Toleransi atarumat beragama adalah cara yang tak pernah luput disuarakan untuk meredam kesenjangan di tengah masyarakat dengan latar belakang agama berbeda. Barangkali, itu memang cara satu-satunya. Terdapat satu ungkapan dari Mahatma Ghandi yang mendukung asumsi tersebut,”Toleransi merupakan satu-satunya jalan yang memungkinkan manusia hidup secara berdampingan dengan baik di tengah agama yang beragam”. Dalam Islam, toleransi juga menjadi ketentuan untuk berinteraksi. Islam selalu mengedepankan toleransi antarumat beragama, seperti penjelasan di berbagai nas Alquran dan hadis. Akan tetapi, ada yang lebih serius daripada toleransi terhadap non-Muslim, yaitu toleransi antarsesama Muslim.
Kasus intoleransi antarsesama Muslim sangat memprihatinkan di Indonesia. Tingkat prosentasenya lebih tinggi daripada intoleransi terhadap non-Muslim. Menurut survei PPIM tahun 2018 silam terhadap siswa dan mahasiswa Muslim, tercatat 51,1% dari mereka memiliki opini intoleran dan 34,1% sikap intoleran kepada sesama Muslim, sedangkan terhadap non-Muslim sebanyak 34,3% memiliki opini intoleran dan 17, 3% sikap intoleran. Kasus ini tampak terus naik mengingat peningkatan intoleransi pada tahun 2020 sebanyak 8%. Hal ini memancing pertanyaan mendasar tentang bagaimana Islam mengajarkan toleransi terhadap sesama Muslim.
Meneladani respons Nabi dan sahabat
Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama kita dapat menjajaki silang pendapat di masa Nabi dan respons Nabi terhadapnya. Antara lain, saat Nabi memerintahkan sekelompok sahabat untuk bertandang ke Bani Quraidah dan menunaikan Salat Asar di sana. Namun tak disangka, waktu Asar akan habis di tengah perjalanan. Menyikapi kondisi tersebut, sahabat tidak menemukan satu kata mufakat. Sebagian dari mereka kekeh dengan instruksi Nabi, sebagian yang lain salat di perjalanan. (Sahih Muslim, Jilid 3, 1391)
Dua pendapat itu pada akhirnya diakui oleh Nabi. Jika ditelaah, pendapat pertama terkesan tekstual, karena disimpulkan berdasarkan makna lahiriah dari instruksi Nabi yang menyuruh untuk menunaikan Salat Asar di Bani Quraidah saja. Sementara pendapat kedua, cenderung kontekstual, karena disimpulkan dari pemahaman maksud perkataan Nabi berupa perintah bergegas untuk menuju Bani Quraidah, bukan untuk menunda salat hingga waktu habis. Nabi tidak mempersoalkan dua perspektif tersebut, dan sikap Nabi itu sekaligus menunjukkan bahwa Islam yang diajarkan Nabi sangat respek terhadap perbedaan antarsesama Muslim.
Baca juga: Pengeras Suara Masjid, Syiar Islam, dan Toleransi Beragama
Tentu masih banyak contoh toleransi sesama Muslim yang diajarkan Nabi dan sahabat, seperti persaudaraan Muhajirin-Ansar, yang memiliki latar suku dan budaya berbeda serta persahabat Abu Bakar R.A. dan Umar R.A., yang walaupun memiliki perspektif kontras (antara lain, saat terjadi silang pendapat soal kodifikasi Alquran), tetapi tetap bersikap hangat satu sama lain. (Sahih al-Bukhari, 1274, 1275)
Dari contoh tersebut, kita dapat memahami bahwa Islam yang diajarkan Nabi sangat mengapresiasi dan menghormati perbedaan, sehingga tidak seharusnya perbedaan berkorelasi dengan respons negatif. Perbedaan tidak bisa dijadikan pembenaran untuk bertindak intoleran. Tidak bisa kita memaksa atau bahkan menghakimi orang yang memiliki latar belakang dan opini berbeda, karena perbedaan merupakan keniscayaan, naluri bagi setiap makhluk hidup.
Toleransi juga untuk yang berbeda mazhab
Selain laku Nabi dan para sahabat, konsep toleransi antarsesama Muslim juga terwujud dengan penghormatan terhadap perbedaan mazhab. Ini poin yang serius, karena masih banyak umat Muslim Indonesia yang menunjukkan sentimen negatif atau bahkan tindakan opresif terhadap yang tidak sealiran.
