Tafsir Surah Al-Mu’minun ayat 51: Perihal Makanan dan Amal Saleh

surah Al-Mu'minun ayat 51
surah Al-Mu'minun ayat 51

Islam memerintahkan umatnya agar memperhatikan asupan makanan yang masuk ke dalam perutnya. Dalam surah ‘Abasa ayat 24, Allah berfirman,

فلينظر الإنسن إلى طعامه

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.”

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa terdapat terdapat anjuran untuk memperhatikan dan memilih secara cermat jenis makanan yang akan dikonsumsi. Islam memerintahkan umatnya agar memastikan makanan yang dikonsumsi dalam keadaan halal dan thayyib.

Makanan Halal dan Thayyib

Tidak semua makanan halal itu thayyib. Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat, pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata thayyib dalam konteks makanan itu berarti bermakna makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau makanan yang tidak rusak (kedaluwarsa), atau di campur benda najis.

Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya (lezat) dan tidak membahayakan fisik dan akal. Dengan demikian dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, aman, dan halal. (Quraish Shihab, 1998: 146).

Ali Mustafa Yaqub dalam Kriteria Halal Haram Untuk Pangan Obat Dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis telah melakukan pendalaman terhadap beberapa pendapat ulama tafsir dan imam mazhab berkenaan dengan pengertian dan makna dari istilah thayyib. Dia menyimpulkan makna thayyib secara syar’i di dalam Alquran merujuk pada tiga pengertian, yaitu:

1) Sesuatu yang tidak membahayakan tubuh dan akal pikiran, sebagaimana pendapat Imam Ibn katsir.

2) Sesuatu yang lezat, sebagaimana pendapat Imam asy-Syafi’i.

3) Thayyib dimaknai sebagai halal itu sendiri, yaitu sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak diharamkan, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam al-Thabari.

Baca Juga: Kriteria Makanan Yang Sebaiknya Dikonsumsi Muslim

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 51

Sesungguhnya makanan yang halal dan thayyib dapat membangkitkan amal saleh. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-Mu’minun ayat 51:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mu’minun: 51).

Ibnu Katsir dalam menafsirkan surah al-Mu’minun ayat 51 menerangkan bahwa disandingkan perintah memakan makanan halal dan mengerjakan amal saleh sebagai isyarat bahwa makanan halal berpengaruh terhadap amal saleh. Artinya, makanan tersebut dapat membangkitkan seseorang untuk berbuat kebaikan.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip hadis berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيَّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} . وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}

“Hai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada para rasul-(Nya). Kemudian Rasulullah aaw. membaca firman-Nya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (Al Mu’minun: 51) Dan firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 172)

Kemudian Rasulullah saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya, dalam keadaan rambut yang awut-awutan lagi penuh dengan debu, sedangkan makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram dan diberi makan dari hasil yang haram, lalu ia menengadahkan kedua tangannya seraya berdoa, “Hai Tuhanku, hai Tuhanku,” maka bagaimanakah doanya dapat diterima bila keadaannya demikian.

Sebaliknya, makanan haram pun dapat menyebabkan kecendrungan pada perbuatan yang haram. Sahl r.a. yang dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din, 2/91 mengatakan: “Barang siapa yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya.”

Di dalam kitab Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Allah mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang dapat menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak ataupun aspek lainnya. Keganjilan prilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang haram tersebut, sesuai dengan kadar kerusakan yang terkandung (dalam makanan tersebut).”

Dari uraian di atas, didapati dengan jelas keterangan mengenai pengaruh makanan terhadap perilaku karena makanan halal lagi thayyib akan membuat seseorang cenderung berbuat kebaikan. Begitu pun sebaliknya. Hal yang juga menjadi bahan intropeksi apabila doa kita tak kunjung terkabul, bisa jadi disebabkan makanan yang dikonsumsi.

Baca Juga: Empat Kosakata Makan dan Makanan dalam Alquran

Pengaruh Makanan terhadap Perilaku

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai surah al-Mu’minun di atas, dia memaparkan kata kunci bahwa makanan halal dan thayyib dapat membangkitkan amal saleh. Artinya, ada semacam keterkaitan antara makanan dengan perilaku. Lantas bagaimana hubungan antara asupan makanan terhadap perilaku?

Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232 M) mengemukakan bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakannya. Dia menyimpulkan pendapatnya tersebut dengan menganalisis kata rijs yang disebutkan di dalam Alquran sebagai alasan untuk mengharamkan makanan tertentu, seperti keharaman minuman keras, bangkai, darah, dan daging babi.

Kata rijs menurutnya mengandung arti “keburukan budi pekerti serta kebobrokan moral” sehingga apabila Allah menyebut jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, maka ini berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan budi pekerti. Memang kata ini juga digunakan Alquran untuk perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental seperti judi dan penyembahan berhala. Dengan demikian, pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan ditinjau dari susunan redaksi ayat Alquran yang berkaitan. (Quraish Shihab, 2007: 200-201)

Tauhid Nur Azhar dalam bukunya, Haram Bikin Seram: Refleksi Keharaman dalam Gaya Hidup dan Perilaku memaparkan pendapat Wayne Callaway, ahli endokrinologi dan ahli gizi di klinik Mayo, Minnesota, Amerika serikat yang mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa susunan kimiawi makanan dapat mempengaruhi suasana hati seseorang.

Menurutnya, selain karena faktor fisik, faktor makanan mempengarui pula sistem kerja pusat emosi yang berhubungan dengan hipotalamus di dasar otak. Jadi, kalau hipotalamus itu dirangsang dari bagian pusat medianya maka akan terjadi rangsangan untuk makan. Sementara itu, bagian hipotalamus tersebut berkaitan dengan limbic yang dapat mempengaruhi perilaku dan emosi manusia.

Samir Abdul Halim dan timnya dalam buku Ensiklopedia Sains Islami (Biologi 1) mengutip Abdul Muhsin Shahih tentang ASI (Air Susu Ibu). Dia mendapati bahwa ASI memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan tubuh, nalar, dan perilaku anak. Jika ASI yang dihasilkan oleh seorang Ibu itu mengandung dzat yang haram disebabkan karena makanan haram yang dikonsumsinya, maka dapat dipastikan akan berpengaruh kepada perilaku buruk pada anaknya.

Pendapat-pendapat di atas semakin mengukuhkan adanya pengaruh makanan bagi jiwa dan perbuatan. Tidak hanya mempengaruhi kecendrungan perbuatan seseorang, makanan pun mempengaruhi keadaan hati. Hati akan lembut oleh makanan halal, dan mengeras dengan makanan haram. Imam Ahmad ditanya, dengan apa hati menjadi lembut? Dia menjawab: dengan makanan halal. (Hilyatul Aulia, 9/182)

Sebagaimana pepatah Inggris, you are what you eat, kualitas dan kuantitas makanan akan mempengaruhi perilaku seseorang. Itulah hikmah perintah Allah dalam surah Al-Mu’minun ayat 51. Wallah a’lam