Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami

Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh-Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami
Ilustrasi cincin pernikahan

Di tengah kehidupan yang serba berbasis teknologi seperti saat ini, di mana informasi dapat diakses dan menyebar dengan sangat mudahnya, kita dapat mengakses suatu berita secara bersama-sama dengan jumlah yang banyak melalui berbagai platform media sosial. Antusias masyarakat yang begitu tinggi terhadap suatu permasalahan menyebabkan berita tersebut naik ke permukaan atau yang biasa kita sebut dengan istilah viral, sehingga tak heran apabila hal itu mendapat sorotan dari berbagai pihak.

Baru-baru ini masyarakat dibuat heran oleh pengalaman seseorang yang tidak biasa. Dilansir dari channel Youtube Narasi Newsroom, di mana Tim Buka Mata Narasi mendatangi pria yang mengaku dirinya sebagai seorang mentor poligami. Mengampanyekan poligami mungkin masih dilihat tabu oleh masyarakat Indonesia, namun tidak bagi sebagian kecil orang.

Pria pegiat poligami yang biasa dipanggil dengan sebutan Kiai Hafidzin tersebut mengadakan sebuah seminar berbayar seputar bimbingan kehidupan berpoligami yang pesertanya kebanyakan adalah perempuan yang ingin belajar bagaimana menciptakan keluarga bahagia bersama suami yang berpoligami. Kiai Hafidzin dalam sebuah kesempatan berulang kali memberikan nasihat kepada peserta seminar agar menaati suami, taat secara mutlak tanpa kompromi.

Fenomena poligami Kiai Hafidzin yang kontroversial ini menjadi sorotan  dari berbagai kalangan. Banyak orang yang merasa tidak setuju atas beberapa ucapan yang dilontarkan, seperti alasan menceraikan istri pertamanya dikarenakan menopause, tidak mempertimbangkan izin seorang istri, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dan menormalisasi alasan poligami karena libido yang tinggi. Sehingga menimbulkan isu ketimpangan gender bahwa poligami yang tidak sesuai syariat berpotensi merugikan perempuan.

Baca juga: Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya

Pandangan ulama terkait ayat dan hadis poligami

Telah kita ketahui bersama, poligami merupakan suatu fenomena sosial yang sering diperdebatkan eksistensinya. Yang mana pembahasan poligami termasuk pembahasan sensitif, kontroversial, serta memiliki banyak tafsiran. Pada dasarnya hukum poligami menurut jumhur ulama adalah mubah/boleh. Namun kemudian asal hukum dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada. Seperti ayat Al-Qur’an Q.S. an-Nisa’ [4]: 3 mengenai kebolehan poligami dengan disyaratkan adanya keadilan.

إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. an-Nisa’ [4]: 3).

Ditinjau melalui asbab an-nuzul, ulama klasik menafsirkan kecenderungan kebolehan berpoligami apabila laki-laki tersebut tidak bisa merawat anak yatim, maka ia dipersilakan menikahi perempuan-perempuan yang disenangi. Namun yang terjadi pada era kontemporer, tafsiran mengalami pergeseran kontruksi berpikir sehingga konsep monogami lebih diunggulkan daripada poligami.

Menurut M.Quraish Shihab, jika ayat tersebut tatap akan dipahami sebagai ayat poligami itu adalah pintu kecil untuk dilakukan. Shihab menjelaskan adil dalam konteks poligami sangat tidak bisa dilakukan dan menimbulkan dampak kekerasan terhadap perempuan. Kesimpulan Shihab mengantarkan bahwa, poligami bukan sebagai salah satu upaya yang dipahami selama ini melainkan pintu kecil untuk melakukan poligami sehingga monogamy sebagai salah satu cara alternatif untuk menegakkan keadilan terhadap masyarakat dan umat (Tafsir Al-Misbah, Vol. 2).

Yang kedua adalah hadis riwayat Ibnu Majah yang masih terdapat kaitannya dengan ayat di atas.:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى ، عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ : أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ : ” اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا

Artinya: “Dari Qais ibn al-Harits ra, ia berkata: Saya masuk Islam, sedang saya telah memiliki istri delapan. Lantas saya menghadap Nabi Muhammad saw (menanyakan ihwal masalah ini) dan beliau bersabda: “Pilihlah dari mereka empat,” (HR. Ibnu Majah, no. 1952).

Hadis di atas apabila ditinjau dari aspek sosial historis maka akan memberikan makna bahwa tradisi orang jahiliyah pada masa itu adalah menikahi perempuan yang banyak jumlahnya tanpa batasan. Kemudian syariat Islam datang untuk membatasi jumlah perempuan yang dinikahi. Konteksnya adalah membatasi, bukan menambah. Inilah yang terkadang menjadikan kurang tepatnya pemaknaan terhadap hadis poligami.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Lebih utama monogami ketimbang poligami

Pendapat Imam Syafii dinukil dari kitab Al-Bayan, beliau berkata; “Aku lebih menganjurkan seseorang untuk menikahi satu wanita saja meskipun boleh baginya menikah lebih daripada satu, karena firman Allah ta’ala “jika kalian takut tidak adil, maka nikahi satu wanita saja.”

Pendapat tersebut ditanyakan kembali oleh Ibnu Dawud, “Mengapa begini wahai Imam Syafi’i? padahal Rasulullah memiliki banyak istri, sedangkan beliau tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali yang terbaik.” Kemudian dijawab oleh Imam Syafi’I, “Selain Nabi, yang utama baginya adalah menikahi satu wanita saja, karena dikhawatirkan ia tidak dapat berlaku adil. Sedangkan Rasulullah sudah pasti dijamin bisa berbuat adil”.

Kemudian dinukil pula riwayat dari Syeikh Khatib asy-Syirbini, beliau mengatakan “Disunnahkan bagi seseorang untuk tidak menambah lebih dari pada satu istri tanpa ada kebutuhan yang sangat mendesak.” Tentunya mendesak di sini bukan didasari oleh nafsunya, kriteria mendesak membutuhkan syarat yang lebih rinci.

Berikutnya pendapat dari Imam al-Bardawi al-Hanabilah, “Disunnahkan juga tidak menikah lebih dari satu jika dengannya sudah bisa menjaga diri dari keharaman”. Dari beberapa qaul ulama di atas menunjukan bahwa poligami tidak bisa sembarang dilakukan, apalagi dengan dalih kesunnahan.

Fenomena poligami dianggap sebagai bentuk ketidakadilan gender. Salah satu penyebab pandangan tidak adil gender adalah budaya patriarki (Seksisme Perempuan dalam Budaya Pop Media Indonesia, 215). Ini ditandai dengan adanya dominasi laki-laki atas perempuan, di mana perempuan seolah tidak memiliki hak preogatif atas dirinya.

Selain itu, ditinjau melalui aspek sosial, poligami sebagai isu ketidakadilan gender memiliki dampak yang merugikan perempuan. Secara politik, perkawinan kedua dan seterusnya tidak dicatatkan pada KUA, sehingga perkawinan tidak diakui oleh negara.

Kekerasan baik fisik, ekonomi maupun psikologis tak jarang didapatkan oleh perempuan sehingga dapat mengganggu aktivitas dan kondisi kejiwaannya. Secara kesehatan, berganti-ganti pasangan rentan terhadap penularan penyakit kelamin.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan  di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil: pertama, dari ayat Al-Qur’an, hadis dan qaul para ulama memberikan kesimpulan bahwa asas perkawinan dalam Islam sebenarnya berasas monogami (menikah dengan seorang saja). Hal ini semua bertujuan supaya tidak terjadi kezaliman.

Poligami diperbolehkan dengan syarat dilakukan pada keadaan terdesak dan tidak ada jalan lain untuk mengatasi perkara tersebut. Poligami juga memiliki dampak yang merugikan perempuan mulai dari aspek politik, sosial, kesehatan, dan kejiwaan.

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia