BerandaKhazanah Al-QuranDialogDialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab

Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab

Diskursus terkait hadirnya figur Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab; dan secara khusus dalam dinamika keberagamaan kita hari, merupakan term yang penting untuk diperbincangkan lebih lanjut. Perbincangan akan kedua term ini, yang dilakukan baik secara serius maupun serampangan dengan tidak didasarkan pada fakta-fakta dan pengetahuan, tentu saja menyimpan dampak yang tidak dapat dianggap sederhana. Tulisan ini berusaha melihat temuan-temuan Jon Armajani (Armajani, 2017) terkait sejauh mana kedua term ini diperbincangkan dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab, juga dalam para penganut masing-masing agama, dan dampak yang menyertainya.

Yesus dan Maria dalam Pandangan Al-Kitab dan Para Penganutnya

Jon Armajani dalam bagian ini menunjukkan ada setidaknya beberapa perbedaan dan persamaan yang dimunculkan oleh para penganutnya, baik itu dari kalangan Katolik Roma, Kristen Ortodoks Timur, Protestan, dan Anglikanisme, khususnya dalam term Maria. Adapun terkait term Yesus, meskipun menurutnya cukup signifikan, namun Jon Armajani tidak terlalu memperlihatkannya secara panjang lebar. Dua alasan mendasarnya, bahwa pertama, Maria sebagai seorang wanita, telah menarik perhatiannya pada aspek relasi gender di antara Muslim dan Kristen. Kedua, bahwa Maria merupakan tokoh penting dalam kedua agama ini karena telah melahirkan tokoh paling penting dalam Kristen, yakni Yesus; atau dalam Islam disebut dengan Isa yang mengajarkan cinta dan belas kasihan.

Istilah yang paling akrab; yang dinisbatkan kepada Maria dalam keyakinan kalangan Katolik Roma adalah ‘Wanita Suci yang dikandung tanpa noda’. Istilah ini penting untuk dihadirkan, sebagiamana tercantum dalam Katekismus Geraja Katolik tahun 1995 juga dalam apa yang diproklamirkan Paus Pius IX tahun 1854, bahwa dengan menjadikan Maria sebagai sosok yang tidak berdosa, ia akan menularkan keberdosaan tersebut kepada Yesus, anaknya. Dan karenanya, Yesus tidak akan berada dalam posisi untuk menebus dosa-dosa manusia melalui kehidupannya yang sempurna, penyaliban, dan kebangkitan.

Baca Juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Namun demikian, istilah yang dihadirkan oleh Katolik Roma atas Maria ditolak oleh kalangan Kristen Ortodoks Timur. Kalangan ini tidak memiliki otoritas tunggal sebagaimana Katolik Roma, dengan adanya Paus dan sumber tunggal ajaran teologis. Meskipun dalam memandang Maria memiliki persamaan, utamanya terkait dengan Maria sebagai ‘Perawan yang MahaKudus’, ‘perantara doa dan syafaat’, ‘Bunda Allah’, ‘Pemberi Kelahiran Allah’, namun dalam istilah ‘Wanita Suci yang dikandung tanpa noda’ bertentang dengan doktrin Kristologi Ortodoks Timur. Menurut kalangan ini, dengan menjadikannya sebagai sosok yang suci, ini justru dapat memisahkannya dengan umat manusia yang lain.

Bagian yang ambivalen dimunculkan oleh kalangan Protestan. Ada yang menerima istilah tersebut (Wanita Suci yang dikandung tanpa noda), pun ada yang menolaknya (mayoritas). Alasan mendasar dari kalangan adalah bahwa jika sesuatu tidak terdapat dalam Al-Kitab, hal tersebut sudah seharusnya ditolak. Untuk menjadikan Yesus sebagai yang tidak berdosa, istilah tersebut tidak perlu dihadirkan karena dengan mendasarkan pada Roh Kudus yang membersihkan dan berkuasa, dan sosok Maria yang mengandung Yesus sudah dianggap cukup untuk menghapuskan dosa-dosa Maria.

Kalangan Anglikanisme menempati posisi tengah dalam perbincangan ini. Posisi ini, tegas Jon Armajani, tidak kemudian menafikan adanya kesamaan pun perbedaan. Namun, poin pentingnya adalah bahwa mereka meyakini Yesus merupakan sosok perantara antara Tuhan dengan manusia; dan pada saat yang sama, mereka menolak segala bentuk interpretasi terkait Maria yang mengaburkan pesan ini. Namun, sebagaimana kalangan lainnya, mereka juga mengakui rahmat dan panggilan akrabnya bahwa Maria adalah ‘Bunda Allah yang Berinkarnasi’ dan sosok penuh kekudusan, ketaatan, dan iman.

