Lima Tanda Kepahlawanan Perspektif Alquran

Lima tanda kepahlawanan perspektif Alquran
Lima tanda kepahlawanan perspektif Alquran

Hari ini peringatan Hari Pahlawan 10 November 2022. 77 tahun silam sudah para pejuang dan pahlawan mengusir, meluluhlantakkan, dan berhasil mengalahkan pasukan sekutu yang hendak menjajah kembali bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Penetapan ini termaktub dalam Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Hari ini, tentu bentuk perjuangan para pahlawan di tempo dulu tidak bisa disamakan dengan era sekarang. Tidak mungkin kita akan memanggul senapan dan meriam berpuluh kilogram. Namun, generasi muda saat ini tetap harus memiliki semangat juang dengan berbagai cara, misalnya, menuntut ilmu yang tekun, belajar mandiri, kritis dalam berpikir, dan solutif dalam mengatasi problem kemasyarakatan.

Terminologi kepahlawanan sendiri, menurut Emha Ainun Nadjib, Budayawan Indonesia, disebabkan karena dia telah berjasa, atau telah berbuat sesuatu. Menurutnya, ada jenis pahlawan yang menjadi pahlawan tidak karena berbuat sesuatu, tetapi justru tidak berbuat sesuatu. Kepahlawanan dinilai dari perjuangan yang telah diistiqomahi. Ada orang yang mampu melakukan sesuatu kebaikan, misalnya melawan dan menghancurkan kebatilan, dengan perjuangan yang tak kenal lelah. Dia berhasil berbuat sesuatu, jasanya akan dikenang, dan tentu orang-orang akan mengenang sebagai pahlawan.

Baca Juga: Implementasi Mental Heroik dalam Al-Quran; Refleksi Peringatan Hari Pahlawan

Artikel ini mengulas lima tanda kepahlawanan seseorang perspektif Alquran sebagai berikut.

Tidak Bermental Pengemis

Tanda kepahlawanan yang pertama adalah seseorang tidak bermental pengemis. Dia selalu memilih posisi ‘tangan di atas’ daripada ‘tangan di bawah’. Dalam Alquran disebutkan la yas-alunannasa ilhafa (mereka tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak) sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

لِلْفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحْصِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِى ٱلْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ ٱلْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَٰهُمْ لَا يَسْـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 273)

Redaksi la yas-alunannasa ilhafa tersebut bermakna tidak bermental meminta-minta atau dikasihani oleh orang lain. Kata ilhafa di sini bermakna menekan, menindas dan menghalalkan segala cara. Jadi, para ulama kita terdahulu seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan, dan sebagainya, mereka sama sekali tidak bermental meminta-minta, tidak bermental penindas dan penekan, maupun otoriter. Mereka justru lebih banyak memberi ketimbang meminta. Bahkan, dikisahkan KH. Hasyim Asy’ari tatkala menjelang pertempuran 10 November 1945 menyuplai logistik para militer dan santri yang tengah berjuang bertempur.

Dalam ayat yang lain juga dikatakan, seperti Surat Yasin ayat 21 “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Sejatinya, semua hal yang dilakukan oleh para pahlawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia, dalam hal ini, mereka telah mengamalkan sabda Nabi saw. yang diriwayatkan Abu Said al-Khudry,

مَن يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، ومَن يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، ومَن يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وما أُعْطِيَ أحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di tangan mereka, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sifat-Sifat Kepahlawanan Kaum Ansar

Lebih Besar Kasih Sayangnya daripada Kebenciannya

Tanda kepahlawanan berikutnya adalah lebih besar kasih sayangnya ketimbang kebenciannya. Ciri ini ditandai dalam Alquran dengan mengucapkan salamun ‘alaikum (semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada kalian). Allah swt berfirman,

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى الأعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلا بِسِيمَاهُمْ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ

Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan diatas a’raf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “salamun alaikum”. Mereka belum lagi memasukinya, sedangkan mereka ingin segera (memasukinya). (Q.S. al-A’raf [7]: 46)

Menafsiri ayat di atas, Quraish Shihab menjelaskan bahwa mereka, yakni yang berada di al-A’raf itu menyeru penduduk surga — setelah mereka masuk dan tenang di dalam surga — salamun ‘alaikum, yakni keselamatan serta rasa aman selalu menyertai kalian. Mereka yang menyampaikan salam itu, ketika itu belum memasuki surga, padahal mereka sangat ingin segera memasukinya atau sudah sangat yakin bahwa mereka akan memasukinya.

Penafsiran Shihab tersebut menyiratkan sesungguhnya mereka yang bercirikan pahlawan adalah yang tidak enggan untuk menyapa sesamanya yang di bawah atau dalam kondisi yang kesulitan/ sengsara. Mereka, para ulama, pahlawan, dan pejuang tidak lupa diri dan tetap mendoakan, serta beraksi nyata untuk mengentaskan kesusahan mereka yang membutuhkan.

