Ibn Kathīr merupakan seorang mufasir yang lahir pada abad ke-7 H/ke-14 M. Dia bernama lengkap al-Imām al-Ḥāfiẓ ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā` Ismā’īl ibn ‘Umar ibn Kathīr al-Dimashqī. Kitab tafsir yang dia tulis memiliki judul Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm, namun lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn Kathīr. Kitab tafsir ini sebenarnya bukanlah kitab tafsir yang ditulis untuk kalangan masyarakat luas, namun branding Tafsir Ibn Kathīr sebagai kitab panduan bagi seorang pemula yang ingin membaca tafsir seakan sudah menjadi hal yang umum. Keadaan ini didukung oleh aktivitas penerbitan yang luar biasa banyaknya untuk kitab tafsir ini, sebagaimana disebutkan Johanna Pink dalam artikelnya Eight Shades of Ibn Kathīr: The Afterlives of a Premodern Qurʾānic Commentary in Contemporary Indonesian Translations.
Tafsir Ibn Kathīr telah dicetak dalam edisi bahasa Arab yang tidak terhitung jumlahnya, banyak juga yang membuat ringkasan tafsir tersebut dan kemudian dicetak. Pun, keduanya—Tafsir Ibn Kathīr dan ringkasannya—telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pink menyebutkan setidaknya terdapat delapan edisi terjemahan Indonesia berbeda yang ia temukan untuk tafsir Ibn Kathīr. Ini menunjukkan minat komersial yang besar di pihak penerbit buku-buku Islam di Indonesia.
Pada awal munculnya di abad ke-7 H, Tafsir Ibn Kathir sebenarnya belum menjadi tafsir yang populer di kalangan masyarakat muslim, karena metode penulisan tafsir ini yang mengacu kepada Alquran itu sendiri, hadis-hadis Nabi saw. serta perkataan para sahabat dan penerusnya, belum menjadi metode yang populer saat itu. Namun keadaan ini berubah secara dramatis pada abad ke-20 ketika tren reformis muncul di dunia Arab, khususnya di Suriah dan Mesir, dengan jargon yang dikenal luas “kembali kepada sumber Islam awal”. Kalangan ini merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyah, yaitu kembali kepada otoritas Alquran dan Sunnah. Sementara Ibn Taimiyah tidak meninggalkan kitab tafsir lengkap, namun Ibn Kathīr selaku muridnya menulis kitab tafsir lengkap dengan menggunakan metode yang diusungkan oleh Ibn Taimiyah. Selain itu, karya Ibn Taimiyah berjudul Muqaddimah fī Usūl al-Tafsīr telah menjadi bagian dari pengantar kitab Tafsir Ibn Kathīr yang diterbitkan pada tahun 1924 oleh Muḥammad Rashīd Riḍā dengan bantuan dana dari Āl Su’ūd.
Baca Juga: Ibnu Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim
Aḥmad Shākir (1892 M–1958 M), salah seorang editor karya-karya Islam klasik terkemuka pada paruh pertama abad ke-20, mencoba membuat ringkasan Tafsir Ibn Kathīr agar lebih mudah dibaca dan dipelajari oleh masyarakat umum. Penerbitannya baru selesai pada tahun 2002 setelah dia wafat dan diselesaikan oleh editor lain dengan mengacu kepada manuskrip yang ditinggalkan oleh Aḥmad Shākir. Pada saat yang sama juga sejumlah versi ringkasan lain dari Tafsir Ibn Kathir telah diterbitkan, mulai dari edisi ringkasan yang hanya mengurangi panjang sanad hadis, hingga karya-karya yang ditulis ulang sepenuhnya yang bertujuan merangkum pemikiran-pemikiran Ibn Kathīr.
Pada tahun 1970-an, percetakan buku-buku Islam telah berkembang pesat di sebagian besar negara mayoritas muslim, termasuk di Indonesia. Buku-buku yang diterbitkan tidak hanya karya penulis Indonesia, tetapi juga mencakup buku-buku berbahasa Arab dan terjemahnya. Kitab Tafsir Ibn Kathīr beserta karya ringkasannya juga diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang dimulai sejak tahun 1981 oleh ragam penerbit, seperti penerbit Bina Ilmu, Gema Insani, Sinar Baru Algensindo, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Pustaka Ibnu Katsir, Insan Kamil, Jabal, dan Maghfirah. Penerjemahan dan penerbitan tersebut semakin marak terjadi pada periode reformasi setelah berakhirnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998, ketika kontrol pemerintah yang sebelumnya ketat terhadap ekspresi keagamaan mulai menurun.
Baca Juga: Mengenal Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Karya Syekh Abdul Fattah Al-Khalidi
Menurut Pink, beberapa penerbit di atas, seperti Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Pustaka Ibnu Katsir, dan Insan Kamil memiliki indikasi penyebaran paham Salafisme yang sudah muncul lebih dulu di dunia Arab, khususnya di Suriah dan Mesir, dengan menerbitkan kitab Tafsir Ibn Kathīr sebagai tafsir yang paling otoritatif, karena sesuai dengan metode penafsiran Ibn Taimiyah yang telah disebutkan sebelumnya. Namun beberapa penerbit lain, seperti Bina Ilmu, Gema Insani, dan Sinar Baru Algensindo tidak memiliki tendensi tersebut. Adapun penerbit Jabal dan Maghfirah lebih fokus untuk menerbitkan buku-buku bimbingan untuk masyarakat muslim, termasuk dengan menerbitkan kitab Tafsir Ibn Kathir.
Selain usaha penyebaran tren reformis yang dilakukan oleh sebagian penerbit, meningkatnya permintaan terhadap pencetakan kitab Tafsir Ibn Kathir juga tidak lepas dari peran marketing terhadap kitab tafsir ini, di mana para penerjemah dan editor buku berusaha membumikan posisi kitab Tafsir Ibn Kathīr yang awalnya hanya sebagai konsumsi para pakar dan mufasir menjadi konsumsi publik dengan branding yang dimuat, misal dengan pernyataan bahwa Tafsir Ibn Kathīr adalah kitab tafsir yang mudah dipahami oleh para pembacanya serta bisa memberikan bimbingan bagi seluruh masyarakat muslim, sehingga kitab Tafsir Ibn Kathīr semakin dikenal secara luas oleh masyarakat muslim. Wallāhu a’lam.