Judul di atas terlihat sedikit aneh, dua hal yang berlawanan jadi satu frasa, status hamba menandakan bahwa seseorang itu tidak bebas, terkekang dengan aturan dan perintah sang Tuan, tidak merdeka. Sebaliknya, orang yang merdeka tidak akan disebut hamba. Namun demikian, status tersebut ternyata dapat kita temukan dalam Alquran. Bagaimana maksudnya? simak penjelasan berikut.
Manusia sebagai Hamba
Manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. dan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Artinya manusia terlahir sebagai hamba yang harus patuh kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangannya. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56). Dan frirman-Nya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”” (Q.S Al-Baqarah: 30).
Sebagai hamba, manusia memiliki hak-hak melekat yang dikenal dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam deklarasi Universal HAM menurut PBB dikenal ada 30 hak asasi manusia dan nomor satunya adalah hak terlahir bebas dan mendapatkan perlakuan yang sama. Bebas hakikatnya bukan tanpa batas melainkan bebas yang memberikan hak pula kepada orang lain. (Kompas, 2018).
Manusia sebagai Mahluk yang Merdeka
Islam sudah lebih dahulu memberikan pandangan dan menegakan konsep HAM khususnya mengenai hak kebebasan kepada manusia. Di antara ayat mengenai kemerdekaan adalah “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS. al-Baqarah: 256). Islam didakwahkan tidak berbasis paksaan. Islam tidak disebarkan dengan pedang melainkan dengan akhlak karimah. Berbagai peperangan yang terjadi di zaman nabi dan sahabat karena untuk mempertahankan diri ketika diserang oleh mereka yang tidak senang dengan dakwah nabi Saw. dan sahabatnya.
Dengan demikian jelas bahwa Islam adalah agama yang menjadikan hambanya pribadi yang merdeka. Namun, merdeka bukan berarti bebas tanpa batas karena kemerdekaan dalam Islam itu memiliki tiga aspek utama yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Kemerdekaan sesungguhnya manakala seseorang terbebas dari noda yang merusak akidah, syari’ah dan akhlak. Orang yang bebas tanpa batas tanpa memperdulikan ketiganya menurut Islam bukanlah merdeka, justru mereka sudah terjajah oleh nafsu dan tipu daya syaitan.
Pertama, kemerdekaan dalam akidah ketika seseorang merdeka dari kemusyrikan dan kekafiran. Ia memiliki tauhid yang kokoh dan keimanan yang mantap. Keimanan yang kokoh kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, hari kiamat, serta kepada qadha dan qadar.
Definisi iman yang masyhur menurut para ulama salaf diantaranya Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) adalah: “pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan”. Muslim merdeka tandanya terbebas dari menduakan Allah dan juga meniadakan Allah, malaikat-Nya, kitab-nya, hari kiamat, serta kepada qadha dan qadar dalam hidupnya.
Kedua, merdeka dalam bersyariat ketika muslim mampu beribadah, beramal, dan bermuamalah sesuai dengan syariat Islam yang benar berbasis tuntunan Alquran dan Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Karena syariat merupakan “suatu sistem atau aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, atau hubungan manusia dengan manusia”. Dalam aplikasinya, syariat muncul dalam berbagai produk fiqh yang dari zaman-ke zaman bisa jadi mengalami berbagai perubahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Merdeka dalam konteks ini adalah manakala seorang muslim mampu beribadah sesuai dengan madzhab fiqh yang dianut dan diyakininya. Dengan begitu, ia merdeka, tidak terkekang dengan satu pendapat, pun tidak melaksanakan ibadah berdasar kreasinya sendiri. Keadaan seperti ini, membuat potensi seseorang untuk merdeka dari kesalahan dalam melaksanakan ibadah, sah dalam beribadah, bahkan terhindar dari bid’ah dalam beribadah akan lebih besar. Demikian bula dalam praktik muamalah, dia berusaha menghindari riba, mendzalimi diri sendiri dan orang lain, serta terhindar dari hal-hal yang haram.
Ketiga, merdeka dalam berakhlak itu ketika muslim berakhlak mahmudah bukan akhlak madzmumah. Rasulullah juga diutus untuk memperbaiki akhlak, bahkan akhlak adalah kunci kesuksesan dakwahnya “Tidaklah aku diutus ke dunia kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R. A Bazzar). Imam Ghazali memahami akhlak sebagai “sesuatu yang mengakar kuat dalam jiwa seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa harus dipikir terlebih dahulu”.
Jadi akhlak itu sesuatu yang tertanam menjadi keyakinan bahkan sudah menjadi tabiatnya. Jika seorang muslim sudah berakhlak baik terbebas atau merdeka dari akhlak tercela maka ia sudah dikatakan hamba merdeka. Sumber akhlak seorang muslim Alquran dan sunnah, juga akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral namun yang sejalan dengan Alquran dan Sunnah.
Semoga indikator kemerdekaan muslim atau hamba Allah itu ada dalam diri kita. Namun demikian yang pertama merupakan pokok, sementara yang kedua dan ketiga merupakan implementasi lanjutan dari yang pertama. Hanya dengan ketiganya kita bisa dikategorikan hamba yang merdeka. Semoga. Wallah a’lam.