BerandaTafsir TematikSanggahan Al-Quran Terhadap Ketuhanan Nabi Isa as. dengan Qowadih al-Illat: Tafsir Surah...

Sanggahan Al-Quran Terhadap Ketuhanan Nabi Isa as. dengan Qowadih al-Illat: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 59

Kaum Yahudi salah di dalam memahami hakikat kedudukan Nabi Isa as. Mereka tidak menerima kerasulan Nabi Isa dan bahkan mengklaim Siti Maryam, ibunda Nabi Isa telah berbuat zina. Kesalahan mereka dipengaruhi oleh sifat materialistik dan kecenderungan mereka memahami segala sesuatu terjadi melalui proses sebab-akibat.  Akibatnya mereka buta bahwa Allah di samping menurunkan hal-hal yang rasional dan irasional, juga menurunkan hal yang suprarasional. Hal itu Allah tunjukkan dengan lahirnya Nabi Isa yang tanpa ayah yang menyalahi hukum alam. (Quraish Shihab, Tafsir Misbah, juz 2 hal 126)

Ironisnya, bukan hanya kaum Yahudi yang salah memahami hakikat kedudukan Nabi Isa, orang-orang yang mengaku pengikut Isa pun salah juga dalam memahaminya. Orang-orang dengan pemahaman demikian muncul setelah 200 tahun setelah pengikut setia Isa melaksanakan ajaran nabinya secara sembunyi-sembunyi karena takut kepada siksaan penguasa Bani Israil kala itu. Dan biang munculnya pemahaman keliru ini adalah akibat dari sikap yang terlalu  fanatik.

Bahwa Nabi Isa yang lahir tanpa ayah mereka pahami akan sebuah keajaiban dan sebuah keistimewaan. Anak yang lahir tanpa ayah berarti tuhanlah ayahnya. Rasa bangga dan pemujaan yang tinggi menyebabkan mereka meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan itu sendiri. Nabi Isa adalah transformasi dari kalam tuhan yang berwujud manusia.

Baca Juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Sebab Turun dan Penjelasan Ayat

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.

Ayat ini adalah salah satu dari ayat yang berisi sanggahan terhadap klaim pengikut Nabi Isa atau kaum Nasrani. Ayat di atas turun saat utusan kaum Nasrani Najran datang menemui dan berdialog  dengan Nabi Muhammad. Mereka berkata kepada Nabi, “Apa yang membuatmu mencela tuan kami?” Nabi Muhammad balik bertanya, “Apa yang telah aku katakan?” Mereka berkata, “Katamu tuan kami adalah seorang hamba.” Nabi menjawab, “Benar, dia seorang hamba, seorang rasul dan kalam Allah yang dititipkan dalam perut seorang gadis perawan yang belum menikah.” Mendengar jawaban Nabi, mereka menjadi marah, kemudian berkata, “Apakah kamu pernah melihat seorang manusia saja tanpa ada seorang ayah?” Kemudian turunlah ayat di atas sebagai jawaban dari pertanyaan ini.

Dalam mentafsirkan ayat di atas, Imam Muhammad al-Tahrir ibn Asyur berkata,

وَهَذَا شُرُوعٌ فِي إِبْطَالِ عَقِيدَةِ النَّصَارَى مِنْ تَأْلِيهِ عِيسَى، وَرَدِّ مَطَاعِنِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ وَهُوَ أَقْطَعُ دَلِيلٍ بِطَرِيقِ الْإِلْزَامِ لِأَنَّهُمْ قَالُوا بِإِلَهِيَّةِ عِيسَى مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ خُلِقَ بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَلَيْسَ لَهُ أَبٌ، فَقَالُوا: هُوَ ابْنُ اللَّهِ، فَأَرَاهُمُ اللَّهُ أَنَّ آدَمَ أَوْلَى بِأَنْ يُدَّعَى لَهُ ذَلِكَ، فَإِذَا لَمْ يكن آدم إلاها مَعَ أَنَّهُ خُلِقَ بِدُونِ أَبَوَيْنِ فَعِيسَى أَوْلَى بِالْمَخْلُوقِيَّةِ مِنْ آدَم

