Strategi untuk mempertahankan keutuhan negara, salah satunya adalah dengan menumbuhkan nuansa kedamaian antar masyarakat. Oleh karenanya, pada setiap konflik, baik perang atau tindakan anarkis lainnya, jalan perdamaian harus diupayakan. Mengenai hal ini, Allah telah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 61:
وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Anfal (8) : 61)
Menurut Imam Ismail Ibnu Kathir ayat di atas menerangkan bahwa jika dalam suatu pertempuran, salah satu pihak ingin mengajukan damai atau gencatan senjata, maka harus menerima hal tersebut.
Redaksi al-Silm pada ayat di atas memiliki makna keselamatan (al-Musalamah) dan perbaikan (al-Mushalahah). Ayat ini berkaitan erat dengan peristiwa Hudaybiyah ketika terjadi perundingan antara kaum Muslim dengan kaum Quraisy yang terjadi di Hudaybiyah. Kaum Quraisy meminta kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan gencatan senjata juga berdamai selama 6 tahun.
Walaupun isi perjanjian tersebut merugikan kaum Muslim, namun Rasulullah Saw. tetap mematuhi isi perjanjian tersebut demi kemaslahatan umat. Masih menurut Ibnu Kathir dengan mengutip pendapat ‘Abd Allah bin Abbas, Mujahid, Zayd ibn Aslam dan Qatadah bahwa ayat di atas telah dinasakh (dibatalkan) dengan ayat lain sebagai berikut:
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Surat At-Taubah ayat 29)
Keberadaan ayat tersebut dikarenakan pada surat At-Taubah terdapat perintah untuk memerangi orang-orang kafir yang telah memerangi Rasulullah Saw. Akan tetapi, jika musuh meminta damai sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Hudaybiyah, maka kaum Muslim harus menerima tawaran tersebut. (Ismail ibn Kathir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Jilid 4, hal. 84)
Akan tetapi menurut Imam al-Mawardi mengutip pendapat al-Hasan, Qatadah dan bin Zayd bahwa secara umum surat Al-Anfal ayat 61 ini telah dinasakh dengan surat At-Taubah ayat 5 sebagai berikut
فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”(QS. At-Taubah ayat 5)
Kemudian masih menurut Imam al-Mawardi, ayat 61 ini dikhususkan bagi Ahlul Kitab yang melaksanakan pembayaran jizyah. Maksudnya, kaum Non-Muslim tersebut menginginkan hidup damai dengan kaum Muslim, sehingga jaminannya dengan membayar pajak atau jizyah terhadap penguasa Muslim.
Selain itu, ayat di atas menjelaskan jika ada sekelompok yang memerangi Islam, lalu musuh menyerah juga meminta damai, maka harus diterima. Apalagi musuh tersebut menyatakan diri masuk Islam, maka tidak boleh diperangi meskipun hanya secara lahiriah saja. (‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi, an-Nukat wal ‘Uyun Tafsiril Mawardi, Juz 2, Hal. 331)
Pada redaksi selanjutnya terdapata redaksi Wa Tawakkal ‘Ala Allah (Dan bertawakallah kepada Allah) menurut Imam Ibn Jarir al-Tabari bahwa hal tersebut merupakan perintah kepada Nabi Muhammad Saw.. untuk menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt. Dialah dzat yang Maha agung yang melindungi hamba-Nya dari hal berbahaya.
Penutup ayat terdapat redaksi Innahu Huwa as-Sami’ al-‘Alim (Sungguh Dia maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Redaksi ini memiliki maksud bahwa Allah Swt. Maha Mendengar apa yang diucapkan oleh Hamba-Nya baik secara lahir maupun batin. Begitu juga jika dikaitkan dalam konteks perang. Ketika musuh meminta untuk mengadakan perjanjian damai, bisa saja secara lahir mereka menerima perdamaian, namun secara batin tidak dapat diketahui oleh manusia dan hanya Allah lah yang Maha mengetahui pikiran dan isi hati manusia. Maka disinilah maksud dari redaksi al-‘Alim atau yang Maha Mengetahui khususnya sesuatu yang tersembunyi. (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta`wilil Ayil Qur`an, Jilid 4, Hal. 60-61)
Dengan demikian Allah Swt. mengajarkan kepada kita agar menyerukan perdamaian dalam konteks perang. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Perang hanyalah sarana penghancur peradaban dan kehidupan, maka perdamaian merupakan langkah utama dalam membangun kehidupan. Wallahu a’lam.