Bahasan tentang “apa itu Al-Qur’an?” masih berada dalam wilayah perbedaan pendapat. Setiap gagasan pengertian Al-Qur’an yang ada merupakan implikasi dari bagaimana konsep penurunan wahyu yang dipahami. Gagasan pengertian ini juga pada perkembangannya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap pemahaman.
Pengertian yang selama ini dipahami misalnya bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah (firman Allah) yang diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke falak as-sama’ (langit dunia) dalam satu waktu pada malam lailatul qadr. Terdapat juga pendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfudz langsung ke benak hati dan pikiran Nabi. Penurunan Al-Qur’an kepada Nabi melalui falak as-sama’ atau tidak ini merupakan perdebatan yang belum selesai.
Baca juga: Asal Usul Kata al-Qur’an dan Definisinya Menurut Para Ulama
Konsekuensi pemahaman yang kemudian muncul terkait dengan definisi ini adalah adanya perbedaan tentang kalamullah yang bi laa shaut wa harf (tanpa suara dan huruf) ini dengan kalamullah yang berbahasa Arab, ditulis dengan huruf, dan oleh kebanyakan orang disebut dengan mushaf.
Pengertian yang kedua tersebut menyalahi keyakinan selama ini bahwa Tuhan sebagai pemilik teks memiliki sifat mukhalafatu li al-hawaditsi (berbeda dengan makhluk) dan laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang semisalnya). Pertanyaan yang muncul juga berkisar pada apakah makna dan lafadznya dari Tuhan ataukah maknanya dari Tuhan dan lafadznya dari Nabi?
Terkait dengan ini, M. Syahrur dalam al-Qur’an wa al-Kitab memahami proses turunnya Al-Qur’an diawali dengan proses al-inzal yakni perpindahan objek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah yang dapat diketahui.
Maksud dari proses ini adalah perpindahan atau proses penampakan al-Qur’an sebagai kalamullah yang bi laa shaut wa harf ke langit dunia. Proses tersebut terjadi secara sempurna pada lailat al-qadr (QS. Al-Qadr). Proses al-inzal ini terjadi bersamaan sekaligus dengan adanya proses al-ja’l.
Al-ja’l merupakan transformasi wujud dari wujud primordial Al-Qur’an berubah ke bentuk yang dapat diserap oleh pengetahuan manusia secara relatif. Dalam hal ini, pengertiannya adalah bahwa Al-Qur’an yang berwujud primordial ditransformasikan menjadi bahasa Arab. Kedua proses tersebut terjadi secara bersamaan.
Baca juga: Catatan Kritis Mun’im Sirry terhadap Sumber tentang Kanonisasi Al-Qur’an
Proses selanjutnya adalah proses al-tanzil yang merupakan proses perpindahan objek secara material dan berlangsung di luar kesadaran manusia seperti halnya transmisi gelombang. Proses al-tanzil ini disampaikan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dan berlangsung selama rentang waktu 23 tahun.
Melalui pemahaman Syahrur ini, masalah pembedaan antara معنى من الله و لفظ من النبي (makna dari Allah dan lafaz dari Nabi) dan معنى و لفظ من الله (makna dan lafaz dari Allah) menjadi runtuh. Pada kesimpulannya, proses bagaimana kalamullah bisa sampai pada wujud mushaf yang sekarang ini begitu kompleks untuk dipahami.
Setiap gagasan tentang bagaimana proses penurunan Al-Qur’an ini memiliki implikasi terhadap bagaimana seseorang memahami apa itu Al-Qur’an. Persoalannya pun tidak berhenti di sini. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an telah dihafalkan oleh para sahabat kemudian dikodifikasi dan dikenal dengan Al-Qur’an mushaf Usmani ini pun kemudian masih memunculkan perdebatan.
Mun’im Sirry dalam Kontroversi Islam Awal (2015) memaparkan bagaimana proses pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an itu tidak “hitam-putih”. Dipaparkan ada berbagai riwayat yang berbeda dan sulit untuk direkonsiliasi terkait siapa yang memiliki inisiatif dalam pengumpulan Al-Qur’an dan juga yang menuliskannya.
Disebutkan juga bagaimana kelompok Syi’ah seringkali dituduh menyebarkan anggapan bahwa ada kekurangan redaksi dalam al-Qur’an yang kita baca, yaitu versi Usmani. Sedangkan di sisi lain, literatur Sunni sendiri malah banyak meriwayatkan adanya ayat yang hilang atau bahkan ada yang berbeda pada beberapa surah Al-Qur’an.
Hilangnya atau berubahnya surah Al-Bayyinah, surah Al-Ahzab, bahkan terdapat riwayat dari Hudzaifah bin Yaman yang menyebutkan bahwa surah Al-Bara’ah yang dibaca saat ini hanya memuat 1/3 atau 1/4 dari yang dibaca Nabi dahulu.
Terlepas dari segala kontroversi tersebut, tercakup hikmah bagi penghafal Al-Qur’an untuk tidak merasa berbangga diri atas hafalannya terhadap Al-Qur’an karena pada esensinya, keutamaan amal yang tertinggi bukan pada hafalannya namun pada pengamalannya. Wallahu a’lam,
Baca juga: Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan