Konteks Historis Penolakan Al-Quran Terhadap Puisi

Konteks Historis Penolakan Al-Quran Terhadap Puisi
Konteks Historis Penolakan Al-Quran Terhadap Puisi

Sikap Al-Quran terhadap puisi (baca: syair) merefleksikan sikap antagonistik: Al-Quran menolak disebut puisi berikut Rasulullah sebagai penyair. Demikian pula mufassir, sekilas menunjukkan sikap standar ganda: Membantah ejekan penyair yang diatributkan pada Rasulullah, namun menggunakan syair sebagai satu metode referensial untuk memahami kata dalam Al-Quran. Hal tersebut disebabkan konteks yang melingkupi. Beberapa ayat yang merekam penolakan Al-Qur’an antara lain terdapat di surah Yasin ayat 69 dan Al-Saffat 36:

وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ ٦٩ ( يٰسۤ/36: 69)

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas.” (Yasin/36:69)

وَيَقُوْلُوْنَ اَىِٕنَّا لَتَارِكُوْٓا اٰلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُوْنٍ ۗ ٣٦ ( الصّٰۤفّٰت/37: 36)

“Dan mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (As-Saffat/37:36)

Baca juga: Belajar dari Mbah Fadhal al-Senory, Guru Besar Ulama Nusantara dan Tafsir Fikihnya

Puisi dan Kerja Kebudayaan

Ketidakpantasan Rasululluah berhubungan dengan syair pada dua ayat di atas menunjukkan tingkat kerendahan syair itu sendiri. Padahal, melalui sudut pandang kebudayaan, puisi adalah salah satu ekspresi estetis yang menggerakkan laju peradaban. Di masa kerajaan kuno Nusantara, para pujangga diberikan tempat khusus oleh pihak istana, dan mereka memiliki tugas untuk merumuskan laju kebudayaan, termasuk melalui medium syair.

Puisi juga termasuk ekspresi aksara paling tua. Bangsa Sumeria, pada masa 4000 SM, menulis kesedihan atas kematian Tammuz dan cerita tentang Gilgamesh dalam bentuk puisi. Bahkan pada masa sebelumnya, Nabi Ayub telah menulis aksara. Yapi Tambayong menyebutnya Sajak Ayub: Dialog puisi panjang yang menandai mulai berlaku gagasan keindahan dalam bahasa (Tambayong, 2012, 15).

Pada masa modern, puisi bebas menunjukkan spontanitas dan sublimasi, dalam istilah Hasif Amini, memaksa manusia untuk merasakan tekstur bahasa serta merawat ketakjuban lugu: Kenapa bahasa seakan-akan bisa menampilkan dunia, hal ihwal yang wadag maupun niscaya, yang mustahil maupun yang sehari-hari, padahal ia hanya sejenis bunyi dan guratan tanda pada permukaan.

Baca juga: Cara Mengetahui Qira’ah yang Dipedomani Suatu Mushaf

Para penyair ingin menampilkan dunia sekaligus hal yang melingkupi dalam bentuk artistik. Sebagai medium ekspresi pemikiran manusia, puisi merupakan bentuk intelektualitas paling tua dan sejarah tentang puisi adalah sejarah tentang intelektualitas itu sendiri.

Konteks Penolakan Al-Qur’an

Wahbah Zuhaily mendiskusikan sikap Islam terhadap syair pada bab khusus dalam tafsirnya, al-Munir. Menurutnya Islam tidak menolak puisi an sich, tetapi menolak konten dari puisi. Tidak ada satupun dari pembesar dari kalangan sahabat, kata Zuhaily, kecuali telah mengucapkan syair, yang mengandung kebijaksaan bagi orang banyak, memberi pelajaran bagi golongan awam, dan meneruskan perjuangan bagi kepentingan bersama.

