Ketika berbicara mengenai tradisi, maka pembahasan tidak terlepas dari bagaimana awal mula kemunculan sebuah tradisi, dan bagaimana perkembangan serta dinamikanya. Masyhur diketahui bahwa seseorang yang membawa dan memulai tradisi hafalan Alquran di Indonesia yang tersistematisasi dalam sebuah lembaga pendidikan adalah KH. M. Munawwir Krapyak.
Dalam buku Para Penjaga Al-Quran: Biografi para Penghafal Al-Quran di Nusantara disebutkan bahwa meskipun beliau bukan seseorang yang pertama kali mendirikan pondok pesantren tahfiz Alquran di Indonesia, namun rupa-rupanya metode tahfiz yang ditradisikan Kiai Munawwir dalam pesantren yang didirikannya, dijadikan rujukan oleh hampir seluruh pondok pesantren tahfiz Alquran yang muncul belakangan (Sohib dan Surur, 2011). Kemasyhuran tradisi tahfiz Alquran dalam pondok pesantren semakin menguat seiring dengan didirikannya pondok pesantren tahfiz Alquran oleh murid-murid Kyai Munawwir.
Seiring dengan berjalannya masa dan kurun waktu, tradisi tahfiz Alquran di Indonesia yang dulunya berawal atau muncul dari pesantren, berkembang dan bertransformasi menjadi tradisi hafalan Alquran dalam rumah tahfiz hingga tahfiz virtual. Perbedaan yang cukup mendasar antara tradisi tahfiz di pesantren dengan tradisi tahfiz di rumah tahfiz adalah peran dan hubungan antara guru dan murid.
Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme
Menurut Martin van Bruinessen, peran Kiai di pesantren tidak hanya sebatas guru dari murid-murid yang diajarinya (Martin Van Bruinessen, 1994). Namun juga penjalan kebijakan, membina, mendidik, mengayomi, mengasuh, memberikan tauladan, hingga menjadi kepercayaan bagi para santri, bahkan kalangan masyarakat setempat. Peran kiai di pesantren tahfiz tampak sentral dan kompleks, mungkin ini yang menjadikan santri begitu memuliakan kiai sebagai sosok murabbi yang tidak hanya mendampingi yang sifatnya akademis, namun juga perihal adab-spiritual.
Berbeda dengan tradisi tahfiz di rumah tahfiz yang peran guru atau ustaz sebatas menjadi membimbing hafalan Alquran (Khaeriyah, 2019). Bukan sebagai pemangku kebijakan, sekaligus mendidik dan mengayomi santri tahfiz sebagaimana yang diperankan oleh Kiai di pesantren tahfiz yang diasuhnya. Sebagaimana yang sudah disebutkan, bahwa tradisi tahfiz Alquran berkembang hingga tahfiz virtual. Tahfiz virtual (tahfiz online) merupakan salah satu program unggulan Yayasan Indonesia Berkah, yang pelaksanaannya tidak dengan tatap muka secara langsung antara guru dan murid, tetapi melalui perantara media sosial (whatsapp) (Wajdi, dkk., 2020). Transformasi tradisi tahfiz tradisonal menjadi tahfiz virtual ini tentunya mengubah sistem tahfiz tradisional yang mengharuskan bertemunya guru dan murid, tetapi justru tahfiz virtual tidak melakukan hal demikian.
Adapun dilihat dari segi etnografi, menurut Ali Romdhoni, tradisi tahfiz Alquran dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam. Pertama, tradisi tahfiz Alquran yang orientasinya murni untuk ibadah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah menghafal Alquran sebagai tujuan (ibadah), bukan sebagai wasilah untuk mencapai sesuatu yang lain. Kedua, tahfiz Alquran untuk kajian keislaman. Ali menjelaskan bahwa penghafal Alquran yang masuk dalam klasifikasi ini menjadikan hafalannya sebagai proses untuk memperoleh pemahaman wahyu ilahi dengan nalar kritis, mengkaji dengan perangkat-perangkat metodologi untuk memahami ayat-ayat dalam Alquran.
Baca Juga: Sejarah dan Dinamika Tradisi Kelisanan Al-Qur’an dari Masa ke Masa
Ketiga, tahfiz Alquran untuk memelihara kemurnian Alquran (Romdhoni, 2015). Jika hanya melihat pada tiga klasifikasi yang telah dipaparkan, tentu ada beberapa yang terlewat. Misalnya adalah tradisi tahfiz di Indonesia yang dijadikan sebagai syiar agama Islam, selain itu juga dijadikan sebagai kompetisi dalam sebuah kejuaraan.
Tradisi tahfiz dijadikan sebagai syiar agama Islam dapat ditemukan di majlis-majlis sima’an Alquran, baik yang skalanya lokal, hingga nasional. Tidak hanya sekedar kegiatan syiar Islam, bahkan majlis tersebut hingga dilembagakan seperti Jantiko Mantab, Jami’iyatul Qurra’ wal Huffad, dan lain-lain. Biasanya pelaksanaan sima’an Alquran dibacakan oleh para hafiz secara bergantian, disimak hingga khatam oleh para mustami’in, dan dilanjutkan dengan doa khotmil qur’an.
Adapun tradisi tahfiz dijadikan sebagai kompetisi, dapat ditemukan dalam perlombaan MHQ (Musabaqah Hifdzil Qur’an). Di tingkat Indonesia sendiri, MHQ merupakan salah satu cabang dari Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) sebagaimana yang diputuskan oleh Departemen Agama RI dengan memasukkan MHQ pada cabang MTQ tingkat nasional kira-kira tahun 1980 awal. Tidak hanya tahfiz 30 juz yang dikompetisikan, di antara cabang lain yang diperlombakan adalah tahfiz 1 juz, 5 juz, 10 juz, dan 20 juz.