamba Allah harus dapat mengambil dari lafaz “Allah” kesadaran tentang kebesaran Allah, yakni kekuasaan-Nya yang mutlak, tiada terbatas, pengetahuan dan pengaturan-Nya yang menyeluruh bagi semua makhluk. Selain itu, ia juga harus mengaitkan seluruh jiwanya dengan Allah, tidak memandang kepada selain-Nya, tidak berharap kepada selain-Nya, dan tidak takut kepada selain-Nya.

Dengan demikian, ketika seseorang berzikir ia seharusnya memahami itu semua, bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud hakiki dan haq sedangkan selain Dia hanya wujud nisbi yang akan hilang pada waktunya. Dalam konteks ini, zikir dapat menenangkan hati dan membawa pelakunya kepada kesadaran serta keasatuan dalam dzat-Nya yang Maha Agung lagi Maha Kuasa.

Jika zikir tidak dilakukan dengan benar, maka itu tidak akan memberi manfaat signifikan. Maka tak heran, kita sering kali menemukan dan bahkan mungkin dirasakan oleh sebagian orang, masih ada rasa gelisah dan gamang dalam hati, kendati sudah berzikir. Hal ini disebabkan adanya kotoran di dalam hati dan adanya ketidaktulusan (Ihya Ulumuddin).

Imam al-Ghazali mengilustrasikan, jika seseorang sedang berjalan, lalu ada anjing yang hendak mengganggu dan ia menghardiknya, maka anjing itu akan segera pergi. Namun, bila di sekitarnya banyak tulang dan daging yang menjadi makanannya, maka anjing tersebut tidak akan pergi meskipun dihardik dengan keras. Kalaupun dia pergi, paling hanya sebentar untuk kemudian mengintai lagi, menunggu kita lengah lalu segera kembali.

Melalui ilustrasi tersebut, al-Ghazali ingin menjelaskan bahwa zikir itu ibarat sebuah hardikan terhadap setan. Zikir baru akan efektif, kalau hati kita bersih dari makanan setan. Kalau hati sudah bersih, maka zikir akan mampu menghardik setan. Sebaliknya, bila hati dipenuhi dengan makanan setan, maka zikir sebanyak apa pun tidak akan sanggup mengusir setan. Bahkan, setan akan ikut berzikir pula dalam hati kita.

Berdasarkan penjelasan di atas, surah ar-Ra’d [13] ayat 28 berisi tentang informasi bahwa zikir dapat menangkan hati. Zikir di sini pada esensinya adalah mengingat Allah dan segala ke-Maha-an-Nya. Zikir sendiri akan efektif bila dilakukan dengan hati yang bersih dan tulus. Tanpa penghayatan, zikir tidak akan berperan signifikan bagi kehidupan seseorang. Wallahu a’lam.