Islam melalui Alquran dan Hadis telah mengatur tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya. Walimatul urs atau sebutan lain dari selametan nikahan ini biasanya marak di bulan-bulan tertentu, seperti bulan Dzul Hijjah (bulan terakhir dalam kalender hijriyah), bulan yang baru saja kita tinggalkan. Hal ini sudah menjadi tradisi mayoritas masyarakat Indonesia di bulan tersebut. Bagaimana penjelasan tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya sesuai tuntunan Alquran dan hadis?
Islam telah menganjurkan walimatul urs atau yang kita kenal dengan resepsi pernikahan. Ini juga merupakan tradisi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Seperti saat ada salah satu sahabat yang bernama Abdurrahman bin Auf yang baru saja menikahi perempuan dengan mahar emas. Nabi saw. bersabda:
(فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه مسلم
“Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing.” (HR. Muslim)
Nabi sendiri juga menyelenggarakan walimah atas pernikahannya dengan istri-istrinya, baik dengan menyembelih seekor kambing atau hanya dengan menghidangkan makanan sederhana, seperti seperti kurma, keju, samin, bubur sawiq (tepung) dan dua mud gandum sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak riwayat. Adanya walimah ini diniati oleh tuan rumah sebagai amalan mengikuti sunnah Nabi dan juga bersedekah, berbagi kebahagiaan dengan memberi makan orang lain.
(Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 34: Peran Suami-Istri dari Pemutlakan Menuju Fleksibilitas Kewajiban, Poligami Bukan Sunnah Nabi Apalagi Syariat Islam, Begini Penjelasan Mufassir Indonesia, Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri)
Selain hadis, Alquran juga tidak lupa untuk menjelaskan hal lain yang berkaitan dengan walimah, misal perihal tamu undangan. Bagaimana etika seorang tamu menghadiri resepsi pernikahan tersebut, apa saja yang harus diperhatikan?
Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab [33] ayat 53, Allah berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ ۖوَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)
Dijelaskan dalam Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam, bahwa ayat ini menjelaskan tatakrama dalam menghadiri walimah. Pertama, tidak diperbolehkan datang tanpa adanya undangan. Hal ini karena Islam sangat menjaga privasi seseorang, sehingga tidak dibenarkan jika ada yang memasuki rumah tanpa izin dan memakan makananya tanpa kerelaan sang pemilik.
Bahkan, Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menghukumi haram makan makanan yang ada di suatu acara di mana seseorang itu tidak diundang. Oleh karena itu, kalaupun orang tersebut datang karena sudah diundang, maka hendaknya tidak membawa serta orang lain yang tidak mendapat undangan. Rasulullah pernah diundang oleh salah seorang sahabat, kemudian ada orang lain yang ikut serta. Saat sampai di lokasi, beliau bersabda:
(اِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ، وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبَعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ، وَاِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ (رواه البخاري
“Engkau (Abu Syu’aib) telah mengundang kami berlima, sedangkan laki-laki ini mengikuti kami. Jika engkau mau, engkau bisa menizinkannya, dan jika engkau mau, engkau boleh melarangnya.” (HR. Al-Bukhari)
Kedua, keharusan menghadiri undangan, hal ini selama tidak ada udzur syar’i yang menghalanginya. Nabi bersabda:
(اِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ اِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخاري
“Apabila salah seorang dari kalian diundang acara walimah, hendaknya dia menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari) Dalam riwayat Muslim ada tambahan, ‘sama saja, walimatul urs atau yang lainnya’
Lalu ditegaskan lagi oleh hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
(وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رواه البخاري
“Barang siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah bermaksiat pada Allah dan rasul-Nya.”
Hadis ini menjadi dalil wajibnya memenuhi undangan, dan sebaliknya orang yang dengan sengaja tidak memenuhi undangan maka dihitung maksiat, ini karena ia dengan sadar, dalam kondisi normal telah meninggalkan kewajibannya, termasuk memenuhi undangan nikah. Ini juga dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.
Ketiga, bergegas pulang selepas menikmati hidangan. Sebenarnya, berdiam diri setelah menikmati hidangan yang disajikan tidak dilarang, asalkan tidak berlama-lama karena keasyikan berbicara. Sebab, hal ini dianggap memberatkan shahibul bait (tuan rumah), terlebih jika tempat acaranya kecil dengan banyak tamu yang datang silih berganti. Jika hanya duduk sejenak sekadar menyapa yang lain, maka yang demikian tidak dianggap memberatkan.
Demikian Alquran dan hadis berbicara tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya. Bagi yang telah melaksanakan walimatul urs, kami sematkan doa barakallah lakuma wabaraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khayr. Sedang bagi yang belum, semoga senantiasa bersama keberkahan Allah yang lain. Amin.
Wallahu A’lam.