Eksistensinya Berdampak (Kebermanfaatannya Sustainable)

Tanda kepahlawanan yang ketiga yaitu eksistensinya berdampak. Maksudnya adalah keberadaan dan perjuangannya dirasakan dan berdampak kepada masyarakat, kebermanfaatannya terus berlangsung (sustainable) sekalipun dia telah wafat. Dalam konteks hari Pahlawan, sesuatu yang telah ditinggalkan oleh para pejuang yang telah meninggal bisa dinikmati oleh generasi sekarang. Kenikmatan itu terus berlangsung dan dapat dirasakan sampai hari ini.

Makna ini terukir dalam redaksi min atsaris sujud dalam Surat Al-Fath ayat 29.

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (Q.S. al-Fath [48]: 29)

Makna atsar al-sujud di sini adalah bekas sujud. Dalam hal ini, kami menafsirkannya dengan eksistensinya tetap berbekas. Wajah (baca: perjuangan) Nabi Muhammad saw itu seluruh perjuangan dan eksistensinya selalu membumi (down to earth). Hal ini sama dengan perjuangan pahlawan dan ulama kita. Dalam penafsiran yang lain, At-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, misalnya, menafsirkan atsar al-sujud dengan karakteristik Islam, pesonanya, kharismanya, dan kerendah hatiannya.

Baca Juga: Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa

Bukan Pelaku Kejahatan

Tanda kepahlawanan selanjutnya adalah dia yang bukan pelaku kejahatan. Dalam arti dia berhati-hati dalam berbuat dan mengendalikan nafsunya. Dia bukanlah tipikal orang yang suka berbuat maksiat, tidak mementingkan ego pribadi daripada kepentingan umat. Dalam hal ini, Allah menyatakan dalam firman-Nya,

يُعْرَفُ الْمُجْرِمُوْنَ بِسِيْمٰهُمْ فَيُؤْخَذُ بِالنَّوَاصِيْ وَالْاَقْدَامِۚ

“Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandanya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka.” (Q.S. Al-Rahman [55]: 41)

Makna ayat di atas senada dengan surah Ali Imran ayat 106. Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang berdosa itu diketahui dengan tanda-tandanya, lalu dengan mudah mereka direnggut ubun-ubun dan kakinya untuk dilempar ke neraka. Hal ini merupakan peringatan keras Allah kepada para jin dan manusia. Di saat hari akhir tiba, para pendosa baik manusia maupun jin dibangkitkan dengan disertai tanda masing-masing dan mereka diperlakukan dengan sangat kejam. Untuk tanda tersebut diperjelas oleh para ulama sebagai berikut:

Abu Hayyan al-Andalusi dalam al-Bahr al-Muhith mengungkapkan,

وسيما المجرمين : سواد الوجوه وزرقة العيون ، قاله الحسن ، ويجوز أن يكون غير هذا من التشويهات ، كالعمى والبكم والصمم

“Tanda para pendosa adalah hitamnya wajah dan birunya mata, pendapat ini disampaikan oleh al-Hasan. Dan tanda tersebut bisa juga dengan kecacatan seperti buta, bisu dan tuli”. Tanda-tanda yang diungkap di sini memang seputar fisik, tapi jika coba dipahami lebih lanjut, pemahaman umum dari tafsir ini yaitu orang-orang pelaku kejahatan itu pasti ada tandanya dan yang sangat jelas, dia ‘hitam’, membawa kemudaratan dan kerusakan untuk lingkungannya.

Mampu Menaklukkan Egoisme

Tanda kepahlawanan yang kelima adalah mampu mengesampingkan egoisme pribadi. Dalam istilah Husein Muhammad, dia itu pribadi yang berhasil menaklukkan egoisme dan menundukkan arogansi diri. Sebagai pejuang, seluruh pikiran dan energinya hanya tercurahkan kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Itulah figur pahlawan sejati, dan itulah pejuang bangsa dan ulama kita terdahulu. Hal ini ditegaskan Allah swt dalam firman-Nya,

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ

Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8)

Kepentingan kemanusiaan dan kemaslahatan bangsa di atas segalanya, itulah prinsip hidup pahlawan sehingga menurut Shihab, yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.

Sebagai penutup, Ali Shariati pernah berkata, “Sesungguhnya perjuangan Rasul Muhammad dan para nabi senantiasa memperjuangkan, membela dan melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan kelompok mustaqdirin (penguasa, borjuis, kapitalis, imperialisme, kolonialisme) kepada kelompok mustadh’afin (kaum yang lemah, proletar, tertindas). Tugas intelektual Muslim dan generasi bangsa Indonesia hari ini, lanjut Shariati, adalah membangkitkan dan menghidupkan kembali cita-cita kenabian dalam upaya meneladani kembali spirit Nabi Muhammad dan melanjutkan perjuangan mereka melawan segala bentuk penindasan (continue the struggle against all forms of oppression)”.

Pahlawanku, Teladanku! Selamat Hari Pahlawan.