Yesus dan Maria dalam Pandangan Al-Qur’an dan Para Penganutnya     

Sehubungan dengan ini, untuk menjelaskan bagaimana Al-Qur’an menceritakan mengenai sosok Yesus dan Maria, Jon Armajani merujuk kepada QS. Maryam [19]: 16-36; QS. Ali Imran [3]: 47; QS. Al-Hadid [57]: 27; QS. Az-Zukhruf [43]: 59; dan QS. Yunus [10]: 9-10. Alasan mendasar pemilihan keempat ayat ini, oleh Jon Armajani, dianggap sangat relevan dan dekat objek yang sedang ia kaji.

Pada referensi yang pertama, QS. Maryam [19]: 16-36, fokus dari Jon Armajani telah sampai pada adanya perdebatan yang dimunculkan oleh kalangan teolog muslim klasik-pertengahan ihwal ‘apakah Maryam seorang nabi atau bukan’. Kalangan yang tidak sepakat dengan adanya istilah tersebut memiliki dua alasan mendasar.

Pertama, meskipun Maryam (dalam Kristen: Maria) memiliki banyak keistemewaan yang berbeda dengan wanita yang diceritakan Al-Qur’an sebagaimana dalam pandangan kalangan yang mendukung bahwa Maryam adalah nabi, namun ia pada dasarnya tidak memiliki karakter bawaan yang dapat menjadikannya sebagai nabi. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah argumen ini tidak lantas bermaksud merendahkan Maryam. Kedua, capaian yang dianggap penting adalah bukan terletak pada apa yang ia terima, namun lebih kepada fakta bahwa ia telah melahirkan Isa (dalam Kristen: Yesus).

Lebih lanjut, pada referensi yang kedua, QS. Ali Imran [3]: 47, dalam pandangan Jon Armajani telah memperlihatkan kisah-kisah Maryam yang mengajarkan kepada Muslim tentang Tuhan. Kode ini terlihat dalam narasi Maryam yang memuji Kekuatan Tuhan atas penciptaan alam semesta dan Isa/Yesus hanya dengan mengatakan ‘Jadilah!’. Sementara pada QS. Al-Hadid [57]: 27, ini menunjukkan secara tegas ihwal Isa yang diutus Tuhan agar menjadikan teladan bagi Bani Israel tentang cinta dan belas kasih.

Yesus dan Maria dalam Dialog Muslim-Kristen

Secara mendasar, studi yang dilakukan Jon Armajani telah menemukan poin-poin penting perdebatan dalam dialog ini, utamanya terkait keilahian Yesus, trinitas, penyaliban Yesus, dan narasi khusus yang dihadirkan baik Al-Qur’an maupun Al-Kitab. Namun demikian, terlepas dari perdebatan tersebut, kedua agama ini memiliki kesepakatan paham, yakni berkaitan dengan kepercayaan akan adanya Tuhan yang satu, percaya akan hadirnya sosok nabi, percaya bahwa sosok Isa dalam Islam dan Yesus dalam Kristen merupakan sosok penting, kekhususan Maryam dalam sejarah aktivitas Tuhan.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Dalam perbincangan yang lain, utamanya terkait hubungan Yohanes 14:27 dengan QS. Yunus [10]: 9-10 telah menceritakan secara jelas ihwal Yesus. Poin penting dalam kedua kitab suci ini terletak pada kesamaannya dalam menjelaskan Yesus dan pesan-pesan kedamaian. Jon Armajani tidak menjelaskan secara lebih lanjut ihwal dialog yang dihasilkan dalam bagian ini. Sebab, menurutnya, ini sangat berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan siginifkansi yang menyertai para kalangan yang melakukan dialog.

Jika yang melakukan dialog memiliki basis pengetahuan yang cukup dan tujuan yang jelas, dampak yang dihasilkan mengarah pada hasil yang positif, seperti perdamaian, pembangunan peradaban, mencegah kekerasan, adanya keterjaminan hak di antara penganut masing-masing agama, dan pembangunan peradaban. Begitu pun sebaliknya.

Muhammad Arman Al Jufri
Muhammad Arman Al Jufri
Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....