Murtad merupakan salah satu pelanggaran besar dalam Islam. Seringkali kita dengar, bila kita murtad maka seluruh amal baik yang pernah dilakukan sebelumnya hangus tak tersisa. Apakah benar demikian? Berikut ulasannya!
Mengenai larangan murtad, Allah Swt. berfirman dalam Surat Albaqarah ayat 127:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Definisi Murtad
Secara bahasa, murtad adalah berhenti dari sesuatu (Islam) dan beralih ke lain tempat (kafir). Secara terminologi syariat, murtad didefinisikan sebagai upaya Muslim dalam meninggalkan agamanya, baik melalui perbuatan, perkataan, atau keyakinan [Fath al-Qarib, 291].
Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?
Dari definisi di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa penyebab murtad bukan hanya persoalan keyakinan saja, boleh jadi berupa memperagakan sesuatu yang menafikan keesaan Tuhan dan sifat-sifat luhur lainnya. Syekh Ibn Qasim memberikan salah satu contoh, seperti bersujud kepada berhala tanpa melihat tujuannya, baik meyakini kekultusan berhala maupun tidak.
Klasifikasi Murtad
Dalam ‘Ianat al-Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi disebutkan, ada tiga jenis murtad yang mengakibarkan seseorang keluar dari agama Islam. Pertama, murtad keyakinan, yakni meragukan salah satu prinsip-prinsip dalam agama seperti meragukan keberdaan Tuhan atau salah satu sifat-Nya, meragukan keberadaan malaikat, Rasul, hari akhir, dan seterusnya. Murtad keyakinan bisa juga terjadi bila seorang Muslim mengingkari salah satu ajaran syariat yang sudah lumrah diketahui misalnya mengingkari kewajiban salat.
Kedua, murtad tindakan, misalnya tindakan Muslim sujud kepada berhala, matahari, atau makluk Allah Swt. lain. Ketiga, murtad karena perkataan, seperti memanggil sesama Muslim dengan sebutan kafir atau mengatakan, “seandainya Allah menghukumku karena aku tidak salat ketika sakit maka Allah benar-benar telah menzalimiku,” atau seorang muslim berkata “apa yang aku lakukan bukanlah takdir Tuhan,” dan seterusnya [‘Ianat al-Thalibin, 4/149].
Murtad merupakan bentuk pengingkaran/kufur kelas berat. Syakh Ibn Qasim menyebutkan bahwa kaum muslim yang meninggalkan keyakinanya disanksi dengan hukuman mati setelah sebelumnya dimintai taubat terlebih dahulu sebanyak tiga kali, [Fath al-Qarib, 291].
Baca juga: Praktik Toleransi Antar Umat Beragama dalam Surah Yunus: 99-100
Ketika membahas sanksi bagi murtad, ulama kerap kali menyinggung mengenai pahala atau amal baik yang pernah dilakukannya. Menurut sebagian kalangan Syafi’i, pahala orang yang murtad tidaklah hangus kecuali ia mati dan tetap enggan kembali ke agama Islam.
Dalil yang dipakai oleh kalangan Syafii adalah surat al-Baqarah ayat 127. kata kafir yang disebutkan dalam ayat memberikan sebuah pehaman bahwa pahala yang didapat oleh murtad sebelumnya bisa hangus bila dia mati dengan tetap membawa status kafir (tidak mau kembali lagi ke Islam).
Kalangan lain dari pengikut Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa secara otomatis amal baik yang pernah dilakukan sebelumnya menjadi hangus tak tersisa sekalipun dalam waktu dekat ada niatan akan kembali (memeluk agama Islam lagi). Menurut pendapat ini, kata mati dalam kondisi kafir yang dinisbatkan kepada sanksi terhapusnya amal perbuatan, hanya sebagai ancaman saja dan sebuah peringatan agar kaum muslim konsisten untuk memeluk erat keyakinannya [Fath al-Bayan fi Maqasid Alquran, 1/437].
Kitab al-Asas fi al-Tafsir mencoba memperjelas logika dari kedua kubu ini. Sa’id Hawwa, pengarang kitab al-Asas fi al-Tafsir, menyebutkan bahwa perbedaan ini ditengarai oleh logika usul fikih masing-masing dari kedua kubu. Menurut Syafi’i kemutlakan ayat, mengenai hangusnya amal perbuatan telah dibatasi dengan qayyid kematian. Artinya, amal perbuatan murtad bisa sia-sia bila dia mati dalam kondisi kafir.
Baca juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an
Mazhab Hanafi menolak logika ini, menurutnya kemutlakan ayat tersebut tetap berlaku. Dengan kata lain, murtad secara langsung dapat menyapu bersih pahala sebelumnya, tanpa peduli dia mati dalam kondisi kafir atau tidak [al-Asas Fi al-Tafsir 1/505].
‘Ala kulli hal, murtad merupakan bentuk kekafiran yang serius, ada sederet sanksi yang akan diterimanya. Sanksi-sanksi yang berat ini tak lain merupakan sebauh warning kepada kita kaum muslimin agar senantiasa memeluk erat keyakinan semaksimal mungkin. Jangan labil dalam beragama!