Sekitar bulan Juli lalu, Mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) telah melakukan kunjungan ke Gereja Katedral. Kunjungan tersebut termasuk dalam studi banding (studi lapangan) dari mata kuliah interfaith study (pembelajaran lintas agama) yang diampu oleh Farid F. Saenong. Kunjungan dalam rangka belajar atau menjalin hubungan baik antara Islam dan Kristen Katolik tersebut merupakan wujud nyata dalam praktik toleransi agama.
Penyelenggara PKU-MI merasa sangat perlu untuk menjadikan interfaith study sebagai mata kuliah keulamaan. Mahasiswa PKU-MI memiliki peran sebagai pelopor dan role model untuk menyuarakan praktik toleransi antar umat beragama. Adanya interfaith study sekaligus terjun ke lapangan (tempat ibadah umat beragama lain), memiliki tujuan untuk menepis stigma adanya ketidak harmonisan antar umat beragama. Seperti kasus yang terjadi berulang kali, adanya teror bom di tempat ibadah. Tidak jarang, yang menjadi sorotan adalah umat muslim sebagai pelaku dibalik kejahatan kemanusiaan tersebut.
Kunjungan yang dilakukan oleh PKU-MI ke Gereja Katedral menjadi wajah Islam ramah. Islam sejatinya menjunjung tinggi kemanusiaan. Seperti potret kunjungan PKU-MI yang disambut dengan hangat oleh pihak Gereja Katedral. Pertemuan tersebut tidak hanya silaturahmi saja, akan tetapi PKU-MI sendiri dapat mengetahui sejarah dan juga nilai-nilai yang diamalkan oleh penganut Kristen Katolik.
PKU-MI merealisasikan terobosan mata kuliah tersebut tentu memiliki landasan sekaligus tujuan. Landasan sekaligus tujuan tersebut menggambarkan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sebagai kader ulama, PKU-MI berupaya mencerminkan Al-Qur’an yang tidak sekedar kemutlakan teks namun juga kesesuaian konteks. Tafsir Al-Qur’an akan mengungkap indahnya Islam dalam membincangkan keragaman keberagamaan. Para mufasir telah mencurahkan keilmuannya untuk membantu masyarakat dalam memahami konteks beserta teks yang ada di Al-Qur’an. (Dialog Lintas Agama: Refleksi Aksiologis Antar Tafsir Toleransi Muhammad Asad)
Salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas sikap toleransi adalah Q.S Yunus [109]: 99-100.
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?”
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ
“Tidak seorang pun akan beriman, kecuali dengan izin Allah dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak mau mengerti.”
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalam Tafsir At-Thabari menjelaskan Q.S Yunus [109]: 99-100. Kata كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ, جَمِيْعًاۗ sebagai penguat dari كُلُّهُمْ. Sebagaimana artinya, sama-sama “semua, setiap”. Ketika Allah berkehendak umat muslim beriman, maka semua tanpa terkecuali akan beriman. Namun, jika Allah tidak berkehendak, maka tidak akan ada keimanan sedikitpun pada diri umat manusia. Lalu dikuatkan, ayat setelahnya. Jika tanpa seizin Allah, sampai kapanpun tidak akan beriman seseorang tersebut. Tafsir Thabari (jilid 13, halaman 758-761)
Jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi atas manusia adalah kehendak Allah. Sekalipun seorang umat itu berbeda pandangan dan keyakinan, adalah atas kehendak Allah. Perlu diingat, bahwa selain Allah itu Maha Berkehendak, Allah Maha Pemberi Kasih Sayang. Kasih sayang Allah bukan untuk golongan tertentu saja, namun Kasih Sayang Allah adalah untuk seluruh makhluk.
M. Quraish Shihab menafsirkan Q.S Yunus [109]: 99-100 dalam Tafsir Al-Mishbah. Di dalam ayat tersebut, menunjukkan adanya kuasa Allah yang menunjukkan adanya toleransi atau menghargai sebuah perbedaan, lebih tepatnya atas ‘pemaksaan atas suatu kehendak’.
Diceritakan kaum Nabi Yunus yang membangkang dan tidak mau beriman kepada Allah. Sehingga Allah mengingatkan dan mengancam kaum tersebut. Sehingga kaum Yunus bisa berada di jalan yang benar dan mengaku beriman. Disini perlu diketahui, bahwa berimannya seseorang bukan karena kuasa seseorang tersebut. Melainkan yang menghantarkan adalah tetap Allah Swt (Tafsir Al-Mishbah, Jilid 5, halaman 512-514).
Maka jika demikian, apakah engkau Muhammad, engkau hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin yang benar-benar mantap imannya? Nabi Muhammad berkeinginan jika umat Nabi Yunus pada saat itu bisa semua beriman kepada Allah dan mempercayai ajaran yang Muhammad bawa. Akan tetapi Allah menegur Nabi Muhammad.
Tafsir Al-Misbah menguatkan dari Tafsir At-Thabari tentang sikap terbuka. Allah sebagai pencipta, tidak sama sekali memaksa setiap umat untuk beriman pada-Nya. Di tafsir tersebut menunjukkan kasih sayang Allah yang meliputi semua makhluk. Allah bisa saja berkehendak mereka beriman atau sebaliknya. Keterkaitan antara teks Q.S Yunus [109]: 99-100 dan konteks yang dicontohkan dalam PKU-MI adalah kewajiban bagi siapa saja untuk tidak memaksa dalam keimanan. Allah tidak memaksa setiap hamba beriman pada-Nya. Bagaimana jika itu terjadi antar manusia?
Setiap pribadi tidaklah memiliki porsi memberi ancaman atau menghukumi/menghakimi sesama. Karena demikian merupakan perogratif Allah. Lantas bagaimana sikap setiap muslim atau manusia dalam mengisi keragaman keberagamaan? Menjunjung nilai toleransi beragama tidak sekadar wacana atau ungkapan.
Pemahaman sekaligus praktik toleransi berlandaskan tafsir kontekstual-lah yang akan menghapus pemahaman sempit tentang agama (tertentu) yang seakan-akan menjadi akar perpecahan antar umat beragama. Aksi nyata PKU-MI dengan pihak Gereja Katedral melalui dialog secara langsung dan menjalin kerjasama dalam bingkai pendidikan dapat menjadi jejak awal untuk kemunculan aksi-aksi toleransi selanjutnya. Aamiin.