Puisi atau syair jenis inilah yang diresepsi oleh Islam. Sebaliknya, puisi rendahan dan tercela, seperti kisah cinta yang vulgar; provokasi terhadap kekejian, merupakan jenis puisi yang ditolak oleh Islam. Sikap Al-Quran terhadap puisi berada dalam konteks konten. Pemetaan puisi bagus dan tidak bagus ini, tentu terbentuk dalam kerangka ajaran Islam.

Artinya, apakah puisi tersebut dikatogerikan dalam puisi yang ditolak atau diterima Al-Quran, bergantung pada nilai-nilai baik-buruk yang diusung oleh Al-Quran. Dalam tradisi kritik sastra modern, nilai estetika puisi ditentukan oleh banyak faktor di luar paradigm agama, seperti penggunaan logika, eksplorasi tema, dan bentuk penyajian, yang semuanya terkait dengan licentia poetica: Kebebasan sastrawan menyimpang dari kenyataan atau dari bentuk konvensional demi menghasilkan efek yang dimaksud.

Terlepas dari hubungan sikap Al-Quran dan bentuk estetika puisi, Nasr Hamid, dalam Mafhum al-Nass, menyajikan argumen lain yang cukup relevan tanpa larut pada baik-buruknya konten puisi. Menurutnya dunia Arab pra-Islam hanya mengenal prosa dan puisi sebagai bentuk teks kebudayaan, sekaligus bentuk intektual yang mereka banggakan.

Pengetahuan terbatas orang Arab tehadap jenis teks ini membawa konsekuensi lebih lanjut. Ketika Al-Quran turun, orang-orang Arab memasukkan Al-Quran pada jenis teks yang mereka kenali. Tidak berhenti di situ, orang Arab memiliki world view tersendiri dibalik produksi teks-teks tersebut, terutama puisi, yang oleh Nasr Hamid dibagi menjadi dua poin penting.

Pertama, sumber puisi. Bangsa Arab meyakini bahwa para penyair mendapat ilham untuk menulis puisi dari jin yang hidup di Padang Sahara. Tidak seperti wahyu Al-Quran yang turun dari Allah—melalui Jibril—kepada Rasulullah, yang bersifat vertikal, puisi hadir dengan hubungan horizontal, langsung dari jin pada penyair. Jika Al-Quran menegaskan Rasulullah bukan penyair, hal tersebut karena Al-Quran menolak paradigma bangsa Arab bahwa Al-Quran tidak diturunkan oleh Allah, melainkan bersumber dari jin.

Baca juga: Inilah Lima Kitab Tajwid Karangan Ulama Nusantara

Kedua, fungsi puisi. Fungsi puisi dan penyair pada masa pra-Islam bersifat ideologis, yakni menyuarakan kepentingan kabilah dalam menjatuhkan musuh, atau memuji tokoh pemimpin. Meski tentu ada banyak syair yang “netral”, sikap defensif Al-Quran pada syair adalah dalam konteks menolak terlibat dalam kepentingan kelompok, karena Al-Quran secara esensial berfungsi memberikan perubahan ruang publik yang lebih positif, baik dari segi spiritual dan sosial.

Dari dua poin tersebut, kemudian Al-Quran menolak Rasulullah disebut sebagai penyair atau bahkan penyihir. Dengan kata lain, penolakan Al-Quran pada puisi bukan berarti Al-Quran menegasikan nilai kebudayaan puisi, namun karena orang Arab menganggap Rasulullah mendapat wahyu dari jin dan mengandung nilai kepentingan parsial kelompok tertentu.

Pada masa sekarang, puisi tidak terpaut dengan makhluk gaib, atau menjalankan fungsi ideologis kepentingan kelompok—meski poin kedua ini dapat terjadi. Karya-karya puisi terlepas sama sekali dari pandangan dunia Arab masa lalu lantas, melalui kaca mata ini, dapat dipahami bahwa Al-Quran tidak memandang rendah puisi. Jika terdapat ulama menilai makruh pada puisi, menurut Nasr Hamid, hal tersebut jelas karena pandangan yang tidak menyeluruh dalam melihat realitas sejarah.