Negeri di Seberang Sungai atau Bilad Ma Wara’a Nahr atau dalam literatur latin disebut Transoxania/Transoxiana merupakan sebutan yang disematkan kepada kawasan Asia Tengah.(Tradisi Intelektual Muslim Uzbekirtan, hal iv). Sebagaimana dikutip dari jurnal Islamica, Qadimisme Versus Jadidisme Dan Dinamika Ulama Di Asia Tengah (Vol 12, No 1) merupakan kawasan yang mengalami islamisasi, ketika tentara pembebasan Islam di bawah panglima besar Qutaibah bin Muslim al-Bahli masuk ke wilayah itu sekitar tahun 88 H/706 M. Kini kawasan tersebut terdiri dari negara-negara pecahan Uni Soviet pasca imperialisme seperti Uzbekisten, Kirgistan, Kazakhstan, Tajikistan dan lain sebagainya.
Kawasan Asia Tengah terkenal dengan kota-kota bersejarah masa peradaban Islam seperti kota Samarkand dan Bukhara yang kini masuk wilayah negara Uzbekistan. Banyak karya dari tokoh intelelektual Muslim yang lahir disini, salah satunya kitab tafsir Bahr al-‘Ulum karya Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Khithab al-Samarkandi al-Tauzi al-Balkhi yang biasa dikenal dengan Abi Laits al-Samarkandi.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang
Tidak diketahui secara pasti kapan kitab tersebut mulai ditulis, namun dengan melihat riwayat biografi dari muallif (penulis) yang hidup sekitar tahun 301-310 H hingga 375-393 H mengindikasikan bahwa kitab tafsir Bahr al-‘Ulum ini ditulis pada periode klasik fase penulisan tafsir terpisah dari hadits (tadwin al-tafsir ‘ala istiqlal wa infirad min abwab al hadits), seperti yang dijelaskan oleh Syukron Affani dalam karyanya Tafsir al-Qur’an dalam Sejarah Perkembangannya (hal 137)
Dalam muqaddimahnya dijelaskan bahwa kitab tafsir ini ditulis atas dasar kesadaran muallif bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ilmu, menurutnya ketika seseorang ingin mendapatkan ilmu maka ia harus mengambil dari Al-Qur’an, sehingga untuk memudahkan hal tersebut maka ditulislah sebuah kitab tafsir yang kemudian diberi nama “Bahr al-‘Ulum” yang berarti “Lautan Ilmu”.
Tafsir Bahr al-‘Ulum pertama kali selesai dicetak dan diterbitkan oleh penerbit Edinburgh maktabah تشيستربتي yang kala itu hanya terdiri dari empat surat saja yakni Q.S al-Hijr, Q.S al-Nahl, Q.S al-Isra’, dan Q.S al-Kahfi. Kini Tafsir Bahr al-‘Ulum telah dicetak secara lengkap sebanyak 3 jilid oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah yang terbit pertama kali pada tahun 1993 dan telah ditahqiq (dikoreksi) serta dita’liq (dikomentari) oleh Ali Muhammad Mu’awadh, ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud, dan Zakariya ‘Abd al-Majid al-Nauti.
Baca juga: Membaca QS. Al-Baqarah: 228, Ayat Pembela Kaum Wanita
Karakteristik Tafsir Bahr al-‘Ulum
Tafsir Bahr al-‘Ulum memiliki nama asli Tafsir al-Samarkandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum. Tafsir ini disajikan dengan konsep tartib mushafi yakni ditulis runtut dari awal hingga akhir surat sesuai dengan susunan dalam Al-Qur’an mushaf Utsmani.
Seperti yang telah diketahui bahawa Tafsir Bahr al-‘Ulum telah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah sebanyak 3 jilid, dimana jilid pertama berisi muqaddimah dan tafsir surat al-Fatihah hingga surat al-A’raf, kemudian jilid kedua berisi tafsir surat al-Anfal hingga surat al-‘Ankabut, dan yang terakhir pada jilid ketiga berisi tafsir surat al-Rum hingga al-Nas.
Abi Laits al-Samarkandi memaparkan penafsirannya di dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum menggunakan metode tahlili dengan disertai beberapa aspek pendekatan seperti ‘Ulum al-Lughah (ilmu-ilmu bahasa), ‘Ulum al-Qur’an (ilmu-ilmu Qur’an) dan pendekatan Fiqhi (hukum Islam).
Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Sya’ir Arab, hingga menyandarkan kepada ulama’ ahli lughat seperti Ibnu Qutaibah, al-Ashma’i, al-Zujaj, Khalil bin Ahmad merupakan pendekatan bahasa yang digunakan dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum. Sementara ilmu Al-Qur’an yang digunakan sebagai media pendekatan diantaranya seperti Ilmu Qira’at, Makki-Madani, Nasikh-Mansukh, serta Asbab al-Nuzul.
Sedangkan pendekatan berbasis Fiqhi (hukum Islam) biasanya digunakan ketika menjelaskan ayat yang berkenaan dengan masalah Fiqih, hal ini dilakukan mengingat background penulis yang merupakan seorang ahli fiqih.
Baca juga: 4 Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an
Berdasarkan sumber penafsirannya Tafsir Bahr al-‘Ulum tergololong tafsir bi al-Iqtirani atau perpaduan antara bi al-Ma’tsur (riwayat) dan bi al-Ra’yi (nalar). Dikatakan tafsir bi al-Ma’tsur karena dalam kitab ini mufassir menafsirkan menggunakan sumber riwayat, diantaranya seperti ayat al-Qur’an, Hadits Nabi, Riwayat Sahabat, Tabi’in, dan Israilliyat.
Meskipun sekilas terlihat sama dengan tafsir bi al-Ma’tsur pada umumnya, namun Tafsir Bahr al-‘Ulum sedikit berbeda perihal penulisan hadits sebagai sumber penafsiran, dimana muallif terkadang tidak menyertakan sanad rawi dari hadits yang dikutip. Hal ini mungkin menjadi kebiasaan dari Abi Laits selaku muallif Tafsir Bahr al-‘Ulum, sebab dalam muqaddimah kitab tasawufnya Bustan al-‘Arifin beliau menjelaskan alasan melakukan hal tersebut dengan mengatakan;
وَحَذَفْتُ أَسَانِيْدَ اْلأَحَادِيْثِ تَخْفِيْفاً لِلرَّاغِبِيْنَ فِيْهِ وَتَسْهِيْلًا لِلْمُجْتَهِدِيْنَ وَالْتِمَاساً لِمَنْفَعَةِ النَّاسِ
“Saya sengaja membuang sanad-sanad haditsnya, tak lain untuk mempermudah para pembacanya, meringankan para pengkajinya, serta demi kemanfaatan yang luas bagi segenap manusia”
Sementara dikatakan tafsir bi al-Ra’yi karena dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum juga menggunakan sumber ra’yu (nalar) dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan perihal hukum (fiqhi) seperti ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 222.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
Ayat tersebut menjelaskan mengenai boleh atau tidaknya menggauli perempuan yang telah usai haidh dalam kondisi belum melaksanakan mandi wajib.
Ada 2 pemahaman mengenai “تَطَهَّرْنَ”, pertama apabila huruf tha’ dibaca dengan tasydid maka menunjukkan sampai suci dari haidh, jadi boleh menggauli sebelum mandi, kedua apabila huruf tha’ dibaca dengan tanpa tasydid maka bermakna sampai mandi, jadi baru boleh didekati seusai mandi wajib.
Perihal masalah ini Abi Laits menerima keduanya, dengan alasan bilamana seorang perempuan masa haidhnya kurang dari 10 hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi bilamana lebih dari 10 hari maka boleh didekati ketika masa haidhnya usai sebelum perempuan tersebut mandi wajib.
Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif
Komentar Ulama’ Terhadap Tafsir Bahr al-‘Ulum
Beberapa ulama’ peneliti kitab tafsir seperti Muhammad Husein adz-Dzahabi, dan Muhammad Ali Iyazi berkomentar dan memberi penilaian terhadap kitab Tafsir Bahr al-‘Ulum dalam kitabnya masing-masing.
Muhammad Husein adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun (juz 1 hal 161) mengatakan bahwa Tafsir Bahr al-‘Ulu>m tergolong tafsir bi al-ma’tsur yang sesuai dengan ketentuan ulama’ salaf, namun tidak disertakannya sanad dalam penulisan beberapa hadits oleh muallif menjadikan kekurangan tersendiri dalam kitab tersebut.
Sementara Muhammad Ali Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum (hal 176) mengatakan bahwa dalam Tafsir Bahr al-‘Ulum terdapat beberapa riwayat hadits dhaif yang tidak disertakan keterangan status kedhaifannya seperti hadits riwayat al-Kalbi. Hal tersebut menjadi salah satu celah bagi sebuah kitab Tafsir yang banyak mengutip hadits dalam penafsirannya.
Meski demikian kitab Tafsir Bahr al-‘Ulum merupakan salah satu bukti eksistensi Islam di “Negeri Seberang Sungai” (Asia Tengah) pada masa lampau. Wallahu a’lam[]