Mengenal ‘Intended Text’ dalam Alquran

Intended text dalam Alquran
Intended text dalam Alquran

Intended text yang bisa juga diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan ‘teks yang dimaksudkan’ (terjemah oleh redaksi) merupakan salah satu macam teks yang digagas oleh Jorge J.E Gracia, profesor dalam bidang filsafat di Department of Philosophy, University at Buffalo, New York.

Berdasar pada penjelasan Gracia (Theory of Textuality, hal. 76, 80-81), jenis teks ini secara sederhana dapat dipahami sebagai teks yang seharusnya dihasilkan oleh seorang pengarang, tapi sayangnya tidak terjadi karena tidak sesuai dengan gagasan dan ide awal sang pengarang. Hal ini biasanya disadari ketika ada orang lain yang mempertanyakan akurasi teks tersebut. Kejadian yang seperti ini menurut Gracia bisa saja dialami oleh pengarang teks, saat pengarang dapat teralihkan dan menghasilkan teks yang berbeda dengan rencana awalnya.

Baca juga: Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran

Sebenarnya, kita sering menemukan dan mempraktikkan intended text (teks yang dimaksudkan) dalam keseharian kita. Contoh, ada orang yang ingin menitip beli makanan ke seorang teman, tapi, dia tidak langsung mengatakan maksudnya tersebut. Dia malah bertanya ke temannya, ‘apakah kamu sudah makan?’ padahal maksud orang yang bertanya adalah kalau teman tersebut belum makan, maka dia titip makanan.

Dengan kata lain, intended text adalah teks yang ‘sebenarnya’ ingin disampaikan, tetapi karena beberapa sebab, maka teks yang muncul dan terlihat justru tidak seperti yang ada dalam pikiran dan maksud pengarang.

Mungkinkah ada intended text dalam teks Alquran?

Penerimaan wahyu Allah (Alquran) oleh seorang manusia yaitu Muhammad, sehingga berwujud sebagai teks yang berbahasa seperti sekarang itu, tidak ada yang dapat mengetahui dengan valid bagaimana prosesnya. Kalaupun ada yang tahu, maka itu adalah Muhammad sendiri. Menjelaskan proses tersebut kepada orang banyak menurut A’zami dalam The History of The Qur’anic Text from Revelation To Compilation, hal. 48, sama halnya dengan menjelaskan warna kepada orang yang buta atau menjelaskan suara nyanyian burung pada mereka yang budeg. Ini berarti proses tersebut memang jauh dari jangkauan nalar manusia pada umumnya.

Namun demikian, ada ulama yang berijtihad untuk menjelaskan lebih rinci proses pewahyuan tersebut, khususnya mengenai proses perubahan dari bahasa Allah yang tidak diketahui bentuknya menjadi bahasa manusia (dalam hal ini adalah Bahasa Arab). Ada yang mengatakan bahwa teks Alquran dalam bentuk bahasa Arab itu merupakan bahasa asli yang dibawa oleh malaikat Jibril. Ada pula yang mengatakan bahwa lafaz Alquran merupakan terjemahan Nabi Muhammad berdasarkan makna yang dibawa oleh malaikat Jibril. (al-Zarkasyi (w. 794 H), al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 230)

Baca  juga: Relevansi Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Terlepas dari banyaknya pendapat tersebut, ada satu hal yang sudah pasti terjadi dalam proses pewahyuan Alquran, yaitu adanya perubahan medium atau instrumen, dari medium ilahi (bersifat ketuhanan), yang sifatnya sempurna ke medium atau instrumen manusia dalam bentuk Bahasa Arab, yang dibatasi oleh banyak aturan bahasa. Dengan begitu, sangat dimungkinkan bahwa teks Alquran yang berbahasa Arab ini masih jauh dari kriteria sempurna untuk bisa meng-cover bahasa Tuhan dan secara bersamaan juga maksud Allah.

Jika benar demikian, maka sangat dimungkinkan dalam teks Alquran yang tertulis sekarang ada semacam intended text, yaitu maksud pengarang yang tidak tersampaikan karena teks Alquran dibatasi oleh Bahasa Arab yang membungkusnya. Kemungkinan ini yang kemudian membuat para pembaca Alquran beramai-ramai mencoba untuk mengungkap intended text tersebut yang kemudian menghasilkan sebuah ideal text (istilah dari Gracia) atau penafsiran.

Contoh singkat kemungkinan adanya intended text dalam Alquran

Sebagai contoh yaitu surah Almaidah ayat 93,

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. 

Berdasarkan teks yang tertulis, dapat dipahami bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh boleh makan makanan apapun, tanpa terkecuali. ‘Apakah benar demikian, mengingat ada ayat lain yang menyatakan tentang pengharaman khamr? Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pengarang dengan ayat ini?’ pertanyaan-pertanyaan inilah yang menyadarkan bahwa ada intended text di balik ayat tersebut.

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth Terhadap Sarjana Barat dan Muslim dalam Bidang Studi Al-Qur’an

Dalam rangka mencari intended text, maka kemudian al-Thabari dalam Tafsir al-Tabari mengatakan bahwa ayat ini merupakan jawaban atau respons dari kegelisahan orang-orang –pada masa itu- karena adanya ayat yang mengharamkan khamr, padahal mereka dulunya sering meminum khamr. Menurut al-Thabari, status tidak berdosa itu masih berlaku jika setelah mengetahui pengharaman khamr, mereka tetap bertakwa dan beramal saleh dengan tidak mengonsumsi khamr lagi.

Ayat ini hanya satu contoh dari kemungkinan adanya intended text dalam teks Alquran. Bagaimana dengan ayat-ayat lain? Bisa kita kaji dan renungkan selanjutnya. Wallah a’lam.