Telah kita ketahui bersama, al-Quran diturunkan dengan tujuh ragam hurf (dialek) (al-Qattan, 2019: 224), namun tidak serta merta seluruh qira’at (ragam bacaan) boleh digunakan, baik dalam salat maupun di luar salat.
Ada dua macam qira’at; pertama, qira’at sab’ah. Adapun jika dengan tambahan tiga ragam dialek, disebut qira’at ‘asyarah atau qira’at yang sepuluh; kedua, adalah qira’at syazzah, yakni qira’at yang sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm utsmani.
Rasm Utsmani sendiri merupakan penulisan mushaf al-Quran dengan mengikuti kaidah-kaidah yang digunakan pada masa Utsman bin Affan (Ahsin Sakho, 2019: 105). Ini sebagai upaya beliau menyeragamkan dialek al-Quran, serta upaya menjaga bacaan muthawatirah.
Bisa dikatakan, qira’at syazzah merupakan qira’at yang memiliki kecacatan atau tidak memenuhi tiga persyaratan, yaitu shahih sanad-nya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan tidak menyalahi rasm Utsmani. Lantas, apakah qira’at yang tergolong sebagai syazzah dapat digunakan sebagai hujjah (pedoman), baik pedoman penafsiran maupun penetapan suatu hukum?
Baca juga: Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at
Bolehkah qira’at syazzah dijadikan hujjah?
Kalangan ulama berbeda pandangan dalam menanggapi kebolehan qira’at syazzah digunakan sebagai hujjah penafsiran ataupun penetapan hukum. Kebanyakan ulama memahami bahwa qira’at syazzah tidak boleh digunakan sebagai bacaan dalam salat maupun di luar salat. Hal ini dikarenakan qira’at syazzah bukan termasuk al-Quran, karena mestinya al-Quran disampaikan secara mutawatirah.
Hasanuddin AF menguraikan, sebagian ulama memahami bahwa membaca qira’at syazzah tidak diperbolehkan, jika yang dibaca menyangkut bacaan yang wajib dibaca dalam salat. Dan sebaliknya, dibolehkan membaca qira’at syazzat apabila yang dibaca bukan tergolong bacaan yang wajib dibaca dalam salat.
Adapun Dr. Romlah Widayati–dosen ahli qira’at di Institut Ilmu Quran Jakarta–dalam bukunya membuktikan bahwa qira’at syazzah yang dipandang asing, dapat dijadikan hujjah (pedoman) dalam menafsirkan al-Quran, bahkan dapat pula dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.
Sementara menurut Hasanuddin, kalangan Syafi’iyyah menyatakan ketidakbolehan qira’at syazzah dijadikan pedoman dalam menetapkan sebuah hukum (Hassanuddin AF, 1995: 171). Karena menurut mereka, qira’at syazzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar dari Nabi saw. Dan al-Quran mestinya diriwayatkan secara mutawatirah–periwayatannya dari banyak orang ke banyak orang, sehingga mustahil kedustaannya–sedangkan qira’at syazzah tidak demikian.
Sementara kalangan Hambaliyah dan Hanafiyah berpendapat, qira’at syazzah dapat dijadikan hujjah atau dalil untuk menetapkan hukum. Menurut pandangan mereka, qira’at syazzah itu merupakan qira’at yang tidak diakui ke-Quranan-nya karena memang tidak diriwayatkan secara mutawatirah. Akan tetapi, ia berkedudukan sebagai khabar ahad dari Nabi Muhammad saw. Dan beramal dengan khabar ahad adalah wajib (Hasanuddin AF, 1995: 170-171).
Oleh karena itu, Hasanuddin AF dalam bukunya “Anatomi al-Quran”, berkomentar bahwa terlepas dari apakah qira’at syazzah merupakan khabar ahad atau bukan, ia sementara jelas tidak tergolong sebagai al-Quran. Menurutnya, ide sementara sahabat memasukkan qira’at tersebut dalam mushaf mereka dan meriwayatkannya sebagai al-Quran (meski tergolong bukan al-Quran), minimal dapat digolongkan sebagai mazhab atau qawl sahabat yang bisa dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan hukum (Hasanuddin AF, 1995).
Baca juga: Mengenal Qira’at Syadzadzah dan Kedudukannya sebagai Hujjah dalam Kajian Romlah Widayati
Contoh penafsiran ayat menggunakan qira’at syazzah
Adapun contoh dari qira’at syazzah yang berpengaruh dalam penetapan hukum adalah seperti dalam penafsiran QS. Al-Maidah [5] ayat 89,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ ۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَٱحْفَظُوٓا۟ أَيْمَٰنَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Prof. Quraish Shihab menguraikan, ayat di atas antara lain menjelaskan persoalan, apabila seseorang bersumpah dengan sengaja–jika ucapan yang memang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, maka tidak mendapat kafarat–kemudian melanggar atau membatalkan sumpahnya, maka diwajibkan atas mereka untuk membayar kafarat atau denda (Shihab, 2004, 189). Adapun salah satu–opsi–denda yang dimaksud adalah berpuasa selama tiga hari.
Di sini, kalangan ulama berselisih pandangan, dalam memandang ketentuan puasa itu dilaksanakan, apakah tiga hari berturut-turut atau tidak. Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat, bahwa pelaksanaan puasa selama tiga hari sebagai kafarat sumpah, tidaklah disyaratkan harus berturut-turut. Jadi jika batal pada hari kedua, maka tidak diwajibkan mengulangi puasa lagi.
Menurut mereka, puasa dapat dilaksanakan secara terpisah. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah pemahaman terhadap zahir ayat di atas (فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ) yang tidak mengharuskan untuk melaksanakan puasa tersebut secara berturut-turut.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat berbeda, yakni pelaksanaan puasa kafarat harus dilaksanakan secara berturut-turut. Karena itu, jika puasa kafarat dilaksanakan secara terpisah, maka kafaratnya tidak sah.
Pendapat ini didasarkan pada qira’at Ubayy dan Abdullah bin Mas’ud, yaitu (فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ متتابعات) dengan ada tambahan lafadz mutatabi’at (متتابعات). Yang mana, menurut mereka, meskipun qira’at tersebut tidak mutawatir, namun qira’at tersebut menempati kedudukan sebagai hadis ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Menurut sementara ulama, qira’at yang tergolong syazzah dapat diterima keberadaannya, hanya saja tidak diakui ke-quraniyah-annya (ke al-Quran-annya). Sebagaimana pendapat sebagian ulama yang memandang qira’at syazzah sebagai khabar ahad atau sebagai penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. ketika menyampaikan al-Quran.
Sebagaimana komentar Ibnu Qudamah terhadap qira’at Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab dalam ayat di atas, bahwa tambahan lafadz (متتابعات) mutatabi’at boleh jadi sebagai tafsiran atau penjelasan dari Nabi Muhammad saw. yang demikian berkedudukan sebagai khabar ahad.