Tuntunan toleransi antarmazhab atau aliran sebenarnya telah diisyaratkan dalam Alquran, bahwa Allah mengutus Nabi sebagai rahmat untuk semesta alam (Alanbiya [21]: 107). Salah satu rahmat itu termanifestasi dalam bentuk pluralitas mazhab dan aliran. Nabi bersabda:
إختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan dalam umatku merupakan suatu rahmat.” (al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 167)
Meski banyak ulama yang menyimpulkan hadis ini tidak sahih karena mata rantai sanad ambigu, secara subtansial, makna hadis bisa dibilang valid. Kenyataannya, sejak lahir umat Islam berhadapan dengan pluralitas. Dan itu terus terjadi sampai sekarang. Pluralitas umat Islam antara lain terejawantah dalam kemajemukan suku, tradisi, dan mazhab. Lewat hadis ini, sesungguhnya Nabi hendak menyampaikan bahwa kemajemukan hendaknya disikapi dengan penghormatan, sehingga dapat menjadikan perbedaan sebagai rahmat.
Baca juga: Benarkah Umat Islam Harus Bersikap Tegas Kepada Non-Muslim?
Mengutip Abu Said al-Khadimi, Diksi umat dalam hadis ini oleh ulama dimaknai dengan para mujtahid. Sementara ikhtilaf diarahkan pada perbedaan pendapat dalam persoalan syariat, bukan akidah. Sehingga, perbedaan umat bermakna variasi pendapat para mujtahid dalam persoalan yang berhubungan dengan hukum. Dengan Nabi menyatakan bahwa variasi pandangan mujtahid sebagai rahmat, tentu meniscayakan perintah untuk menghormati pandangan mujtahid seluruhnya selama tidak mencedarai akidah Islam. (Bariqah Mahmudiyah, Jilid 1, 78)
Pendapat tersebut juga dapat dipahami dengan tuntutan toleransi terhadap sesama Muslim berlaku selama ucapan atau tindakan mereka tidak menunjukkan penistaan terhadap Islam. Sehingga, selama sikap Muslim yang berhubungan dengan hukum, etika, maupun akidah tidak menistakan Islam atau agama pada umumnya, maka harus tetap dihormati. Sebagaimana pendapat al-Thabari saat menafsirkan Q.S. Alhajj [22]: 78:
وماجعل عليكم في الدين من حرج
“Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”
Ayat ini menurut al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan, menunjukkan bahwa agama Islam selalu memberi solusi bagi hambanya dalam segala kesalahan dan cobaan, selama hamba tersebut iman. Taubat, kafarat, qisas, rukhsah, dan takzir sebagai beberapa contohnya. Dengan kata lain, sebanyak apapun dosa mukmin, Allah menjamin solusinya. Jadi, kita sama sekali tidak boleh mengkafirkan orang dan bertindak diskriminatif terhadapnya hanya karena mereka dianggap zalim, tidak semazhab, dan lain sebagainya. Allah saja tidak melabeli mukmin yang maksiat sebagai kafir. Justru Dia menyediakan berbagai alternatif. Kita yang hanya hamba mana berhak melabeli demikian, lebih-lebih hanya karena beda mazhab.
Menyadari kebebasan berkeyakinan
Jika berada di lingkungan Muslim dengan berbagai latar belakang mazhab, sikap toleran dapat dilatih dengan kesadaran terhadap prinsip kebebasan. Salah satu pilar dari Hak Asasi Manusia (HAM) ini memang telah diadopsi oleh ulama muasir. Kebebasan kemudian diformulasikan ke dalam beragam bentuk, antara lain kebebasan berkeyakinan (al-Hurriyyah fi al-I’tiqad), sebagaimana yang diinisiasi al-Raysuni dan Ibn al-Athiyyah. Ada pula ebebasan berpikir, berpendapat, dan berbuat, yang dirumuskan oleh Ibn ‘Asyur. (Jasser Auda, Membumikan Maqashid al Sharia, 59, Ibn ‘Asyur, Usul al-Nizam Ijtima’i, 173-175)
Dalam kaitannya dengan toleransi antarsesama Muslim, langkah yang mesti diambil ialah bahwa kebebasan memilih keyakinan adalah hak setiap Muslim selama tidak melanggar ajaran-ajaran prinsipil dalam Islam, seperti mengesakan Allah, kewajiban salat, toleransi, keadilan, dan lain-lain. Ibnu ‘Asyur juga memperjelas dengan membebaskan setiap Muslim untuk memilih menjadi Sunni atau Salafi, Maturudi atau Asy’ari, Muktazili atau Syi’i. Terserah, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (1)
Dengan demikian, Toleransi yang merupakan salah satu prinsip dasar Islam, tidak hanya penting dilestarikan dalam relasi Muslim dengan non-Muslim, melainkan dengan sesama Muslim juga. Terlebih, saat golongan Muslim mayoritas terus mendapat mementum untuk menghegemoni aliran Muslim minoritas. Pada kondisi tersebut dan seperti sekarang ini, toleransi terhadap sesama Muslim sudah semestinya diupayakan secara seimbang dengan toleransi terhadap non-Muslim, agar persaudaraan seiman seperti yang diajarkan Nabi tetap terjaga. Tidak peduli apakah kelompok mayoritas ataukah minoritas, selama masih sesama muslim, kita harusnya saling bergandengan tangan, bukan sikut-sikutan. Wallahu a’lam[]