Ini merupakan permulaan di dalam membatalkan akidah kaum Nasrani yang berupa menuhankan Nabi Isa, dan menolak cercaan mereka kepada Islam. Ini adalah dalil yang paling akurat menggunakan jalan keniscayaan. Karena mereka memberi alasan tentang ketuhanan Nabi Isa bahwa karena ia diciptakan dengan kalimat Allah dan tanpa Ayah, dan berkata, ‘Isa anak Allah.’  kemudian Allah memperlihatkan bahwa sesungguhnya Adam lebih berhak diklaim demikian (bahwa dia adalah anak Allah). Dengan demikian apabila adam bukanlah tuhan padahal dicipta tanpa ayah dan ibu, maka Nabi Isa lebih berhak sebagai seorang manusia daripada Adam (sebab dia lahir tanpa ayah saja). (Muhammad al-Tahrir ibn Asyur, at-Tanwir wa Tahrir, juz 3 hal 263)

Sebagai tambahan, Syekh Wahbah Zuhaily berkata, bila memang boleh mengklaim Nabi Isa sebagai anak Tuhan karena diciptakan tanpa ayah maka seharusnya kebolehan itu memiliki nilai lebih pada Adam, sebab Adam diciptakan tanpa ayah sekaligus ibu. Sementara tidak ada seorangpun yang menyakini Adam merupakan anak Tuhan. Dengan demikian mengangggap Nabi Isa sebagai anak tuhan dengan alasan di atas tidaklah benar. (Wahbah Zuhaily, at-Tafsir al-Munir, juz 3 hal 246).

Baca Juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa

Menyanggah Dengan Qowadih al-Illat

Yang menjadi Unik menurut penulis, sanggahan pada ayat ini juga menggunakan apa yang namanya Qowadih, di dalam Ushul Fikih.

Qowadih itu sendiri adalah sesuatu yang dapat membuat illat (alasan atau yang menjadi pijakan hukum) menjadi cacat. Qowadih termasuk dalam rangkaian pembahasan tentang qiyas (analogi) di dalam ushul fikih. Sebab Qowadih inilah yang digunakan untuk menguji keabsahan analogi, dan tentu saja juga digunakan untuk menolak analogi lawan di dalam perdebatan. Analogi menjadi absah apabila illat yang diajukan seorang mujtahid juga absah. Illat hukum menjadi absah bila tidak memiliki cacat. Cacat itulah yang dinamakan Qowadihal-illat, bila hal ini terjadi proses analogi tidak akan dapat dilakukan.

Salah satu macam dari Qowadih adalah takhalluf al-hukmi, yaitu cacat yang terdapat pada sifat dasar illat sebagai sesuatu yang keberadaanya meniscayakan keberadaan yang lain, dalam hal ini adalah hukum. Maksudnya, bila ada illat mestinya hukum juga harus ada, dimanapun itu. Inilah yang dinamakan dengan muthoridl (berlaku secara umum). Kebalikan dari muthoridl adalah mun’akis, yakni manakala illat tidak ada maka hukum pasti tidak ada.

Nah, apabila di dalam proses analogi illat tidak berlaku umum (muthoridl) maka bisa dipastikan terdapat cacat dalam illat tersebut. Misalnya, gandum merupakan barang ribawi (barang yang terdapat unsur riba di dalamnya), transaksi gandum yang tidak sama takarannya di antara dua orang yang bertransaksi hukumnya riba, tentu haram. Alasan haram atau illatnya adalah karena ia, adalah makanan. Sementara garam juga makanan meskipun bukan barang riba, sehingga tidak haram. Dengan demikian illat makanan pada contoh ini tidaklah berlaku secara umum, dengan bukti: meskipun garam adalah makanan tetapi tidak ada hukum haram riba padanya. Inilah yang dinamakan dengan takhalluf al-hukmi.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Alasan kaum Nasrani terhadap pernyataan ketuhanan Nabi Isa juga tidak berlaku secara umum. Bila alasan ketuhanan Nabi Isa adalah karena Nabi isa lahir tanpa ayah, lalu mengapa Nabi Adam yang justru bukan hanya tanpa ayah tapi juga sekaligus tanpa ibu bukanlah anak Tuhan? Seharusnya, bila illat itu benar, maka Nabi Adam juga seorang Tuhan, akan tetapi mereka tidak pernah menyakini hal tersebut, itu berarti illat atau alasan kaum Nasrani telah cacat, dan kasus seperti ini masuk dalam Qawadih dengan jenis Takhalluf al-Hukmi. Apapun alasan tentang ketuhanan Nabi Isa tidak diterima oleh kita sebagai umat muslim, bahkan pernyataan ketuhanan Nabi Isa pun tidak akan pernah diterima. Sebab, Isa adalah seorang Rasul, bukan Tuhan. Wallah a’lam.

Ali Ahmad Syaifuddin
Ali Ahmad Syaifuddin
Mahasiswa di Mahad Aly Situbondo; gemar dengan fikih dan ushul fikih. Bisa disapa di aasyaifud@gmail.com
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....