Ibnu Khaldun dalam karyanya yang fenomenal, “Muqaddimah”, ia menulis teori tentang manusia dan segenap persoalannya. Teorinya yang paling fenomenal dan mudah dihafal “manusia adalah makhluk sosial”. Karena sesungguhnya manusia tidak lepas dari bahu membahu, untuk memenuhi kebutuhan-keperluan sehari-hari, manusia tidak lepas dari bantuan manusia lain. Mengetahui hal ini dalam tafsir Al-Qur’an menegaskan untuk lebih bersabar dalam menunggu pembayaran hutang.
Mereka yang memiliki keluasan harta, atau setidak-tidaknya lebih memadai materi dan harta bendanya, bisa jadi opsi bantuan bagi mereka yang ditakdirkan berada di barisan kelas menengah ke bawah. Pasalnya, punya keluasan harta saja tidak cukup, butuh hati yang murah lagi rahmah untuk bisa memberikan bantuan kepada saudara – baik sedarah, seiman, maupun kemanusiaan – yang membutuhkan.
Baca juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an
Dalam Al Qur’an, Allah Swt berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 280).
Tafsir Surah Al-Baqarah 280
Ibnu Katsir, dalam tafsir fenomenalnya, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir memberi keterangan, bahwa Allah Swt melalui perantara ayat ini, Ia memerintahkan seseorang agar lebih bersabar dalam menunggu pembayaran hutang dari pihak peminjam.
Memberi kesempatan (lagi) kepada pihak peminjam dan tidak segera menagih harta pinjaman apabila telah jatuh tempo pelunasan hutang, tidak mendesaknya untuk segera melunasi pinjamannya, sampai ia (yang berhutang) memiliki keluasan harta. Yang paling penting lagi untuk diketahui, pihak pemberi pinjaman juga tidak menambah berat beban hutang dengan tidak memberikan bunga atau semacamnya.
Melalui ayat ini, Allah Swt selain memberi perintah untuk bersabar dalam menunggu pelunasan hutang, Allah Swt sekaligus menghapuskan tradisi riba yang sudah berlangsung lama dan mapan di masa jahiliyah. Umumnya, mereka biasa mengatakan (kepada peminjam): “idza halla ‘alaihi al dainu, immaa an taqdliya, wa immaa an tarbiya. (jika hutangmu sudah jatuh tempo, maka segera lunasilah atau nanti ia akan berbunga). (al Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Vol I, 716-722)
Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif
Aidh al Qarni dalam Tafsir Muyassar menyebutkan, bahwa konten ayat di atas, adalah perintah dari Allah untuk memberi bantuan berupa perpanjangan waktu kepada peminjam hutang yang tidak mampu melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo yang ditentukan. Lelaku tersebut adalah lelaku yang mengantarkan kita menjadi orang yang lebih berdaya, yang dijamin Allah mendapat rezeki yang lebih lapang, dan menjadi manusia yang lebih bernilai di dunia dan akhirat. (al Tafsir al Muyassar Vol I, 298)
Simpulnya, jika tidak mendesak pembayaran hutang atau menambaah berat beban hutang dengan bunga dijanjikanNya menjadi seorang hamba yang memiliki nilai lebih di hadapanNya, apalagi jika sampai kita mengikhlaskan harta kita kepada si peminjam harta dengan menganggap lunas hutang, tentu saja kita bisa menjadi manusia yang jauh lebih bernilai.
Puncaknya adalah, sebagaimana difirmankanNya di ayat lain,
لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
“Surga disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit” (QS. Ali Imran: 133-134).
Kemudian, pada puncaknya (juga), Allah akan memberikan pahala bagi mreka yang bersedekah, baik secara langsung yakni dengan memberikan sebagian kelebihan harta kepada orang lain, atau bersedekah secara tidak langsung yakni dengan cara yang anti minstream: menganggap lunas hutang, memberikan pembebasan pada peminjam yang tidak mampu melunasinya.
Allah Swt berfirman:
ان الله يجزي المتصدقين
“Sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah)
Melalui konstruksi ayat-ayat di atas, Allah Swt mendidik kita untuk saling memudahkan. Balasan bagi mereka yang saling memudahkan sesama dijanjikan oleh nabi saw dalam banyak dawuhnya, di antaranya hadith yang berstatus shahih, muttafaq ‘alaih: barangsiapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, niscaya Allah akan melepas darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.
Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif
Kemudian, dalam hadith riwayat Thabrani, diceritakan, nabi Saw pernah ditanya, siapakah manusia yang paling dicintai Allah, juga perbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawaban nabi adalah:
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah mereka yang paling bermanfaat dan berguna bagi orang lain. perbuatan yang paling dicintai oleh Allah adalah memberikan kegembiraan bagi orang lain atau menghapus kesedihan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu membayarnya, atau memberi makan mereka yang sedang kelaparan. Orang yang menolong mereka yang sedang kesusahan lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku selama satu bulan” (HR. Thabrani)
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan: Pertolongan Allah kepada seseorang tergantung pada pertolongan yang diberikannya pada sesama manusia. Sesungguhnya Allah pasti menolong hambaNya selama hamba tersebut mau menolong orang lain (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Jika ditelaah ulang, Allah melalui kalamNya, juga melalui lidah nabiNya, mendidik diri kita secara halus untuk menjadi pribadi yang baik, santun, dan bermanfaat bagi orang lain. semakin banyak kebaikan yang dilakukan seseorang, semakin banyak kemanfaatan yang dibagikannya, semakin dekat pula ia dengan derajat al muttaqun. Maka berilah kemudahan bagi mereka yang membutuhkan, niscaya ridha Allah bisa didapatkan.
Wallahu a’lam.