Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204: Adab Seorang Mukmin Ketika Mendengar Lantunan Ayat-Ayat Al-Qur’an

Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204,ada ketika mendengarkan lantuman Al-Qur'an
Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204,ada ketika mendengarkan lantuman Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat manusia yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Al-Qur’an memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya, bahkan, juga sebagai rahmat bagi yang mendengarkan. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-A’raf ayat 204.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204)

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat”

Dalam memahami ayat ini banyak orang beranggapan bahwa perintah untuk mendengarkan atau diam ketika mendengar bacaan Al-Qur’an adalah tatkala berada dalam keadaan shalat dan khotbah. Sementara selain kedaan tersebut (diluar shalat dan khotbah) seperti ketika acara yang di dalamnya ada sesi pembacaan Al-Qur’an tidak diperintah atau dianjurkan untuk diam.

Sebelum membahas lebih lanjut. Sebab nuzul turunnya surat al-A’raf ayat 204 ini sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lubaab al-Nuquul” dari Abu Hurairah r.a mengatakan bahwa surat al-A’raf ayat 204 turun sehubungan dengan mengeraskan suara dengan keras tatkala bermakmum di belakang Nabi lalu, turunlah ayat tersebut. Riwayat yang senada juga dari Abu Hurairah r.a, beliau menagatakan, “Para sahabat selalu bercakap-cakap sewaktu dibacakan Al-Qur’an, maka turunlah firman Allah (al-A’raf ayat 204)”.

Baca juga: Tafsir Ahkam: 3 Masalah Terkait Membasuh Kaki Saat Wudhu yang Penting Diperhatikan

Sementara riwayat yang berbeda yakni dari Zuhri r.a yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang pemuda dari sahabat Anshar. Manakala Rasulullah membaca Al-Qur’an maka, pemuda tersebut membarengi bacaannya dengan Nabi. Sehingga turunlah ayat 204 surat al-A’raf tersebut.

Jika kita perhatikan dalam tafsir klasik misal tafsir Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini memang tidak ada pernyataan secara jelas dan tegas apakah perintah untuk diam atau merenung ketika mendengar bacaan Al-Qur’an itu juga dapat diimplementasikan pada selain shalat misal seperti ketika teman satu kelas menyetel Al-Qur’an melalui hp, atau ketika tetangga kita mengadakan hataman Al-Qur’an dengan menggunakan mikrofon. Akan tetapi, jika kita menelurusi dalam kitab-kitab tafsir modern maka kita akan menemukan sebuah interpretasi secara tegas bahwa kandungan perintah pada ayat tersebut tidak hanya pada waktu shalat atau khotbah saja tetapi juga di luar itu.

Kata al-Istimaa’ pada ayat tersebut memiliki makna yang lebih khusus daripada al-Sam’u sebab kata al-Istimaa’ (mendengarkan) dapat dihasilkan dengan sengaja dan niat atau dengan menfokuskan panca indera terhadap suatu pembicaraan untuk memahaminya.

Sementara kata “al-Sam’u” dapat dihasilkan walaupun dengan tanpa sengaja dan kata “al-Inshaat” memiliki makna diam untuk mendengarkan, sehingga tidak ada gangguan untuk merekam segala yang dibacakan. Lebih kompleks, al-Sa’di dalam tafsirnya “Taysiir al-Kariim” memberikan pengertian “al-Istimaa’” dengan memfokuskan pendengaran serta menghadirkan dalam hati dan bertadabbur atas apa yang didengar. Orang-orang yang mengikuti kedua perintah tersebut akan mendapatkan kebaikan dan ilmu yang berlimpah, iman yang kokoh serta petunjuk yang bertambah.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin

Hukum Ketika Mendengarkan Lantuman Ayat Al-Qur’an

Melalui ayat tersebut Allah swt menginformasikan tentang adab yang nantinya juga bermuara pada hukum ketika mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an. Dalam kitab tafsir “al-Munir” Syaikh Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan agar kita mendengarkan bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan supaya memahami dan mengambil pelajaran atas isi dari ayat-ayatnya serta tidak berbicara (diam) dan khusyu’ agar dapat berfikir serta berangan-angan (tadabbur) tentang maknanya.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa semuanya itu merupakan suatu media untuk mendapatkan rahmat Allah swt dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang hatinya disinari oleh nur al-Iman.

Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili, ayat ini juga mengindikasikan tentang hukum wajib untuk mendengarkan (istimaa’) dan diam (inshaat) ketika mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat atau selainnya bahkan umum di segala tempat dan keadaan. Bedanya, lebih ditekankan jika dalam keadaan shalat, tatkala imam membaca jahr (keras). Pendapat ini dari Syaikh Hasan al-Basri.

Sementara menurut mayoritas ulama’, hukum wajib mendengarkan dan diam hanya berlaku pada masa Rasulullah saw tatkala beliau membaca Al-Qur’an dan pada waktu shalat serta mendengarkan khotbah. Sebab wajib mendengarkan diluar itu sangat sulit untuk dilakukan karena dapat berimpak meninggalkan pekerjaan. 

Adapun hukum tidak mendengarkan Al-Qur’an dalam suatu acara yang di dalamnya ada sesi pembacaan Al-Qur’an misal wisuda maka sangat dimakruhkan hukumnya. Pendapat tersebut senada dengan pernyataan Syaikh al-Baidhawi dalam tafsirnya “Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta’wiil” bahwa secara dhahir, ayat ini memang menunjukkan hukum wajib secara mutlak. Namun, mayoritas ulama’ menghukumi sunnah mendengarkan Al-Qur’an di luar shalat untuk diam dan memperhatikan.

Baca juga: Gambaran Delusi Para Penolak Kebenaran dalam Surah Al-Hajj Ayat 46

Salah satu kutamaan memperhatikan dan mendengarkan pembacaan Al-Qur’an adalah mendapatkan kebaikan yang berlipat sebagaimana hadis berikut:

روى الإمام أحمد عن أبي هريرة رضي اللّه عنه أن رسول اللّه صلّى اللّه عليه وآله وسلم قال : من استمع إلى آية من كتاب الله ، كتبت له حسنة مضاعفة ، ومن تلاها كانت له نورا يوم القيامة

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mendengarkan ayat Al-Qur’an maka baginya kebaikan yang berlipat, dan barangsiapa belajar satu ayat dari Al-Qur’an maka baginya cahaya pada hari kiamat. (H.R Ahmad bin Hanbal)

Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa hukum memperhatikan dan mendengarkan secara sungguh-sungguh ketika dibacakan Al-Qur’an adalah wajib di dalam shalat dan khotbah sedangkan di luar itu terdapat perbedaan ulama’, ada yang tetap menyatakan wajib dan ada yang menyatakan sunnah. Sebab jika diluar shalat maka, dikhawatirkan dapat meninggalkan pekerjaan yang harus dilakukan ketika menerapkan perintah ayat di atas atau lebih gampangnya dapat mendatangkan masyaqqah (kesulitan).

Sementara apabila menghadiri suatu acara yang didalamnya terdapat sesi pembacaan Al-Qur’an maka sangat dimakruhkan apabila tidak mendengarkan dan memperhatikannya. Dengan mendengarkan dan memperhatikan secara sungguh-sunggguh maka, mimimalnya dapat mengantarkan kita untuk menghayati dan meresapi ayat-ayatnya dan berusaha untuk memahami kandungan-kandungannya.