Baru-baru ini terdengar kabar melalui media sosial tentang seseorang yang melakukan poligami, sekaligus juga menjadi mentor dalam sebuah kelas bimbingan poligami. Sebagai seorang mentor, ia bertugas memperkenalkan dunia poligami dan tentunya mengajak agar orang lain dapat mempraktikkan poligami, sebagaimana yang telah ia lakukan. Ketika diwawancarai, ia mengucapkan pengakuan kontroversial, yakni ada istri yang ia ceraikan hanya karena telah memasuki masa menopause (Youtube: Narasi Newsroom, “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”).
Sontak banyak pihak yang mempertanyakan sikap praktisi dan mentor poligami tersebut. Apakah pantas ia menceraikan istrinya hanya karena sudah menopause? Apakah semudah itu menikahi banyak perempuan dan melepasnya begitu saja ketika sudah menopause? Benarkah pernikahan poligami hanya untuk keperluan seksual semata?
Poligami selalu menjadi isu yang ramai diperbincangkan sepanjang zaman. Baik di kalangan masyarakat secara umum, maupun di kalangan para ulama. Islam sendiri memang memperbolehkan adanya praktik poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan
Bagaimana hakikat sebenarnya poligami?
Sebagai salah satu jajaran feminis Islam, Riffat Hassan memiliki pandangan tersendiri tentang poligami. Pandangannya tentang poligami dapat kita lihat ketika ia menjelaskan QS. An-Nisa: 3 sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ – ٣
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. (QS. al-Nisa: 3).
Ayat di atas menurut Riffat Hassan turun ketika sedang terjadi maraknya peperangan yang mengakibatkan banyak laki-laki meninggal dunia karena gugur di medan perang. Oleh karena itu, banyak pula munculnya janda-janda dan anak-anak yatim. Maka bagi Riffat Hassan, ayat di atas sebenarnya bukan menekankan kepada anjuran berpoligami, tetapi lebih kepada masalah penyantunan anak yatim.
Adapun pernikahan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tentang menikahi ibu dari anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya yang ikut berperang. Sebagaimana pula pernah diungkapkan oleh Muhammad Shahrur, pemikir kontemporer dari Syiria. Ia mengatakan, “Poligami itu sesungguhnya berkaitan dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam itu menganut prinsip monogami”.
Meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah perihal keadilan dan kebajikan. Bahkan tujuan dari poligami yang diidealkan Islam sesungguhnya adalah untuk membantu anak-anak yatim dan janda. (Muhammad Shahrur, al-Qur’an wa al-Kitab: Qira’ah Mu’asirah).
Perihal poligami yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw, sesungguhnya dimaksudkan untuk menyantuni anak-anak yatim dan janda. Beliau sesungguhnya lebih menekankan atau mengajarkan kepada praktik monogami sebagaimana pernikahan pertama beliau dengan Sayyidah Siti Khadijah pada saat usia beliau 25 tahun. Sejak saat itu, beliau tidak menikah lagi hingga berusia 50 tahun.
Poligami Nabi saw juga bukan untuk menyalurkan nafsu seksual semata sebagaimana mungkin yang sebagian orang “salah memahaminya”. Karena jika hanya untuk menyalurkan hawa nafsu, tentu yang dinikahi adalah wanita-wanita yang masih muda, tetapi kenyataannya beliau tidak begitu. Sebagian besar istri yang Nabi nikahi adalah para janda yang sudah cukup berusia.
Adapun praktik salah seorang mentor poligami di atas yang “salah paham” sehingga mengakui bahwa ia menceraikan salah satu istrinya karena alasan menopause. Hal ini berarti bahwa perempuan hanya dianggap sebagai “alat reproduksi” dan “pemuasan nafsu” semata. Na’udzu billahi min dzalik. Padahal Islam sangat menghargai wanita dan tidak mungkin mengajarkan hal rendah seperti itu.
Terlihat miris jika praktik poligami disalahartikan dan perempuan sering menjadi korban. Jadi dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kandungan ayat al-Qur’an mengenai poligami adalah; pertama, sebagai salah satu cara agar anak yatim dipelihara dan disantuni, dan kedua, bahwa praktik poligami diperbolehkan dalam kondisi sulit atau darurat.
Melalui penjelasan singkat di atas, diharapkan agar praktik poligami ini dapat dipertimbangkan lebih matang dan bukan untuk “pelampiasan nafsu” semata. Wallahhu a’lam.
Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia